Connect with us

Krisis Air Mengancam Ketersediaan Pangan

Penulis:
Ir. Bambang Sutrisno
Sekretaris Dewan Pengarah KAPT

Dampak perubahan iklim telah dirasakan nyata di berbagai belahan dunia saat ini. Benua biru Eropa mengalami kekeringan yang parah dalam 500 tahun terakhir. Para ahli memperkirakan 47% wilayah Eropa akan mengalami krisis air tahun ini. Sungai-sungai utama Eropa, baik Thames di Inggris, Danube di Austria, ataupun sungai Rhein di Jerman mengalami pengurangan debit yang luar biasa, sehingga dasar sungainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Di China, penyusutan jumlah air yang mengalir di sungai Yangtze sudah menunjukkan tanda-tanda yang sangat mengkhawatirkan. Sungai terpanjang di negeri tirai bambu yang menjadi ikon RRC mengering dan mengancam berbagai sektor kehidupan di China. Selain mengurangi persediaan air untuk pertanian, menyusutnya aliran sungai Yangtze juga akan mengurangi produksi listrik yang menjadi jantung kekuatan industri China.

Situasi yang sama telah terjadi di berbagai belahan bumi. Ghana, salah satu negara Afrika telah mengalami kekeringan yang parah sehingga banyak penduduknya yang bermigrasi ke negeri-negeri tetangga yang masih menyediakan sumber air yang mencukupi bagi kehidupan.

Selandia Baru juga mengalami hal yang sama. Rendahnya curah hujan dalam setahun terakhir telah mengancam kelangsungan industri peternakan di negeri yang indah ini. Krisis air akan menurunkan ketersediaan pakan dan air minum bagi ternak. Akibatnya produksi peternakan seperti daging, susu, dan wol akan menurun.

Penurunan Produksi Pertanian

Krisis air di berbagai negara ini bukan hanya mengancam kehidupan di negara-negara yang terkena dampak langsung tersebut, tetapi juga dampaknya meluas dan akan menekan pertumbuhan serta kesejahteraan umat manusia. Dampak tercepat dari menurunnya ketersediaan air ini akan memukul sektor pertanian. Setiap tanaman memerlukan air, baik untuk pertumbuhan vegetatif maupun untuk pembuahan.

Kekurangan air pada masa awal pertumbuhan akan menyebabkan tanaman tidak tumbuh dengan baik, kerdil dan mudah terserang hama dan penyakit. Di tahap selanjutnya, tanaman akan kesulitan untuk membentuk bunga, melakukan penyerbukan, dan membentuk buah. Tanpa air yang cukup, tidak mungkin padi akan bernas dan mengisi pembuahannya dengan baik.

Indonesia, sebagai negara agraris sudah membukukan prestasi luar biasa dengan mencukupi kebutuhan dalam negerinya selama 3 tahun berturut-turut. IRRI (International Rice Research Institute) mengakui prestasi tersebut, demikian pula FAO (Food and Agrculture Organization). Pemerintahan Presiden Jokowi berhasil menorehkan tinta emas dengan mencatatkan nihil (zero) importasi beras selama 3 tahun berturut-turut.

Prestasi ini termasuk prestasi yang luar biasa bila melihat situasi negara-negara lain. Sudah banyak negara yang menderita (kolaps) bahkan bangkrut karena kelangkaan pangan di dalam negeri. Sri Lanka contohnya. Pergolakan politik yang sangat hebat yang dipicu oleh krisis ekonomi telah menyebabkan Presiden Sri Lanka harus melarikan diri ke Singapura.

Kenaikan harga pangan telah memukul perekonomian negeri-negeri yang menggantungkan penyediaan pangannya dari impor. Bahkan negeri yang makmur seperti Amerika Serikat saja harus menghadapi angka inflasi yang menggila yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Indonesia tidak boleh terlena oleh pujian. Situasi krisis air ini dapat mengancam keberhasilan swasembada pangan yang telah diraih dalam waktu sekejab. Strategi yang tepat harus dimainkan untuk mempertahankan keberlangsungan kemandirian pangan di dalam negeri.

Tanda-tanda kenaikan angka inflasi yang dipicu kenaikan harga pangan telah tampak di hadapan mata. Inflasi Indonesia per Juli 2022 berada pada angka 4,94% (year on year). Angka tersebut masih lebih baik dibandingkan beberapa negara lain seperti Uni Eropa di 8,9%, Amerika Serikat di 8,5%, bahkan Turki yang mencapai 79%. Meski demikian, angka ini tertingi dalam tujuh tahun terakhir. Tidak menutup kemungkinan berdasarkan riset CORE tahun 2023 dapat bertengger di angka 6%. Lampu kuning telah menyala, kita harus berhati-hati.

Manajemen Tata Air

Upaya yang dilakukan Pemerintah memperbaiki tata air guna peningkatan produksi pertanian mesti dilanjutkan. Pembangunan waduk harus tuntas. Demikian pula penyediaan embung-embung di lahan-lahan pertanian harus terus digalakkan. Dua hal yang telah menjadi strategi jitu pemerintah dalam mempertahankan swasembada pangan ini mesti diperkuat dengan manajemen tata air di tingkat petani.

Pembangunan waduk telah memperluas areal tanam dan areal panen sehingga Indonesia mampu mempertahankan produksi pertanian. Pembangunan yang relatif merata di berbagai daerah telah menciptakan daerah-daerah pertanian baru yang lebih produktif dan berdaya hasil tinggi.

Hal ini terlihat dari penyebaran angka inflasi pangan yang semakin mengerucut di beberapa daerah yang mengalami defisit produksi pertanian saja. Ini artinya peran pulau Jawa sebagai lumbung pangan nasional mulai mengecil dan peran daerah-daerah luar jawa semakin meningkat dalam penyediaan pangan.

Nusa Tenggara Timur contohnya, daerah ini yang semula mengalami banyak masalah dalam penyediaan pangan khususnya pada masa-masa kekeringan perlahan mulai berbenah dan menunjukkan kenaikan produksi pangan yang semakin mengesankan. Kemampuan produksi di Flores, Timor, dan Sumba telah membangun rasa percaya diri masyarakat untuk mampu mencukupi kebutuhan pangan lokal.

Penyediaan embung-embung untuk mempertahankan ketersediaan air di lahan pertanian juga memberikan hasil positif, terutama di daerah-daerah dataran tinggi (up-land) yang biasanya hanya dapat ditanami selama musim penghujan saja. Ketersediaan air menjadi kunci di daerah-daerah ini untuk mendorong indeks pertanaman dari sekali setahun menjadi 2 kali atau dua setengah kali per tahun.

Adalah saatnya sekarang mengatur pemakaian air menjadi lebih efisien. Studi yang dilakukan ahli-ahli pertanian menunjukkan bahwa Indonesia masih boros dalam penggunaan air pertanian. Pemborosan tersebut dapat mencapai 50% dari kebutuhan riil pertanaman. Perbaikan dalam pemborosan tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki jaringan irigasi sehingga dapat diperluas ke daerah-daerah yang belum tersentuh irigasi.

Dengan upaya perbaikan tersebut, niscaya Indonesia bukan hanya dapat mempertahankan swasembada pangan namun dapat memberikan sumbangsih bagi kekurangan pangan dunia.

—–
*) Penulis adalah Sekretaris Dewan Pengarah Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT).
Tulisan ini disajikan dalam rangka Rakernas KAPT tanggal 26-28 Agustus 2022.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya