Connect with us
DPR RI

Sinergisitas dan Koordinasi Pemerintah dalam Percepatan Rekonstruksi Gempa di Palu Cukup Baik

Sinergisitas dan Koordinasi Pemerintah dalam Percepatan Rekonstruksi Gempa di Palu Cukup Baik
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Andi Iwan Darmawan Aras saat meninjau sejumlah lokasi Kunjungan Kerja Reses Komisi V DPR RI di Sulawesi Tengah. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi V DPR RI Andi Iwan Darmawan Aras menilai, koordinasi dan sinergisitas antarmitra kerja di Palu, Provinsi Sulawesi Tengah dalam upaya percepatan rekonstruksi pasca bencana gempa likuifaksi sudah cukup baik. Hal itu terbukti dengan adanya penentuan wilayah zona hijau yang sudah bisa ditempatkan kembali oleh masyarakat sebagai pemukiman terdampak bencana hebat yang terjadi pada 2018 lalu.

Hal itu disampaikan Andi Iwan kepada Parlementaria usai melakukan seluruh rangkaian Kunjungan Kerja Reses Komisi V DPR RI ke lokasi pasca bencana Likuifaksi. Kunjungan tersebut dilanjutkan ke lokasi pembangunan Hunian Tetap yang berada di Petobo, dan peninjauan pembangunan DAM/Bendungan di Desa Bangga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Overall saya kira koordinasi mereka cukup baik, bahwa dalam penentuan wilayah yang tidak menjadi wilayah merah itu sudah ditentukan kerja sama koordinasi dengan BMKG, koordinasi lembaga lainnya, kemudian PUPR menetapkan lokasi kemudian juga membangun. Saya kira koordinasi dengan mitra kerja Komisi V DPR RI khususnya dengan BMKG, Basarnas, Kementerian PUPR, beserta Kementerian Perhubungan dalam hal ini secara khusus mungkin terkait masalah bandara, ini kan semua sudah menjadi ketetapan atas bencana itu semua terkoordinasi dengan baik,” tuturnya, di Sulawesi Tengah, Jumat (14/7/2023).

Ia pun menilai menilai kinerja Basarnas pun sudah optimal. Oleh karena itu, ia menegaskan Komisi V akan mendukung kinerja tiap mitra agar lebih maksimal lagi sehingga dapat meningjatkan pelayanan terhadap masyarakat.

“Tentunya kita akan selalu mengacu pada proses penganggaran. Kami dari Komisi V akan berusaha semaksimal mungkin memberikan dukungan anggaran itu. Karena kita tahu tidak hanya Sulawesi Tengah, tapi hampir berapa banyak wilayah di Indonesia yang juga membutuhkan hal yang sama, dan inilah semuanya akan kita inventarisir, dan kemudian memberikan prioritas anggaran yang kira-kira di wilayah mana yang harus didahului, yang bisa ditangani dengan anggaran tersebut,” ungkap Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

Terkait rencana akan dijadikannya Desa Petobo untuk menjadi semacam ‘kota wisata’ likuifaksi, ia berharap adanya kerja sama antara Pemerintah Daerah dan Pusat untuk pembebasan lahan. Sebab, hampir semua lahan yang akan dibangun sebagai kota wisata tersebut masih menjadi hak milik warga. “Ini yang memang perlu bicarakan tadi.

Dari Pemerintah Pusar juga kalau misalkan bisa dibiayai dengan pinjaman seperti itu, tapi memang peran aktif dari pemerintah kabupaten kota atau pemprov sendiri kita butuhkan dalam upaya membebaskan lahan tersebut,” katanya.

Namun, menurut Andi, aspirasi warga sekitar yang sejatinya lebih menginginkan dibangunnya jalan kembali. Hal itu mengingat sebelum terjadinya bencana likuifaksi, jalan di desa tersebut merupakan jalan utama penghubung dengan wilayah lainnya. Sehingga, setelah terjadinya bencana, masyarakat kesulitan mengakses jalan dan harus berputar lebih jauh lagi.

“Tadi ada beberapa masukan dari masyarakat agar supaya lahan tersebut bisa dibangunkan jalan lagi. Saya kira harus melalui kajian yang lebih mendalam. Jangan sampai kemudian dengan membangun jalan baru di tempat itu akan membuka pikiran dari masyarakat kita kembali bermukim di wilayah itu. Kita tidak menginginkan hal-hal yang kemudian bisa lagi terjadi (bencana) lagi ke depan di wilayah-wilayah yang sudah zonanya zona merah,” tandasnya.

Selain itu, Komisi V juga turut mengunjungi lokasi pembangunan Hunian Tetap (Huntap) yang akan digunakan oleh masyarakat terdampak bencana likuifaksi. Diketahui, pembangunan Huntap merupakan salah satu program rekonstruksi pasca bencana yang dikerjakan oleh Pemerintah Pusat.

“Kita membuat program-program itu tentunya sekaligus juga dalam konteks mengamankan masyarakat kita agar tidak lagi berada di wilayah-wilayah yang di Zona merah, zona yang berbahaya. Sehingga, saat ini kita berikan Huntap dari Pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR, agar supaya semua masyarakat yang terkena dampak atas likuifaksi tersebut bisa mendapat hunian yang layak minimal seperti itu,” katanya.

Andi menjelaskan, bahwa seluruh masyarakat yang terdampak bencana likuifaksi akan difasilitasi oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk diberikan hunian tetap. Adapun, secara konstruksi, Huntap tersebut sudah mempertimbangkan aspek bencana gempa yang kemungkinan akan terjadi lagi.

“Jadi desainnya memang sudah didesain sedemikian rupa bahwa hunian tersebut sudah hunian tetap dan wilayah yang kita tunjuk yang ditempatkan oleh Pemerintah juga sudah wilayah yang zona hijau tidak lagi menjadi zona yang berbahaya,” tutupnya.

Turut Hadir dalam Kunjungan Kerja Reses Komisi V DPR RI ke Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Di antaranya, yaitu Djenri Alting Keintjem dan Sarce Bandaso Tandiasik (F-PDIP); Hamka B.Kady dan Muhammad Fauzi (F-PG); Iis Rosyita Dewi (F-Gerindra); Dedi Wahidi (F-PKB), Anwar Hafidz, dan Willem Wandik (F-PD); Sigit Sosiantomo (F-PKS), Muh. Aras (F-PPP).

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya