Connect with us

Ketua Umum Poros 98: Bacapres Harus Fokuskan Gagasan Serta Kesetiaan Pada UUD 1945 dan Pancasila

Ketua Umum Poros 98 Parlin Silaen

Jakarta – Ketua Umum Poros 98 Parlin Silaen0 menilai para kandidat Capres yang muncul dalam bursa Capres Pilpres 2024 belum ada yang menawarkan gagasan atau visi dan misi jika mereka terpilih menjadi Presiden 2024 – 2029.

“Hingga saat ini belum ada satu pun Bakal Capres (Bacapres) yang menawarkan gagasan atau visi misi mereka. Saya paham jika momentum Pilpres masih jauh. Tetapi untuk seorang tokoh yang digadang-gadang menjadi Capres, sudah sepatutnya menawarkan gagasan atau visi misi sehingga publik semakin tertarik kepada sosoknya,” ujar Parlin dalam sebuah obrolan singkat di sebuah kedai kopi di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Senin (20/02/2023).

Parlin menilai pentingnya seorang Bacapres menawarkan gagasan atau visi misi, meski hanya dalam sebuah jargon.

“Dengan adanya jargon atau tagline dari seorang kandidat Capres, setidaknya opini publik digiring kepada deskripsi gagasan yang melekat pada kandidat Capres tersebut.”

Dalam hingar-bingar hasil survey tingkat popularitas dan elektibilitas Bacapres, publik digiring kepada tingginya tingkat elektibilitas dan popularitas calon yang didukungnya.

“Kita cenderung menyoroti soal popularitas dan elektibilitas para Bacapres ketimbang gagasan yang mereka lontarkan,” imbuh Parlin.

Menurut Parlin gagasan atau visi misi adalah hal yang paling penting dalam hal menilai seorang Bacapres. Melalui gagasan yang dilontarkan, setidaknya publik dapat menilai seberapa layak seorang Bacapres untuk dipilih.

“Kita ini mau memilih calon pemimpin bangsa ke depan. Gagasan yang ditawarkan, visi dan misi yang diemban itu hal yang paling penting. Lewat gagasan, visi dan misi yang dibarengi track record seorang Bacapres, kita bisa melihat kredibilitas dan integritas seorang Bacaapres. Sampai saat ini kami belum melihat adanya gagasan yang ditawarkan oleh para Bacaapres,” kata Parlin.

Poros 98 berharap momentum pesta demokrasi tahun depan dapat memunculkan gagasan-gagasan baru tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, membawa kehidupan masyarakat yang lebih baik dalam segala aspek.

Pertarungan gagasan antara pasangan Capres-Cawapres dapat dijadikan ajang pembelajaran publik terkait kehidupan berbangsa dan bernegara yang melibatkan berbagai aspek kehidupan.

Ajang perdebatan para Capres-Cawapres disertai gagasan yang ditawarkan selama masa kampanye merupakan proses pendidikan bagi publik yang bisa memperoleh informasi seputar permasalahan yang dihadapi oleh para pemimpin bangsa selama ini.

Publik diajak untuk mengkaji masalah-masalah riil diberbagai bidang, sekaligus diajak untuk berprilaku demokratis. Belajar menghargai perbedaan pendapat dan belajar kritis dalam melihat permasalahan yang tengah dihadapi oleh bangsa ini.

Parlin menambahkan bahwa Poros 98 melihat belum ada gagasan baru yang ditawarkan oleh para Bacapres hingga saat ini. Dirinya berharap para kandidat itu sudah harus berani memunculkan gagasan atau visi dan misi yang akan mereka bawakan sehingga penilaian publik bisa lebih rasional.

“Kita bisa katakan Anies Baswedan atau Agus Harimurthi Yudhoyono adalah sosok kandidat Capres yang mewakili kelompok oposisi. Namun oposisi dalam hal apa? Apakah hanya dalam sikap politik saja? Kedua kandidat Capres ini seharusnya sudah mulai menawarkan gagasan, atau setidaknya jargon yang membentuk opini publik terkait sosok mereka. Sebaliknya juga dengan kandidat Capres yang lain, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Airlangga Hartarto dan lainnya yang selama ini berada di lingkaran pemerintah. Mereka juga harus menawarkan gagasannya agar publik bisa lebih memberikan penilaian lebih dalam dan rasional soal dukungan terhadap para kandidat Capres ini,” tambah Parlin.

Para Bacapres yang memiliki elektibilitas dan popularitas yang tinggi sudah semestinya memiliki tanggung jawab moral untuk melontarkan sedikit gagasannya tentang visi ke depan, terlepas dari aturan pelaksanaan Pilpres yang ditetapkan. Menurut Parlin, hal ini penting bagi pendidikan politik masyarakat yang menilai konsistensi Bacapres sejak awal.

“Aturan main Pilpres (Pemilu-red) memang memiliki tahapan-tahapan yang harus ditaati oleh semua pihak. Namun gambaran dari gagasan yang ditawarkan oleh Bacapres akan menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat dalam memilih calonnya,” imbuh Parlin.

Masyarakat dapat menilai konsistensi gagasan yang ditawarkan dari awal seorang Bacapres itu masuk ke dalam bursa Bacapres hingga dia berhasil diusung oleh partai politik.

“Disini kita bisa menilai integritas dari seorang Bacapres. Publik tidak akan mudah terkecoh oleh isu-isu yang dihembuskan oleh pihak-pihak tidak bertanggung-jawab dan cenderung menentukan pilihan secara rasional,” kata Parlin.

Terkait aturan pelaksanaan Pemilu yang terbagi dalam beberapa tahap, sebagaimana dijelaskan dalam UU Pemilu No.7 Tahun 2017 memang harus ditaati. Para Bacapres tentunya harus menaatinya dan harus memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan.

“Yang pasti semua Capres harus setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD RI 1945, dan cita-cita Proklamasi 1945. Seperti yang tertuang dalam pasal 227 poin J. Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Bagi Poros 98, hal ini tidak bisa ditawar lagi,” tegas Parlin.

Parlin menegaskan pentingnya para Bacapres melontarkan gagasannya dan menyatakan kesetiaan kepada dasar negara dan UUD 1945. Menurutnya, gagasan dan kesetiaan ini adalah patokan bagi masyarakat bahwa Bacapres yang dipilihnya adalah seorang yang visioner dan tetap setia kepada dasar negara yang telah diletakkan para founding fathers, sebagaimana yang telah disepakati sebagai dasar dari tujuan kita berbangsa dan bernegara, jelas Parlin.

“Poros 98 mendukung Capres yang tetap menjalankan sistem Demokrasi Pancasila, mewujudkan cita-cita bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945,” tambah Parlin.

Saat ditanya siapa figur Bacapres yang didukung oleh Poros 98, Parlin menegaskan bahwa sampai saat ini Poros 98 belum menentukan Bacapres yang akan didukung.

“Yang pasti kami mendukung Capres yang secara jelas berjuang mewujudkan cita-cita para founding fathers kita. Apa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945,” tutup Parlin.

Dikonfirmasi terkait dukungan Capres oleh Poros 98, Sekjen Poros 98 Denny Lihiang membenarkan.

“Kami mendukung Capres yang berjuang dalam koridor sistem Demokrasi Pancasila. Karena ini adalah amanah yang harus kita jalankan sebagai generasi penerus,” ungkap Denny Lihiang.

Menurut Denny, komitmen dan kesetiaan kepada Demokrasi Pancasila bukan berarti terjebak dalam kerangka dogmatis. Namun lebih kepada gambaran masyarakat ideal yang diimpikan para pendiri Republik ini dan dinilai masih relevan.

“Setiap bangsa tentunya akan memperjuangkan kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Tentunya ini juga yang telah dirumuskan dalam UUD 1945 kita. Para pendiri Republik ini juga telah memikirkan dan merumuskan bagaimana bangsa ini dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmurannya. Sistem Demokrasi Pancasila adalah alat yang ideal dan faktual bagi bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya,” tambah Denny.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya