Connect with us
Kolom

Bioplastik, Plastik Ramah Lingkungan dari Tandan Kosong Kelapa Sawit

Dr Isroi(foto : dok.Isroi)

Sifat plastik yang kuat, fleksibel dan sekaligus tahan lama membuat plastik bak pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Di sisi lain sampah plastik menjadi permasalahan lingkungan yang serius. Pengembangan bioplastik sudah menjadi kebutuhan untuk mengatasi permasalah ini.

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dari limbah industri sawit, rupanya bisa dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku pembuatan bioplastik. Pemanfaatan TKKS ini akan memberikan nilai tambah bagi industri sawit, sekaligus membantu dalam penyelamatan lingkungan akibat menumpuknya sampah plastik.

Permasalahan Sampah Plastik

Selama 50 tahun terakhir, produksi dan konsumsi sampah plastik terus meningkat. Berdasarkan data dari UNEP (UN Enviroment Programe) produksi plastik pada tahun 2013 sebesar 299 juta ton, meningkat kurang lebih 3.9% dari produksi tahun 2012. Produksi plastik diprediksi akan terus meningkat sepanjang tahun. Berbagai upaya pemanfaatan kembali plastik (recyling) dan recovery plastik, untuk mengurangi pencemaran lingkungan belum memberikan hasil yang memuaskan. Sampah plastik masih terus mencemari wilayah daratan dan lautan.

Kementrian Perindustrian RI memperkirakan, konsumsi plastik nasional mencapai 10 kg per kapita per tahun, dan meningkat sebesar 6-7% per tahunnya. Nilai ini memang masih lebih kecil daripada konsumsi plastik negera-negara tetangga, seperti Malaysia 56 kg, Singapura 93 kg dan Thailand 45 kg. Namun, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta menyebabkan kebutuhan plastik secara nasional sangat besar dan berpotensi terus meningkat.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menilai, permasalah sampah plasik sudah sangat serius. Data dari Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) menyebutkan, bahwa dalam satu tahun telah mengeluarkan 10.95 juta kantong plastik. Setengah dari jumlah kantong plastik itu, hanya sekali dipakai dan kemudian dibuang. KLHK mencatat, volume sampah plastik mencapai 14% dari total sampah nasional.

Sementara data dari INPLAST menyebutkan, bahwa kebutuhan plastik nasional pada tahun 2016 mencapai 4.75 juta ton per tahun (semua jenis plastik). Namun, kapasitas daur ulang plastik hanya 450 ribu ton per tahun. Artinya, plastik yang tidak didaur ulang mencapai 4.3 juta ton per tahun. Ini yang menjadi permasalahan serius sampah plastik di Indonesia.

Sampah plastik, terutama yang masuk ke perairan, sungai, lautan dan terpapar matahari akan hancur menjadi plastik berukuran sangat kecil yang dikenal dengan mikro plastik. Polusi mikroplastik saat ini, menjadi perhatian besar dari para pemerhati lingkungan. Sampah mikroplastik sangat berbahaya, karena bisa masuk ke rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh organisma.

Sampah mikroplastik dimakan oleh planton, selanjutnya planton di makan oleh ikan, demikian seterusnya. Sampah mikroplastik bisa menumpuk di dalam daging ikan, dan bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui asupan makanan turunan ikan. Berdasarkan data dari Jambeck (2015), Indonesia adalah negara terbesar kedua yang menyumbang volume sampah plastik di lautan, yaitu sebesar 187.2 juta ton setelah Cina yang mencapai 262.9 juta ton.

Berbagai upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan akibat sampah plastik sudah dicoba dilakukan, seperti kebijakan pemerintah menerapkan kantong plastik berbayar. Banyak pihak menilai, kebijakan ini tidak banyak berpengaruh terhadap konsumsi sampah nasional.

Plastik Ramah Lingkungan

Salah satu upaya yang dianggap menjanjikan, adalah pengembangan bioplastik, yaitu plastik ramah lingkungan yang dibuat dari bahan terbarukan dan bisa terurai secara biologi di alam. Bioplastik akan hancur dengan sendirinya di alam dalam jangka waktu tertentu, sehingga tidak akan menumpuk dan mencemari lingkungan.

Plastik Ramah Lingkungan

Plastik ramah lingkungan (foto : infosawit.com)

Data dari European Bioplastik menunjukkan, peningkatan permintaan bioplastik secara global. Produksi bioplastik diperkirakan meningkat dari 1.7 juta ton pada tahun 2014 menjadi 7.8 juta ton pada tahun 2019. Secara umum terdapat dua kelompok bioplastik, yaitu: biobased/non-biodegradable plastik, yaitu plastik yang berbahan baku bahan-bahan non minyak bumi dan terbarukan; dan biodegradable plastik, yaitu plastik dari bahan non minyak bumi dan bisa terdegradasi di alam.

Produksi global biobased/non-biodegradable plastik mencapai 60.9%, sedangkan sisanya 39.1% adalah biodegradable plastik. Contoh biobased/non-biodegradable plastik antara lain: Bio PET30, Bio PE, PTT, Bio PA; sedangkan biodegradable plastik antara lain: PLA (polylactic acid), turunan pati/starch, PHA (polyhydroksi alkanoat),  biodegradable polyester, dan selulosa terregenerasi. Persentase biodegradable plastik mulai dari yang terbesar andalah: biodegradable polyester 13%, PLA 12.2%, pati-patian 10%, PHA 2%, selulosa terregenerasi 1.6%.

TKKS sebagai bahan baku Bioplastik

Bioplastik tersebut, dibuat dari berbagai macam bahan baku, salah satunya adalah dari monomer gula dan turunannya (selulosa). Bahan baku selulosa sangat melimpah dari limbah indusri sawit, yaitu tandan kosong kelapa sawit (TKKS). Volume TKKS di Indonesia diperkirakan mencapai 27.6 juta ton. Sebagian besar TKKS ini belum dimanfaatkan, sebagian hanya ditimbun atau dimanfaatkan sebagai mulsa dan kompos. Kandungan selulosa TKKS kurang lebih 40%. Artinya, potensi selulosa dari TKKS sebesar 11 juta ton.

Keunggulan pemanfaatan TKKS sebagai bahan baku bioplastic, dibandingkan biomassa lignoselulosa yang lain, adalah sudah terkumpul di pabrik kelapa sawit dalam jumlah yang besar. Biomassa lignoselulosa yang lain umumnya tersebar, sehingga memerlukan biaya dan energi untuk mengumpulkannya. TKKS juga tersedia sepanjang tahun, tanpa perlu menanam terlebih dahulu. Pertumbuhan perkebunan sawit di Indonesia yang terus meningkat menjamin ketersediaan bahan baku TKKS.

Meskipun demikian, pemanfaatan TKKS sebagai bahan baku bioplastik juga memiliki beberapa kendala. Biomassa lignoselulosa terdiri dari lignin, selulosa dan hemiselulosa. Kandungan lignin di dalam TKKS cukup tinggi, dan tidak mudah untuk menghilangkannya. Proses isolasi selulosa menjadi tidak mudah, karena kandungan lignin dan hemiselulosa ini.

Alternatif Proses Pemanfaatan TKKS sebagai Bahan Baku Bioplastik

Berbagai alternatif teknologi bisa digunakan untuk memanfaatkan TKKS sebagai bahan baku bioplastik. Langkah awal seluruh proses adalah isolasi dan pemurnian selulosa. Proses delignifikasi akan mengurangi kandungan lignin. Proses ini biasanya dilakukan menggunakan proses soda pada suhu dan tekanan yang tinggi. Sisa lignin dan hemiselulosa dimurnikan pada tahapan selanjutnya. Selulosa yang diperoleh siap untuk dilanjutkan ke proses-proses berikutnya.

Selulosa pada dasarnya tidak memiliki sifat plastis, sehingga tidak bisa langsung digunakan sebagai bioplastik. Pembuatan bioplastik dari selulosa TKKS memerlukan beberapa tahapan proses. Ada berbagai alternatif teknologi, setiap alternatif teknologi membutuhkan tahapan yang berbeda-beda, demikian pula setiap tahapan memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Alternatif paling sederhana adalah memodifikasi selulosa. Modifikasi bisa dilakukan untuk merubah struktur selulosa atau menambahkan beberapa gugus fungsional.

Merubah struktur selulosa, memerlukan tahapan yang relatif pendek dan rendemen yang dihasilkan relatif tinggi daripada proses lainnya. Selulosa bisa ditambahkan ke dalam bioplastik, dengan proporsi cukup tinggi hingga >50%. Tahapan proses yang pendek juga memperkecil biaya proses produksinya dan harga jual produknya juga bisa ditekan murah. Namun, kekurangannya adalah kualitas bioplastik yang dihasilkan masih belum sebagus plastik dari minyak bumi.

Penambahan gugus fungsional pada selulosa, akan merubah selulosa yang bersifat kristalin menjadi amorph, sehingga relatif mudah untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku bioplastik. Beberapa produk turunan selulosa dari proses ini antara lain adalah karboksi metil selulosa (CMC) dan selulosa ester.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa kualitas bioplastik yang dihasilkan cukup bagus. Kelemahan dari proses ini adalah membutuhkan proses reaksi yang memerlukan energi tinggi dan/atau bahan kimia yang relatif mahal. Rendemen yang dihasilkan juga lebih sedikit daripada proses sebelumnya.

Nano teknologi, juga bisa diterapkan pada selulosa TKKS. Beberapa penelitian sudah mencoba membuat nano selulosa dari TKKS, yaitu nano kristalin selulosa (CNC) dan nano fibril selulosa (NFC). Ada berbagai metode untuk membuat nano selulosa, seperti hidrolisis selulosa yang dilanjutkan dengan superfine grinding hingga menghasilkan nano selulosa. Nano selulosa ditambahkan dalam jumlah yang sedikit untuk meningkatkan kualitas dan sifat fisik bioplastik. Proses ini masih relatif baru dan membutuhkan teknologi tinggi, energi yang besar dan rendemennya kecil. Produk-produk bioplastik dari naso selulosa diarahkan pada produk-produk plastik yang memiliki nilai jual tinggi.

Beberapa bioplastik yang sudah diproduksi komersial, antara lain adalah PHA (polyhidroksi alkanoat), PLA (poly asam laktat) dan PE (Poly etilen). Ketiga bahan ini bisa diproduksi dengan memanfaatkan selulosa dari TKKS. Namun, alur proses yang harus dilalui cukup panjang. Tahapan umumnya antara lain adalah hidrolisis selulosa untuk menghasilkan glukosa. Proses selanjutnya, adalah fermentasi glukosa menjadi PHA, asam laktat —> poly asam laktat, dan bioetanol—>etilen —> poly etilen.

Hidrolisis lignoselulosa, seperti TKKS, belum berhasil secara komersial. Prosesnya masih membutuhkan energi tinggi atau bahan kimia yang banyak. Rendemen gula yang dihasilkan masih cukup kecil jika dibandingkan dengan asal bahan bakunya. Demikian pula proses polimerisasi asam laktat atau etilen masih perlu banyak diteliti dan dikembangkan. Namun, keunggulannya adalah kualitas bioplastiknya sudah diterima oleh pasar.

Kriteria Pengembangan Bioplastik dari TKKS

Plastik dari minyak bumi berharga sangat murah dibandingkan bioplastik yang saat ini sudah diproduksi komersial. TKKS akan berhasil dimanfaatkan untuk bahan baku bioplastik apabila harga jual bioplastiknya bisa bersaing dengan plastik konvensional. Oleh karena itu, pengembangan bioplastik harus memperhatikan biaya yang diperlukan dan nilai jual apabila bioplastik ini dikomersialkan.

Setiap alternatif teknologi menghasilkan kualitas bioplastik yang berbeda-beda, demikian pula biaya yang dibutuhkan juga berbeda-beda. Teknologi yang murah dan ‘robust’ bisa menjadi altenatif penting, meski kualitas bioplastiknya tidak bagus (exelent). Bioplastik semacam ini bisa mengantikan produk-produk plastik kemasan sekali pakai. Teknologi yang menghasilkan bioplastik dengan kualitas tinggi, namun biayanya mahal dan rendemennya sedikit diarahkan untuk produk-produk yang memiliki nilai jual tinggi, seperti: produk-produk farmasi, kesehatan atau produk teknologi tinggi lainnya.

TKKS yang melimpah membutuhkan pula alternatif teknologi bioplastik yang bisa memanfaatkan TKKS dalam jumlah yang besar. Meskipun nilai tambahnya kecil, namun jika serapannya tinggi akan bisa memberikan manfaat yang banyak bagi industri sawit.

Bioplastik dari TKKS saat ini sedang aktif dikembangkan melalui pembiyaan dari BPDP Sawit. Ada dua pendekatan yang utama yang dilakukan, yaitu memodifikasi struktur selulosa dan selulosa ester. Penelitian yang dilakukan sudah cukup panjang dan sudah dihasilkan prototipe bioplastik skala laboratorium. Penelitian terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas bioplastik dan pengembangan teknologi agar bisa diterapkan di tingkat industri.

Diharapkan dalam waktu satu atau dua tahun ke depan bioplastik dari TKKS ini sudah bisa diproduksi secara komersial. Keberhasilan pengembangan teknologi ini memberikan harapan segar bagi industri sawit, yaitu dengan meningkatkan nilai tambah TKKS, menambah sumber penghasilan bagi industri sawit, dan sekaligus membantu menyelamatkan lingkungan dari pencemaran sampah plastik.

Keunggulan Teknologi Bioplastik yang dikembangkan PPBBI

PPBBI mengembangkan teknologi bioplastik berbasis selulosa dari sawit. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memodifikasi serat selulosa. Serat selulosa pada dasarnya tidak memiliki sifat plastis, tanpa modifikasi selulosa tidak bisa/sulit dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioplastik. Modifikasi yang dikembangkan ini menurunkan kristalinitas selulosa, memperkecil ukuran serabut selulosa, menurunkan gugus OH, meningkatkan gugus karbonil dan karboksil sehingga selulosa memiliki kompatibilitas tinggi dengan matrik biopolymer dan plastisizer membentuk komposit bioplastik.

Rendemen selulosa yang dihasilkan mencapai 25 – 30 % dari TKKS yang diolah. Artinya, dalam satu ton TKKS (bobot kering) bisa dihasilkan selulosa termodifikasi sebanyak 250 – 300 kg. Rendemen selulosa ini lebih tinggi dari pada pendekatan lain, seperti teknologi CMC, nano selulosa dan PLA.

Kandungan selulosa yang bisa ditambahkan ke dalam komposit bioplastik mencapai 50% dan 75%. Bioplastik dengan kandungan selulosa 50% bisa dimanfaatkan untuk kemasan dan kantong plastik. Sedangkan bioplastik dengan kandungan 75% bisa dimanfaatkan sebagai penganti Styrofoam. Dengan demikian, satu ton TKKS bisa menghasilkan 500 kg bioplastik (50%) dan 333 kg bioplastik (75%).

Teknologi bioplastik yang dikembangkan, memiliki tahapan yang lebih singkat dan sederhana. Dampaknya, adalah biaya produksi bisa ditekan lebih rendah daripada pendekatan lainnya.  Saat ini, pengembangan teknologi bioplastik sudah dalam ujicoba skala pilot di pabrik plastik. Beberapa prototype kemasan juga sudah dihasilkan, terutama untuk membuat kantong minyak goreng. Biji bioplastik juga sudah berhasil dibuat dalam skala pilot.

Artinya, tak lama lagi plastik ramah lingkungan ini akan diproduksi dalam skala industri. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan plastik ramah lingkungan itu dengan bijak, dibanding plastik yang terbukti mengotori lingkungan.

Dr Isroi

Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia

Jl. Taman Kencana No. 1, Bogor

E-mail: [email protected]

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya