Connect with us
DPR RI

Kris Dayanti Dorong Pemerintah Berikan Dukungan Psikologis Bagi Korban TPKS

Kris Dayanti Dorong Pemerintah Berikan Dukungan Psikologis Bagi Korban TPKS
Anggota Komisi IX DPR RI Kris Dayanti. Foto : DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Kris Dayanti merasa miris atas nasib gadis remaja berinisial AP yang menjadi korban pemerkosaan tiga anggota keluarga kandung, termasuk ayahnya sendiri. Ia pun mendorong agar bantuan trauma healing kepada korban dimaksimalkan demi mengurangi dampak dari trauma korban.

“Kejadian pilu yang menimpa remaja di Madiun menjadi luka bagi semua anak dan perempuan. Korban harus mendapat pendampingan trauma healing agar trauma yang dirasakannya dapat segera pulih,” kata Kris Dayanti, Selasa (7/11/2023).

Seperti diketahui, seorang anak remaja perempuan berusia 17 tahun di Desa Kertobanyon, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, Jawa Tengah menjadi korban pemerkosaan ayah kandung, paman dan juga kakeknya. Selain itu, korban juga sering mendapat kekerasan fisik dari keluarga ayah kandungnya.

Ironisnya, korban juga pernah mengalami peristiwa pemerkosaan pada tahun 2021 lalu. Pelaku pemerkosaan terhadap AP sebelumnya sudah mendapatkan putusan hukum dan menjalani masa tahanan.

Menurut KD, peristiwa memprihatinkan ini menjadi pengingat betapa besarnya fenomena kasus kekerasan seksual di Indonesia. Untuk itu, ia menekankan pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual, apalagi Indonesia saat ini sudah memiliki UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjamin perlindungan dan hak-hak korban.

Kris Dayanti mengatakan penerapan UU TPKS dapat menjadi salah satu langkah upaya memutus rantai kekerasan seksual di Indonesia yang sudah seperti fenomena gunung es. Hal ini lantaran UU TPKS juga memuat aturan tentang pencegahan, termasuk upaya perlindungan dari masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual.

“Penyelesaian fenomena gunung es kasus kekerasan seksual memang harus dilakukan dari hulu ke hilir. UU TPKS sebagai hasil perjuangan banyak pihak harus dapat diimplementasikan secara efektif karena bisa mengatur hak-hak pemulihan psikologis serta restitusi dan kebutuhan lainnya dari korban,” terang Kris Dayanti.

Lebih lanjut, perempuan yang karib disapa KD itu menekankan pentingnya perlindungan kepada semua anak perempuan di Indonesia. Apalagi bagi anak-anak yang kurang memiliki support system. “Baik perlindungan dari Negara, maupun perlindungan dari lingkungan-lingkungan terdekatnya harus ada,” ujarnya.

AP diketahui tinggal bersama ayah dan keluarganya lantaran sang ibu tak mengurusnya sejak kecil karena telah memiliki keluarga baru. Oleh karenanya, dukungan dari orang-orang terdekat anak yang broken home dinilai menjadi pondasi kuat untuk mencegah anak mengalami tindakan tidak terpuji.

“Tentu saja peran Pemerintah juga dibutuhkan untuk mengkampanyekan ketahanan keluarga demi masa depan anak-anak,” sebut KD.

Legislator dari Dapil Jawa Timur V ini pun meminta Pemerintah lebih serius menangani korban kekerasan seksual. KD mendorong Pemerintah untuk dapat memastikan adanya pendampingan bagi korban kekerasan seksual demi kesejahteraan mental mereka di masa depan, di mana hal ini juga merupakan amanat dari UU TPKS.

“Ketidakamanan dan traumatis adalah perasaan umum yang dirasakan oleh anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan. Mereka sering menghadapi stres, depresi, kecemasan, dan masalah psikologis lainnya yang dapat berlangsung sepanjang hidup jika tidak ditangani dengan baik,” tuturnya.

Kris Dayanti menambahkan, Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan dukungan psikologis yang komprehensif kepada para korban kekerasan seksual melalui lembaga terkait. Hal ini sesuai dengan aturan pada UU TPKS.

Anggota Komisi Kesehatan DPR RI itu menegaskan, setiap korban pemerkosaan memerlukan pendampingan psikolog, konselor dan tenaga medis yang berpengalaman untuk memberikan perawatan baik dari sisi fisik maupun psikologis.

Pasalnya, menurut KD, kesehatan mental sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Terutama bagi mereka yang mengalami peristiwa-peristiwa traumatis. “Berikan pendampingan psikologis, terapi, dan konseling yang dibutuhkan untuk membantu anak-anak mengatasi trauma karena kekerasan seksual,” ungkap KD.

Bukan hanya itu, Pemerintah juga diingatkan untuk menjamin hak-hak anak. Salah satunya hak mendapatkan pendidikan. Korban AP diketahui tidak dapat meneruskan jenjang pendidikan karena sang ayah enggan menebus ijazahnya.

“Hak-hak anak juga perlu diberikan, apalagi soal pendidikan. Karena pendidikan adalah bekal mereka untuk kembali ke masyarakat setelah mengalami pemulihan trauma akibat serangkaian kekerasan fisik dan seksual,” paparnya.

Di sisi lain, Kris Dayanti meminta semua stakeholder memberi perhatian pada kasus AP. Mengingat, kasus ini menambah panjang daftar peristiwa kekerasan seksual pada anak dan perempuan di Indonesia.

“Sudah banyak yang tahu tentang kasus ini, seharusnya lebih banyak sikap yang tegas dibangun oleh instansi maupun stakeholder terkait,” tegas KD.

Oleh karena itu, KD mengingatkan agar penanganan hukum dalam kasus pemerkosaan AP dapat diproses secepatnya. Diketahui, Polres Madiun masih belum memanggil terduga pelaku untuk menjalani pemeriksaan.

Laporan awal korban disebut tidak ditindaklanjuti dengan alasan kurangnya bukti. Padahal dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan bahwa keterangan korban merupakan alat bukti utama.

“Dalam penanganan kasus TPKS, pihak berwajib harus memberikan keberpihakan kepada korban. Dan penegak hukum harus memproses laporan tindak pidana kekerasan seksual. Melibatkan para ahli juga penting untuk menjerat pelaku,” ucap KD.

“Karena itu, aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk menggunakan UU TPKS sebagai acuan dalam mengusut tuntas kasus tersebut. Termasuk juga dengan UU Perlindungan Anak apabila korbannya masih di bawah umur,” tambah Anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI tersebut.

Menurut Pasal 4 ayat 2 UU TPKS, perkosaan atau persetubuhan terhadap anak-anak dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Untuk itu Polisi diingatkan untuk tidak mengabaikan laporan anak yang mengaku mengalami TPKS.

UU TPKS juga menutup ruang damai antara korban dengan pelaku kekerasan seksual. Jika terbukti memenuhi unsur pidana, maka pelaku kekerasan seksual harus dihukum secara maksimal. “UU TPKS ini memastikan tidak ada restorative justice, tidak ada ampun bagi pelaku kekerasan seksual. Jadi perdamaian antara pelaku dan korban itu tidak boleh,” tutup Kris Dayanti.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar

Oleh

Fakta News
Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap kegiatan study tour (tur belajar) yang sudah menjadi kegiatan ‘wajib’ di sekolah-sekolah. Hal tersebut Fikri sampaikan menyusul tragedi kecelakaan bus yang membawa siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok saat melakukan study tour ke Ciater, Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.

“Perlu dievaluasi menyeluruh mengenai tujuan, manfaat, dan kelayakan program yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah tersebut,” kata Fikri dalam rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban tragedi kecelakaan tersebut. Maka dari itu, dirinya mendesak pihak yang bertanggung jawab dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kegiatan study tour agar lebih terarah dan sesuai dengan asas, tujuan, dan kemanfaatan dalam Pendidikan para siswa.

“Misalnya perjalanan tur ke museum, pusat konservasi alam, atau instansi yang memberi edukasi dalam bidang-bidang tertentu,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Selain itu, kegiatan study tour yang bertujuan ke lokasi yang jauh, bahkan lintas provinsi dan lintas pulau sebaiknya ditinjau ulang. “Kegiatan ini tentu berbiaya besar dan bisa memberatkan bagi orangtua/wali siswa, kemudian ada faktor kelayakan dan keamanan yang harus dipenuhi dalam perjalanan tur jarak jauh tersebut,” urai Mantan Kepala Sekolah di suatu SMK di daerah Tegal tersebut.

Kegiatan study tour yang dilakukan di dalam kota juga dapat menjadi opsi yang terbaik, selain lebih murah dan lebih singkat waktu tempuhnya. “Tentu disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang mau diambil, karena kemungkinan besar masih banyak potensi di sekitar kota atau kabupaten sesuai domisili sekolah yang dapat menambah wawasan bagi siswa,” tambah dia.

Dengan begitu, sebenarnya kegiatan study tour dalam kota  juga dapat membantu meningkatkan perekonomian UMKM di wilayah asal/ domisili sekolah tersebut. “Wawasan siswa juga tetap diperkaya melalui pengenalan potensi alam, ekonomi, sosial dan budaya di daerahnya sendiri,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat

Oleh

Fakta News
Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyatakan perlu ada kajian lebih lanjut pasca dihapuskannya kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit. Sebab, menurutnya, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.

“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian. Jadi kita minta untuk dilakukan kajian, kenapa? karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty kepada Parlementaria di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2024).

Diketahui, penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.

Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya yakni adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.

“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? kalau kemudian semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?,” ujarnya.

Imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi, karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja. “Karena (masyarakat) pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang  sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelas Politisi Fraksi PKS itu.

Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan, karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian. “Karena kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya

Namun, menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII itu, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja, yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.

“Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik, padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien. Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia

Oleh

Fakta News
Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia
Wakil Ketua BKSAP Putu Supadma Rudana, saat mengikuti rapat bersama Ms. Yoon Jin selaku Director of 10th World Water Forum di Ruang Delegasi Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan, melalui WWF 2024 diharapkan akan melahirkan komitmen bersama terkait air yang disepakati oleh seluruh Parlemen yang ada. Hal ini disampaikan dalam rangka World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang.

“Yang pertama kan jelas untuk meng-evaluasi SDGs Nomor 6 tentang Air dan Sanitasi. Yang kedua bagaimana perspektif ini masa lalu ini harus dihadirkan. Contoh di Bali, karena saya orang Bali, ada Tri Hita Karana hubungan harmoni antara alam manusia dan Sang Pencipta. Yang kedua bagaimana di Bali, air yang disebut tirta selalu dimuliakan ada tempat sucinya, ada bagaimana kita melakukan penyucian dengan air juga, ada bagaimana air ini juga sangat dihormati, dihargai,” kata Putu usai rapat di ruang delgasi, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Putu menilai pengelolaan air yang benar dapat menurunkan potensi terjadi konflik. Menurutnya, sudah banyak negara yang mengalami konflik karena air contohnya di Sungai Nil. Sementara itu telah terjadi perselisihan selama 10 tahun antara Mesir dan Ethiopia mengenai pasokan air di Sungai Nil. Kedua pihak mencari solusi internasional, namun perundingan yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS – dan diikuti oleh Uni Eropa dan PBB – hanya menghasilkan sedikit kesepakatan setelah empat tahun.

“Nah tentu kita harus merawat menata air bagaimana kita juga jangan sampai air ini menimbulkan konflik. Karena banyak negara sudah mulai ada konflik terhadap air di Sungai Nil, jadi Afrika ini sudah menjadi konflik. Nah tentu karena belum menuju potensi itu tentu kita harus mengelola bersama. Kita cari komitmen bersama agar akses terhadap air ini khususnya air bersih bisa diterima oleh masyarakat. Jadi artinya bisa diterima langsung dan masyarakat mendapat kesejahteraan jangan ada beban biaya yang tinggi untuk akses terhadap air,” ungkapnya.

“Nah tentu forum ini sangat monumental sehingga kita berpikir awal sudah baik kita tentu harus sukseskan ke depan. Dan forum ini juga kita memiliki komitmen bagaimana menggerakkan aksi parlemen untuk peduli terhadap air dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” tambahnya. Dengan tema WWF kali ini, “Mobilizing Parliamentary Action on Water For Shared Prosperity”, Putu menjelaskan Parlemen di WWF ingin mengeluarkan sebuah dokumen antara komitmen bersama maupun deklarasi.

Baca Selengkapnya