Connect with us

Mahfud MD, Pewaris Pemikiran Pluralisme Gus Dur

Penulis:
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden

Tahun 1995, ketika saya menginjakkan kaki di Jakarta dan melanjutkan SMA kelas 2 di Bekasi, saat itu adalah tahun-tahun terakhir Orde Baru. Tetapi saat itu, masih teringat sekali, dimana diskriminasi terhadap etnis minoritas terutama etnis Tionghoa sangat kental.

Orang Tionghoa sendiri, khususnya yang tinggal di Pulau Jawa selalu berusaha menanggalkan ke-Tionghoan-nya. Selalu takut dengan ke-Tionghoa-annya. Saya masih ingat ketika teman saya yang bilang untung matanya “belo” dan kulitnya hitam, jadi tidak mirip Tionghoa.

Banyak juga teman sesama Tionghoa yang waktu itu diucapkan selamat tahun baru Imlek sama saya, selalu menjawab,” Saya sudah Kristen dan tidak merayakan Imlek lagi.” Padahal jelas sekali Imlek sebenarnya itu perayaan budaya di berbagai negara.

Mungkin itulah sebabnya umat Konghucu merasa sebal ketika di era reformasi, orang-orang Tionghoa non-Konghucu beramai-ramai mengklaim Imlek sebagai budaya dan bukan perayaan agama, ramai-ramai mengadakan misa atau kebaktian Imlek, tetapi tidak tahu apa itu makna Imlek. Tulisan kali ini sebenarnya bukan mau membahas apa itu Imlek dan Tionghoa, tetapi ini hanya sebuah pengantar saja.

Perayaan Tahun Baru China atau Imlek tak lepas dari sosok Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Seperti yang diketahui pada 2004, gelar Bapak Tionghoa Indonesia disematkan kepada Gus Dur oleh Perkumpulan Sosial Rasa Dharma di Kleteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah.

Sebagai seorang ulama yang berpengetahuan luas, Gus Dur memiliki pemikiran yang pluralis. Gus Dur termasuk tokoh yang tidak suka diskriminasi terhadap etnis apapun di Indonesia. Dia merupakan orang pertama yang menyelesaikan permasalahan diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa.

Melalui Keppres No 6/2000, Gus Dur mengakhiri satu permasalahan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sehingga pada akhirnya mereka dapat merayakan Hari Imlek secara bebas dan terbuka. Keppres tersebut menghapus Inpres No 14/1967 yang mengatur tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.

Pada peraturan lama, kelompok Tionghoa di Indonesia tidak diperbolehkan melakukan tradisi ataupun kegiatan peribadatan secara mencolok di depan umum dan hanya diperbolehkan dilakukan di lingkungan keluarga. Hal ini lantaran, saat itu Presiden Soeharto menganggap jika aktivitas warga Tionghoa akan menghambat proses asimilasi dengan masyarakat pribumi.

Pada masa Orde Baru, kelompok Tionghoa juga diminta untuk mengganti identitas mereka menjadi nama yang “berbau” atau mendekati Indonesia. Ketika resmi menjabat sebagai Presiden Indonesia, Gus Dur berbeda pendapat dengan beberapa pemikiran Soeharto.

Menurutnya, banyak sekali nama etnis lain di Indonesia bukanlah nama asli Indonesia, dan mengapa Soeharto hanya mempermasalahkan nama yang mirip dengan etnis Tionghoa, korea atau Asia timur? Sedangkan etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia, oleh karena itu mereka harus mendapatkan hak-hak yang setara. Termasuk dalam menjalankan ibadah keagamaannya.

Bagi Gus Dur, perayaan imlek ini adalah bagian dari sebuah tradisi budaya. Gus Dur kemudian menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur fluktuatif. Yang artinya hanya masyarakat yang merayakan yang diperbolehkan libur. Baru pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Bagi Gus Dur, pluralisme bisa saja terjadi jika seluruh masyarakat mau menghargai demokrasi yang berpedoman pada hukum dan juga perlakuan yang sama terhadap semua warga negara.

Gus Dur dan Mahfud MD

Mahfud MD merupakan salah satu pakar hukum yang memiliki pengalaman lengkap sebagai dosen dan pernah duduk di kursi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketika dipercaya menjadi menteri pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Mahfud MD memegang jabatan itu kurang dari satu tahun.

Ia memegang jabatan Menteri Pertahanan selama 11 bulan, kemudian menjabat menteri Kehakiman dan HAM kurang dari satu bulan. Dia mundur dari jabatan menteri bersamaan dengan lengsernya Gus Dur dari jabatan Presiden.

Dia kembali menjadi menteri setelah didapuk Presiden Joko Widodo sebagai menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan. Mahfud MD resmi ditunjuk sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi calon presiden Ganjar Pranowo yang diusung PDI Perjuangan.

Hal ini diumumkan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di kantor DPP PDI Perjuangan Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Oktober 2023. Mahfud MD merupakan salah satu tokoh yang kerap menyuarakan pentingnya merawat dan memperkuat Pancasila sebagai ideologi dan pemersatu bangsa.

Hal itu terus dia suarakan ketika dia menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dan saat menjabat Menko Polhukam. Mengutip pemberitaan Harian Kompas..”Konsepsi kebinekaan dalam kehidupan berbangsa juga harus terus dirawat. Sebab, hal itu sudah menjadi dasar pemikiran para pendiri bangsa saat berjuang merebut kemerdekaan.

Soekarno dan pendiri bangsa lainnya sudah mendiskusikan itu. Perbedaan bukan untuk dilawan. Namun, berlombalah untuk maju bersama dalam persatuan,” kata Mahfud Hal senada disuarakan saat dialog kebangsaan di Solo, Jawa Tengah. Dia mengatakan Pancasila sebagai dasar ideologi negara tidak akan tergantikan. Sejarah membuktikan upaya-upaya untuk mengganti ideologi Pancasila baik melalui jalan pemberontakan maupun pemilu tidak pernah berhasil.

”Berdasarkan pengalaman panjang dan banyak itu, mari kita bekerja saja sekarang untuk membangun bangsa ini. Bersatu membangun negeri ini, tidak usah bermimpi mengganti sistem kenegaraan, mengganti ideologi negara,” ujar Mahfud MD.

Dengan melihat kisah Gus Dur dan Mahfud MD, kita dapat melihat persamaan dalam upaya mereka mempromosikan pluralisme dan mengakhiri diskriminasi terhadap kelompok minoritas, terutama etnis Tionghoa di Indonesia.

Keduanya berjuang untuk hak-hak setara bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang etnis atau agama mereka. Gus Dur telah mengakhiri diskriminasi terhadap etnis Tionghoa terkait perayaan Imlek, sementara Mahfud MD terus menyuarakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa.

Melalui pengabdian mereka, kita dapat melihat contoh pentingnya toleransi, pluralisme, dan perdamaian dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Alasan etnis Tionghoa “wajib” hukumnya memilih Mahfud MD sebagai wakil Presiden karena:

Satu, Mahfud MD mewarisi dan meneruskan pemikiran pluralisme yang menjadi landasan penting bagi etnis Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya di Indonesia. Sebagai pengganti Gus Dur, yang merupakan bapak pluralisme Indonesia, Mahfud MD dianggap sebagai pemimpin yang akan terus memperjuangkan hak-hak setara, toleransi, dan kerukunan antar-etnis dan antaragama.

Kedua, sejalan dengan poin di atas, Mahfud MD memiliki pemikiran yang sejalan dengan Gus Dur dalam hal pluralisme, toleransi, dan penghormatan terhadap hak-hak minoritas. Ini menciptakan kesinambungan dalam pemikiran dan upaya untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil.

Berikutnya, etnis Tionghoa dan masyarakat luas di Indonesia menghargai kontribusi besar yang diberikan oleh Gus Dur dalam mengakhiri diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan mempromosikan pluralisme. Dengan memilih Mahfud MD, kita dapat membalas budi kepada almarhum Gus Dur dengan mengamankan kelanjutan visi dan pemikirannya.

Kemudian, Mahfud MD telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap ideologi Pancasila dan pluralisme dalam masyarakat Indonesia. Dengan memilihnya sebagai wakil Presiden, etnis Tionghoa berharap dapat bekerja sama untuk mewujudkan perubahan positif dan menjaga kerukunan antaretnis dan antaragama di negara ini.

Terakhir, Mahfud MD memiliki pengalaman yang luas di berbagai posisi pemerintahan dan telah membangun reputasi sebagai seorang yang memperjuangkan hak asasi manusia, keadilan, dan nilai-nilai demokrasi. Ini membuatnya menjadi calon yang kuat untuk mendukung hak-hak etnis Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya di Indonesia.

Dengan memilih Mahfud MD sebagai wakil presiden, etnis Tionghoa berharap dapat menghormati warisan pluralisme Gus Dur dan bekerja sama untuk memperkuat nilai-nilai toleransi, keadilan, dan perdamaian dalam masyarakat Indonesia.

(Sumber)

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya