Bersama Masyarakat Adat Nusantara Meraih Magsaysay Award
Berkat perjuangan dan pengabdiannya menggeluti dan membela hak-hak masyarakat adat, Abdon Nababan, meraih penghargaan bergengsi, Magsaysay Award 2017. Kabar menggembirakan itu, diterima Abdon dari Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, akhir Juli lalu.
“Dalam surat pemberitahuan dari Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, saya disebutkan terpilih sebagai penerima Ramon Magsaysay Award 2017, untuk kategori Community Leadership,” ungkapnya, Selasa (25/7/2017).
Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon mengaku, informasi itu diperoleh dirinya secara mendadak. Dia tak menyangka akan mendapat pengharagaan dari lembaga bergengsi, yang memiliki visi dan misi dalam penyebarluasan keteladanan integritasnya, dalam menjalankan pemerintahan, kegigihan dalam memberikan pelayanan umum, serta idealisme praktis dalam suatu lingkungan masyarakat yang demokratis itu.
“Seremoni penerimaan award-nya akan digelar pada 31 Agustus 2017, di Manila, Filipna,” ujar Abdon. Sebelumnya, dari Indonesia, tercatat dua tokoh besar memperoleh award ini, yakni Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) pada 1993 dan Syafi’i Maarif saat menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) pada 2008 lalu.
Terlepas dari penghargaan yang patut disyukurinya, Abdon yang dikenal dengan konsisten membela hak masyarakat adat Nusantara itu, memang sangat pantas meraih penghargaan tersebut. Dia bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) selama 20 tahun berjuang untuk mengembalikan tanah ulayat masyarakat agar kembali kepada masyarakat itu sendiri.
Perjalanannya berjuang bersama AMAN, dilakukannya sejak organisasi masyarakat adat terbesar itu berusia 4 tahun. Ia saat itu sudah menjadi sekretaris jenderal (Sekjen), memimpin dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat selama 12 tahun dari 16 tahun berdirinya AMAN.
Siapa Abdon ?
Pria berperawakan sedanag itu, kelahiran Tano Batak, 2 april 1964, tumbuh besar dalam lingkungan masyarakat adat Batak, Sumatera Utara. Jalan panjangnya memperjuangkan hak masyarakat adat, dimulai dengan keterlibatannya dalam gerakan aktivisme lingkungan pada masa kuliah. Idealisme yang kuat sebagai aktivis mahasiswa yang tumbuh dalam rezim Orde Baru membuat Abdon muda kala itu memilih untuk melanjutkan menjadi aktivis lingkungan selepas kuliahnya.
“Pada masa itu, masa jaya Soeharto. Sebagai aktivis mahasiswa, mencari pekerjaan itu seperti menyerah pada rezim,” ujar mantan anggota pecinta alam Lawalata IPB ini.
Tak hanya berkegiatan di Lawalata IPB, Abdon juga saat kuliah sempat bergabung dengan Yayasan Mojopahit di Mojokerto yang mengurusi tuna wisma, tuna karya dan tuna susila. Selulus kuliah dari Fakultas Peternakan IPB, ia kembali bergelut dalam gerakan lingkungan dengan menjadi koordinator program hutan di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Ketika di Walhi itu, dirinya banyak bergerak mengurusi masalah hutan, khususnya yang berkaitan dengan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak kerusakaan hutan. Dengan tanggung jawab itu, ia banyak berkeliling dari hutan ke hutan. Saat itulah dirinya mulai bersentuhan dengan masyarakat yang tinggal mendiami hutan dan masalah yang mereka hadapi.
“Saat saya fokus ke HPH, saya menyadari bahwa HPH bukan tempat yang kosong tapi ada masyarakat yang saat itu belum ada diistilahkan (disebut) masyarakat adat,” terangnya.
Selama bergelut di lapangan itulah, Abdon berpikir bahwa masalahnya bukan hanya soal hutan dan lingkungan, namun juga soal manusia. Seiring berjalannya waktu, Abdon menemukan kenyataan bahwa isu dalam gerakan lingkungan hidup sangat terkait dengan manusia dan budaya.
Atas pertimbangan itulah, Abdon kemudian memilih keluar dari Walhi pada medio 1993. Pada tahun itu pula, bersama beberapa kawannya, mendirikan Yayasan Sejati yang fokusnya bukan hanya melihat berbagai kasus hutan di Indonesia sebagai masalah lingkungan, namun juga masalah budaya. Dalam perjalanannya bersama Yayasan Sejati, Abdon semakin banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh adat yang ditingkat lokal sudah melakukan perlawan terhadap HPH dan tambang.
“Jauh sebelum saya bertemu mereka, sebenarnya mereka sudah berjuang, sudah demo. Masyarakat adat itu merasa terjajah oleh hadirnya izin-izin di wilayah adat mereka,” kata Abdon.
Izin-izin resmi yang dikeluarkan pemerintah tersebut, menurut Abdon, membuat masyarakat adat selalu dalam pihak yang lemah. Mereka jadi sulit membawa kasusnya ke meja pengadilan. Kalau melakukan blokade atau menutup basecamp, mereka yang ditangkapi tentara.
Tekad Abdon semakin bulat untuk mengurusi masyarakat adat, adalah ketika ternyata kampung halamannya di tano Batak juga terjadi konflik akibat tanah adat yang dijadikan lahan konsesi ke perusahaan PT Inti Indorayon Utama oleh Departemen Kehutanan.
Awalnya, menurut Abdon, ia tidak merasa menjadi bagian masyarakat adat, saya merasa sebagai aktivis LSM, peneliti yang membantu masyarakat adat. “Tapi ketika nasib yang sama saya alami, saya punya kesadaran kenapa saya harus menempati posisi aktivis kalau ternyata saya menjadi korban? Saat itu saya semakin serius mengurusi masyarakat adat, karena ini bukan gerakan mengurusi orang lain, namun gerakan yang menyangkut nasib saya, nasib kampung saya, nasib saudara-saudara saya,” jelas pria yang fasih berbahasa Batak ini.
Berjuang Bersama Masyarakat Adat
Pada masa itu gerakan lingkungan hanya dimotori oleh segelintir kaum inlektual mantan aktivis mahasiswa yang tidak mau kerja ke pemerintah yang akhirnya membentuk LSM. Mereka yang sedikit itu, tidak memiliki basis konstituensi yang bisa digerakan untuk melawan pengusakan lingkungan. Ini juga, menurut Abdon, untuk membantu gerakan lingkungan agar gerakan lingkungan tidak dianggap sebagai gerakan kegenitan intelektual tapi gerakan yang punya konstituen dilapangan.
Masalah berikutnya adalah belum adanya istilah penyebutan untuk masyarakat yang ada di dalam atau sekitar hutan itu sejak lama dan telah memiliki adat istiadat sendiri. Istilah masyarakat adat baru benar-benar disepakati pada tahun 1993, pada pertemuan Jaringan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) di Tana Toraja.
“Wacananya (penamaan masyarakat adat) sudah lama ada, namun kesepakatannya baru saat itu. Jadi sudah jangan pakai lagi kata lain, misalnya masyarakat hukum adat. Kalau istilah itu,seolah-olah hanya masalah urusan hukum, padahal ada budaya, ekonomi dan lainnya. Dan agar juga tidak dijajah sarjana hukum saja, jadi antropolog bisa masuk, sosiolog, ahli politik bisa, cakupannya lebih luas dan lebih holistik,” terang inisiator Forest Watch Indonesia ini.
Abdon melanjutkan, berbicara masyarakat adat sebenarnya terkait empat hal. Pertama, bahwa sebuah kelompok masyarakat bisa disebut masyarakat adat jika memiliki identitas adat; kedua, wilayah adat; ketiga, memang masih hidup dengan sistem pengetahuan dan spiritual; dan keempat, adanya pranata adat yang mencakup aturan adat dan susunan lembaga adat.
Dalam pertemuan JAPHAMA yang berlangsung di Tana Toraja 1993, disepakati permintaan tokoh adat yang hadir agar LSM menjadi fasilitator diadakannya Kongres tingkat nasional. Sempat diupayakan berkali-kali, namun selalu gagal saat rezim Orde Baru masih bekuasa. Baru setelah kejatuhan Orba, Kongres berhasil digelar pada tahun Maret 1999.
Kongres inilah yang menjadi tanda berdirinya Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN). Abdon yang saat kongres menjabat sebagai wakil ketua panitia dan merupakan masyarakat adat dari tano Batak kemudian dipercaya menjadi Sekretaris Pelaksana (Sekpel) menggantikan sekertaris pelaksana yang terpilih saat kongres yang ternyata bukan berasal dari masyarakat adat.
Memimpin AMAN sebagai Sekpel dalam rentang 1999-2013, kepemimpinan Abdon sempat digantikan pada empat tahun periode berikutnya. Namun karena merosotnya kualitas organisasi saat itu, dirinya kembali diminta maju memimpin AMAN pada 2007. Posisinya saat itu bukan lagi Sekpel, namun menjadi Sekretaris Jendral (Sekjen)sesuai perubahan struktur oganisasi yang dilakukan AMAN.
Kapabilitas Abdon yang baik selama memimpin AMAN membuat dirinya begitu dipercaya kalangan masyarakat adat, sehingga pada periode berikutnya Abdon kembali dipercaya mengemban jabatan Sekjen hingga Maret 2017. Saat ini, Abdon memang telah menyerahkan suksesi kepemimpinan AMAN kepada Ruka Simbolinggi, namun dirinya masih dipercaya menjabat sebagai Perwakilan Dewan Adat Nasional region Sumatera sekaligus Wakil Ketua Dewan Adat nasional AMAN.
Sekalipun tidak lagi menjabat sebagai Sekjen, Abdon mengaku masih ada saja masyarakat adat yang menelponnya untuk melaporkan adanya kejadian di tempat mereka. “Saya selalu mengangkat telepon dari mereka (masyarakat adat), tengah malam sekalipun karena saya membayangkan mereka tengah malam turun dari gunung hanya untuk menelpon saya. Tidak mungkin saya tidak mengangkat telpon. Paling setelahnya saya bilang ‘habis lapor ke saya, lapor ke Sekjen (yang sekarang menjabat) juga ya’,” kata bapak dua anak ini.
Masa-masa menjadi Sekjen AMAN diakui Abdon memang menjadi masa hidupnya yang paling produktif. Saat ini, sekalipun masih terlibat dalam beberapa organisasi baik nasional maupun internasional, dirinya bisa sedikit melakukan hobi yang selama ini sulit tersalurkan.
“Kalau mengikuti hobi, saya ingin jalan-jalan lagi. Sebagai Sekjen AMAN memang jalan namun kan naik pesawat. Saya enggak pernah lagi motret dan buat catatan riset. Sebagai sekjen kan waktunya sebentar,belum sempat bencengkrama harus sudah pulang,” kata penerima penghargaan Elinor Ostrom 2015 ini.
Berupaya Membuat Bangga Orang Tua
Lahir dan besar dalam lingkungan masyarakat adat, Abdon sempat mengalami kesulitan dimasa-masa awal dirinya memutuskan berkarier pada gerakan masyarakat melalui Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Kesulitan itu muncul bukan kerena penolakan keluarga akan pilihannya, namun lebih kepada ketidak tahuan mereka akan apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Abdon.
“Bapak saya guru, ibu saya petani, saya dari lingkungan masyarakat adat yang kalau disebut keluar dari kampung , yang dinamakan pekerjaan itu jadi PNS mengabdi pada negara atau menjadi karyawan swasta, sementara saya keduanya tidak,” terang Abdon.
Ketidak tahuan keluarga mengenai LSM yang pada masa Orde Baru, membuat Abdon harus terus menjelaskannya khususnya kepada kedua orang tuanya. Jelas ini bukan hal yang mudah karena bukan semata menerangkan pekerjaan, namun juga menjawab jumlah gaji, siapa yang membayar, dan pekerjaannya seperti apa.
Namun satu hal yang disadarinya bahwa bagaimanapun orang tuanya memiliki keinginan untuk bisa merasakan kebanggaan kepada anak yang dibesarkan, Abdon pun mencari cara bagaimana membuat orang tuanya bisa bangga meski tidak tahu persis apa yang dia kerjakan.
Nilai lebih pekerjaannya saat itu yang bergerak pada bidang lingkungan yang isunya global, membuat Abdon cukup sering bepindah kota bahkan negara. Dari situ dirinya memiliki inisiatif untuk mengirimkan kartu pos dari setiap tempat yang ia kunjungi kepada Bapaknya di kampung.
“Saya menghibur Bapak dengan mengirim kartu pos dari setiap kota yang saya datangi, sehingga ketika Bapak saya menerima, dia bisa dengan bangga bercerita bahwa anaknya sedang di Amerika, sedang disini disana. Jadi sebenanya yang saya berikan bukan penjelasan tapi memberikan bahwa saya ini melakukan tugas diberbagai tempat,” kenang Abdon yang sampai sekarang masih aktif diberbagai organisasi nasional mapun internasional.
Seiring tumbangnya rezim orde baru dan LSM menjadi entitas yang baru, perlahan kedua orang tuannya mulai menyadari juga apa yang dikerjakannya adalah pekerjaan yang penting.
“Perlahan bahwa ternyata organisasi yang dibangun anak saya selama ini melawan pemerintah yang menindas, bermanfaat buat bangsa. Jadi ada kebangaan buat orang tua saya,” pungkasnya.
M Riz
Referensi : greeners.co dan rmol.co
BERITA
Sosok K’tut Tantri yang Terlupakan, Wanita yang Berjasa bagi NKRI di Masa Perjuangan
“Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya”
K’TUT TANTRI……
Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negeri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negeri barunya itu…
Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan…..
“Saja tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..
K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.
Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.
Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.
“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.
“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.
Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.
Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.
Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.
Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.
“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”..tulisnya dalam Revolt in Paradise.
Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.
Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.
Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.
Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.
Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.
Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.
Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.
Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.
Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.
Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.
Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.
Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.
Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.
Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.
K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.
Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.
Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.
Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.
Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis…..
“Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”……
Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya….
Mengenang sejarah sekitar orang-orang yang berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.
BERITA
Kabar Duka: Tio Hui Eng, Istri Indrajono Sangkawang Meninggal Dunia
Surabaya – Kabar duka datang dari keluarga besar Indrajono Sangkawang, istri tercintanya Tio Hui Eng dikabarkan telah meninggal dunia pada Sabtu (5/2/2022) di Mayapada Hospital, Surabaya, pukul 00.58 WIB.
Almarhumah Tio Hui Eng meninggal dunia pada umur 62 tahun. Dari pernikahannya dengan Indrajono Sangkawang, beliau meninggalkan empat anak tercintanya.
Rencananya upacara tutup peti akan dilaksanakan pada hari Senin, 7 Februari 2022, pukul 09.00-11.00 WIB di Adijasa, Ruang E, F, dan G. Sementara pemakaman akan dilaksanakan berangkat dari rumah duka pada hari Jumat 11 Februari 2022, pukul 09.00 WIB.
Kami segenap keluarga besar redaksi Fakta.News mengucapkan duka yang sangat mendalam bagi almarhumah dan keluarga yang ditinggal.
Semoga almarhumah diberikan tempat yang terbaik di sisiNya dan untuk keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh Allah Yang Maha Pengasih untuk menghadapi cobaan ini.
GAYA HIDUP
Kisah Changpeng Zhao si Pendiri Binance
Jakarta – Apa itu Binance? Binance adalah coin exchange atau juga dapat dikatakan pertukaran koin dari satu koin ke koin lainnya seperti dari Bitcoin ke Altcoin (dulu). Sekarang, anda bisa menggunakan kartu kredit atau uang fiat.
Salah satu platform perdagangan mata uang kripto yang sukses besar adalah Binance, yang didirikan oleh Changpeng Zhao. Bagaimana kisahnya yang menarik?
Zhao saat ini adalah salah satu orang terkaya dengan harta USD 1,9 miliar, sekitar Rp 27 triliun. Lelaki yang bermukim di Singapura ini lahir di China tapi kemudian berkewarganegaraan Kanada.
Zhao besar di Jiangsu, kedua orang tuanya adalah guru. Ketika beranjak remaja, Zhao sempat kerja di McDonald’s memasak burger dan tugas lainnya. Pada malam hari, dia juga bekerja di pom bensin.
Pada akhir 1980-an, Zhao dan keluarganya pindah ke Kanada. Ayahnya yang seorang profesor diasingkan karena bermasalah dengan negaranya. Zhao kemudian kuliah di MacGill University di Kota Montreal jurusan Ilmu Komputer.
Dia kemudian bekerja mengembangkan sistem perdagangan di bursa saham Tokyo di mana karirnya cepat menanjak. Namun pada tahun 2005, Zhao memutuskan keluar, pindah ke Shanghai, dan mendirikan perusahaan keuangan bernama Fusion Systems.
Tak puas dengan itu, Zhao mencium peluang bisnis besar di dunia kripto hingga mendirikan Binance di tahun 2017. Platform Binance bisa digunakan untuk memperdagangkan mata uang kripto ataupun untuk menyimpannya.
Binance juga punya uang kripto sendiri bernama BNB, terbesar ketiga di dunia dengan kapitalisasi pasar USD 54 miliar. Pada 2017 itu, Binance mengumpulkan pendanaan USD 15 juta dan mereka cepat berkembang. Pada tahun berikutnya, penggunanya mencapai 6 juta user.
Zhao dan Binance makin terkenal. Tahun 2020, Binance memperoleh pendapatan USD 800 juta dan volume total perdagangan tembus USD 2 triliun.
Zhao punya tato Binance di lengannya. Saking fanatik dengan bisnis kripto, dia mengklaim menginvestasikan seluruh uangnya dalam bentuk mata uang kripto.
“Barang-barang fisik yang aku punya mungkin tak ada artinya dibandingkan kekayaanku. Aku tidak menggunakan mata uang kripto untuk beli mobil, beli rumah. Aku hanya ingin menyimpannya. Aku tak berencana menukarnya menjadi uang di masa depan,” klaimnya.
Ya, dia mengaku hidup biasa-biasa saja. Dalam wawancara dengan Forbes di 2018, Zhang menyatakan tak punya kendaraan, jam mewah atau kapal pesiar. Tapi ia kadang memborong laptop, kadang enam unit sekaligus karena ia sering merusaknya.