Connect with us

Wapres Ma’ruf Ajak GAPKI Tekan Kampanye Negatif Kelapa Sawit

Jakarta – Sejak menjadi produsen utama kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dunia pada 2006, Indonesia menghadapi tantangan global yang menguat. Seiring dengan peningkatan produksi CPO Indonesia, muncul kampanye negatif di tingkat global yang menuduh kelapa sawit sebagai penyebab perubahan iklim.

Untuk itu, semua pihak yang terkait, termasuk Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang mewadahi para pengusaha kelapa sawit, dinilai perlu bersama-sama untuk menyusun strategi dan menggalakkan kampanye positif guna menekan isu tersebut.

“Kita harus dapat mengkomunikasikan informasi dan kebijakan secara efektif, serta membuktikan bahwa upaya pengembangan industri kelapa sawit nasional tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan dan ramah lingkungan,” tegas Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin saat menyaksikan pengukuhan pengurus GAPKI periode 2023-2028 di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 6, Jakarta Pusat, Rabu (12/04/2023).

Lebih jauh, Wapres menjelaskan bentuk komitmen pemerintah Indonesia terhadap penurunan emisi karbon, misalnya, dengan memperbaharui target penurunan emisi yang termuat dalam Nationally Determined Contribution atau Enhanced Nationally Determined Contribution (Enhanced NDC).

“Target semula dari 29% menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri, dan dari 41% menjadi 43,20% dengan dukungan internasional. Sesuai visi Indonesia, untuk mencapai _net-zero emission_ pada tahun 2060 atau lebih cepat,” tuturnya.

Dalam upaya itu, Wapres menyebut bahwa perkebunan kelapa sawit memberikan kontribusi secara signifikan.

“Berdasarkan perhitungan, tutupan kebun sawit nasional seluas 16,38 juta hektare berkontribusi pada penyerapan 2,2 miliar ton CO2 setiap tahun,” ujar Wapres mengemukakan fakta pendukung.

“Selain itu, program biodiesel atau B30 untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil telah mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 29,5 juta ton setara CO2 di tahun 2022,” imbuhnya.

Untuk itu pula, ungkap Wapres, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau _Indonesian Sustainable Palm Oil_ (ISPO), sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam mendorong praktik keberlanjutan di industri kelapa sawit.

“ISPO akan menaikkan daya saing sekaligus memperkuat upaya untuk mengakselerasi penurunan emisi karbon dari industri kelapa sawit Indonesia,” ucap Wapres saat menekankan pentingnya transformasi di industri kelapa sawit.

Menurut Wapres, fakta-fakta ini penting untuk diinformasikan kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat internasional agar kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit ini dapat diredam.

Wapres pun menyatakan bahwa pengurus GAPKI yang hari ini dilantik menjadi ujung tombak untuk menyinergikan kekuatan internal dalam mewujudkan transformasi tersebut, termasuk menghadapi kampanye negatif kelapa sawit dan berbagai tantangan lainnya.

“Harapan saya kepada jajaran pengurus yang baru agar lebih memperkokoh peran GAPKI dalam mewujudkan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan pada tahun 2024 serta membantu penyelesaian pekerjaan rumah, seperti peningkatan produktivitas, kampanye negatif, gangguan usaha dan konflik, hilirisasi, maupun hambatan akses pasar di negara tujuan ekspor,” pinta Wapres.

Selain itu, Wapres mengingatkan pengurus baru GAPKI akan perlunya langkah-langkah konkret penguatan internal industri sawit nasional, sebagaimana pernah disampaikannya saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) XI GAPKI, pada Maret 2023 lalu.

Saat itu, Wapres telah meminta GAPKI, antara lain, untuk memperkuat kemitraan antara petani dan perusahaan besar, memberikan pendampingan dan bimbingan sertifikasi ISPO, mengoptimalkan program _corporate social responsibility_ (CSR), meningkatkan kepeloporan GAPKI dalam mengembangkan wilayah terpencil, serta memberdayakan masyarakat perkebunan melalui kerja sama dengan pondok pesantren.

“Saya berharap, pengurus yang baru dapat mengimplementasikan ke dalam program dan aksi nyata yang berdampak luas bagi masyarakat maupun pelaku industri, termasuk petani sawit,” ucapnya.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan GAPKI, dengan lebih dari 16 juta hektare kebun kelapa sawit yang dikelolanya merupakan organisasi kelapa sawit terbesar di dunia. Dengan demikian, kemajuan dan kemunduran industri kelapa sawit nasional ditentukan oleh kinerja GAPKI. Syahrul pun menaruh harapan besar, agar pengurus GAPKI yang baru akan mampu mengejar target 1.000 hektare program peremajaan sawit rakyat.

“Selamat jadi pengurus baru GAPKI. Saya berharap kita segera ketemu lagi, akan saya undang ke kantor saya,” ucapnya.

Di sisi lain, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono melaporkan, telah dilakukan penyesuaian terhadap struktur organisasi GAPKI periode 2023-2028 untuk mengatasi tantangan yang ada. Salah satunya, yaitu dibentuk bidang percepatan peremajaan sawit rakyat, sebab peremajaan sawit rakyat menjadi salah satu fokus utama kepengurusan baru GAPKI.

“GAPKI punya keyakinan, dengan percepatan implementasi peremajaan sawit rakyat, akan menentukan bukan hanya peningkatan produktivitas dan produksi nasional, tetapi juga kesejahteraan petani. Tentunya hal ini perlu didukung dengan kebijakan pemerintah yang saling berkaitan,” papar Eddy.

Selain pengurus GAPKI yang dilantik, hadir pula dalam acara ini, segenap jajaran pejabat Kementerian Pertanian, antara lain, Sekretaris Jenderal Kasdi Subagyono, Direktur Jenderal Perkebunan Andi Nur Alam Syah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Ali Jamil, dan Direktur Jenderal Hortikultura Prihasto Setyanto.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar

Oleh

Fakta News
Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap kegiatan study tour (tur belajar) yang sudah menjadi kegiatan ‘wajib’ di sekolah-sekolah. Hal tersebut Fikri sampaikan menyusul tragedi kecelakaan bus yang membawa siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok saat melakukan study tour ke Ciater, Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.

“Perlu dievaluasi menyeluruh mengenai tujuan, manfaat, dan kelayakan program yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah tersebut,” kata Fikri dalam rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban tragedi kecelakaan tersebut. Maka dari itu, dirinya mendesak pihak yang bertanggung jawab dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kegiatan study tour agar lebih terarah dan sesuai dengan asas, tujuan, dan kemanfaatan dalam Pendidikan para siswa.

“Misalnya perjalanan tur ke museum, pusat konservasi alam, atau instansi yang memberi edukasi dalam bidang-bidang tertentu,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Selain itu, kegiatan study tour yang bertujuan ke lokasi yang jauh, bahkan lintas provinsi dan lintas pulau sebaiknya ditinjau ulang. “Kegiatan ini tentu berbiaya besar dan bisa memberatkan bagi orangtua/wali siswa, kemudian ada faktor kelayakan dan keamanan yang harus dipenuhi dalam perjalanan tur jarak jauh tersebut,” urai Mantan Kepala Sekolah di suatu SMK di daerah Tegal tersebut.

Kegiatan study tour yang dilakukan di dalam kota juga dapat menjadi opsi yang terbaik, selain lebih murah dan lebih singkat waktu tempuhnya. “Tentu disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang mau diambil, karena kemungkinan besar masih banyak potensi di sekitar kota atau kabupaten sesuai domisili sekolah yang dapat menambah wawasan bagi siswa,” tambah dia.

Dengan begitu, sebenarnya kegiatan study tour dalam kota  juga dapat membantu meningkatkan perekonomian UMKM di wilayah asal/ domisili sekolah tersebut. “Wawasan siswa juga tetap diperkaya melalui pengenalan potensi alam, ekonomi, sosial dan budaya di daerahnya sendiri,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat

Oleh

Fakta News
Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyatakan perlu ada kajian lebih lanjut pasca dihapuskannya kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit. Sebab, menurutnya, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.

“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian. Jadi kita minta untuk dilakukan kajian, kenapa? karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty kepada Parlementaria di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2024).

Diketahui, penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.

Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya yakni adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.

“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? kalau kemudian semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?,” ujarnya.

Imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi, karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja. “Karena (masyarakat) pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang  sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelas Politisi Fraksi PKS itu.

Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan, karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian. “Karena kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya

Namun, menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII itu, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja, yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.

“Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik, padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien. Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia

Oleh

Fakta News
Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia
Wakil Ketua BKSAP Putu Supadma Rudana, saat mengikuti rapat bersama Ms. Yoon Jin selaku Director of 10th World Water Forum di Ruang Delegasi Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan, melalui WWF 2024 diharapkan akan melahirkan komitmen bersama terkait air yang disepakati oleh seluruh Parlemen yang ada. Hal ini disampaikan dalam rangka World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang.

“Yang pertama kan jelas untuk meng-evaluasi SDGs Nomor 6 tentang Air dan Sanitasi. Yang kedua bagaimana perspektif ini masa lalu ini harus dihadirkan. Contoh di Bali, karena saya orang Bali, ada Tri Hita Karana hubungan harmoni antara alam manusia dan Sang Pencipta. Yang kedua bagaimana di Bali, air yang disebut tirta selalu dimuliakan ada tempat sucinya, ada bagaimana kita melakukan penyucian dengan air juga, ada bagaimana air ini juga sangat dihormati, dihargai,” kata Putu usai rapat di ruang delgasi, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Putu menilai pengelolaan air yang benar dapat menurunkan potensi terjadi konflik. Menurutnya, sudah banyak negara yang mengalami konflik karena air contohnya di Sungai Nil. Sementara itu telah terjadi perselisihan selama 10 tahun antara Mesir dan Ethiopia mengenai pasokan air di Sungai Nil. Kedua pihak mencari solusi internasional, namun perundingan yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS – dan diikuti oleh Uni Eropa dan PBB – hanya menghasilkan sedikit kesepakatan setelah empat tahun.

“Nah tentu kita harus merawat menata air bagaimana kita juga jangan sampai air ini menimbulkan konflik. Karena banyak negara sudah mulai ada konflik terhadap air di Sungai Nil, jadi Afrika ini sudah menjadi konflik. Nah tentu karena belum menuju potensi itu tentu kita harus mengelola bersama. Kita cari komitmen bersama agar akses terhadap air ini khususnya air bersih bisa diterima oleh masyarakat. Jadi artinya bisa diterima langsung dan masyarakat mendapat kesejahteraan jangan ada beban biaya yang tinggi untuk akses terhadap air,” ungkapnya.

“Nah tentu forum ini sangat monumental sehingga kita berpikir awal sudah baik kita tentu harus sukseskan ke depan. Dan forum ini juga kita memiliki komitmen bagaimana menggerakkan aksi parlemen untuk peduli terhadap air dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” tambahnya. Dengan tema WWF kali ini, “Mobilizing Parliamentary Action on Water For Shared Prosperity”, Putu menjelaskan Parlemen di WWF ingin mengeluarkan sebuah dokumen antara komitmen bersama maupun deklarasi.

Baca Selengkapnya