Connect with us

PR Presiden Berikutnya: Menuju Holding ID Alsintan (Alat Mesin Pertanian)

Presiden Joko Widodo saat melakukan penanaman padi bersama para petani di Desa Buluagung, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, pada Selasa, 30 November 2021.

Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, namun yang terburuk adalah menunda sesuatu barang semenit sekalipun (Tung Desem Waringin).

Sore itu saya berada di workshop mesin pertanian sahabat di daerah Bogor, Jawa Barat. Situasi yang tepat ketika ramai di pemberitaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan ultimatum kepada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo perihal penggunaan produk alat dan mesin pertanian yang diimpor dari negara lain. Hal itu disampaikan Jokowi saat pengarahan kepada menteri, kepala lembaga, kepala daerah, dan badan usaha milik negara (BUMN) tentang aksi afirmasi Bangga Buatan Indonesia di Bali, Jumat (25/3/2022).

Beragam pertanyaan saya lontarkan. Apakah praktik impor ini sudah berlangsung sejak lama? Mengapa Presiden Jokowi baru menyentil Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo? Kemudian pertanyaan mendasar, sebenarnya bagaimana posisi industri alat dan mesin pertanian kita? Apakah pemerintah memiliki keseriusan dalam membangun industri alat dan mesin pertanian (alsintan), khususnya di rezim pemerintahan Jokowi? Lantas hal apa saja yang diperlukan untuk membangun industri alsintan kita?

Level Mekanisasi Pertanian Indonesia

Sebelum menjawab beragam permasalahan tersebut, dan tidaklah cukup pula menjawab dalam tulisan singkat ini. Setidaknya, mari kita berpijak sudah sejauh mana perkembangan industri pertanian Indonesia. Namun, sebelumnya baiklah saya menguraikan lingkup dari mekanisasi pertanian karna istilah ini Menurut Olmstead dan Rhode (2014). Secara konseptual, mekanisasi pertanian adalah proses pengenalan dan penggunaan bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor listrik, angin, air, dan sumber energi lainnya. Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagai penerapan ilmu teknik untuk mengembangkan, mengorganisasikan, dan mengendalikan operasi di dalam produksi pertanian (Robbins 2005).

Industri alsintan di Indonesia telah dimulai dekade 50-an, dengan dibentuknya Jawatan Pertanian Rakyat. Kemudian di Pada tahun 1958, dibentuk Yayasan Pembukaan Tanah yang berada di bawah Departemen Sosial untuk memperlancar penyediaan lahan tanam bagi transmigran di Lampung. Di samping itu juga didirikan PT Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah (BMPT) sebagai wadah pemanfaatan alat mesin pertanian seperti traktor Zetor dari Cekoslowakia dan traktor tangan dari Jepang.

Meski, sudah berumur lebih dari 70-an tahun. Kemajuan level mekanisasi Indonesia masih berada pada tahap permulaan. IRRI mengklasifikasikan level mekanisasi kedalam enam level sesuai lesson learn dari puluhan negara berkembang. Kita baru sampai pada tahap pertama, yakni penggunaan mesin untuk mensubstitusi tenaga (power substitution). Penggunaan mesin pada level ini hanya sekedar mengganti tenaga manusia dan hewan dengan mesin. Dengan kata lain, yang berubah adalah level power change the farming systems. Penggunaan mesin akan meningkatkan luasan lahan yang terolah, sehingga pada gilirannya meningkatkan produksi nasional secara total.

Tahap kedua, dimana mekanisasi untuk menggantikan fungsi tugas kontrol (human control functions). Lalu tahap ketiga saat mesin telah mampu mengubah pola usaha tani (cropping system). Dilanjutkan tahap keempat dengan adaptasi sistem usaha tani dengan lingkungan. Tahap kelima berupa adaptasi tanaman untuk pemenuhan mekanisasi. Terakhir tahap keenam, telah terciptanya sistem produksi pertanian yang otomatis (automation of agricultural production). Pada tahap ini hampir seluruh pekerjaan pertanian telah digantikan mesin, termasuk komputerisasi yang akan memandu kegiatan keseluruhan utamanya dalam penetapan jadwal kegiatan dan dosis.

Selain hal tersebut, kemampuan teknologi Indonesia sebagaian besar masih bersifat Operation Intensive (Group IV)  yang ditandai dengen rendahnya pemanfaatan teknologi, dan hanya sebagian kecil di kalangan industri yang bersifat Skill Intensive (Group III) yang ditandai dengan adanya adopsi teknologi impor dan perbaikan teknologi yang ada. Untuk meningkatkan daya saing perlu perubahan karakteristik industri menjadi Technology Intensive (Group II) yang ditandai diversifikasi dan perbaikan teknologi impor, dan bahkan sampai Brain Intensive (Group I) yang dinamisasi dan kreasi tekonologi baru berdasar kemajuan ilmu pengetahuan.

Dokumen ADB Asian Development Outlook 2021 Update Transforming Agriculture Indonesia memperlihatkan perkembangan mekanisasi pertanian di sejumlah negara Asia termasuk Indonesia dari tahun 1961-2014 serta dampak yang ditimbulkan dalam produktivitas per satuan lahan. Indonesia terlihat tidak mengalami perubahan yang drastis dalam mekanisasi pertanian, dibandingkan; China, Bangladesh, Malaysia dan Vietam.

Seremoni, Distribusi Alsintan

Mau tidak mau kita harus mengakui bagaimana Korea Selatan, Malaysia , Vietnam dan  Bangladesh memiliki komitmen yang serius untuk membangun industri alasintan negaranya. Secara historis, kemajuan mekanisasi pertanian negara justru disebabkan oleh keseriusan negara untuk membangun industri alisntan.

Di era rezim Pemerintahan Jokowidodo untuk periode pertama hingga kedua, yang terjadi adalah seremonial bagi-bagi alsintan ke petani yang jumlahnya meningkat sangat banyak. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, realisasi bantuan alsintan dari tahun 2010 hingga 2015 masing-masing sebanyak 8.220, 3.087, 21.145, 6.292, 12.086, dan 65.431 unit. Terlihat bantuan alat dan mesin pertanian di tahun 2015 naik 617 persen. Bahkan di tahun 2016, Kementerian Pertanian mengalokasikan bantuan alat dan mesin pertanian sebanyak 100 ribu unit.

Sementara di tahun 2019 penerima bantuan Alsintan untuk enam jenis Alsintan sebanyak 46.523 unit. Jenis bantuan Alsintan terbanyak adalah Sprayer dengan jumlah 18.365 unit. Sedangkan jenis bantuan Alsintan paling sedikit adalah Rice Transplanter dengan jumlah 37 unit.

Pertanyaanya jika semua alsintan tersebut merupakan produksi industri alsintan nasional justru menjadi hal yang membanggakan dan tentu saja tidak membuat jengkel Presiden Jokowidodo. Menurut BPS,  impor alsintan tahun 2021 mencapai US$269,87 juta dan traktor mencatat nilai impor US$58,32 juta.

Dari data tersebut 46,27% merupakan impor traktor, berdasar dokumen Ken Research (2021), industri traktor nasional dikuasai 70% oleh perusahaan internasional yakni Yanmar dan Kubota. Parameter penguasaan pasar didasarkan atas; harga jual, varian produk alsintan, varian traktor, distribusi, jaringan dan purna jual. Selain hal tersebut pasar internasional Asia Tenggara juga dikuasai oleh perusahaan internasioanal (Mondor Inteligent, 2022) yakni ; Kubota Corporation, Class KgaA, Deere & Company, Yanmar, dan CNH Industrial. Sementara untuk perusahaan nasional terbesar yakni CV.Karya Hidup Sentosa (Quick), PT Rutan dan PT. Agrindo.

Menuju Membangun Industri Alsintan

Dalam era global saat ini secara bertahap pertanian Indonesia dan negara berkembang lainnya telah terjerat oleh perangkap globalisasi. Negara-negara yang telah maju tahap industrinya menggunakan sektor pertanian sebagai alat politik dan ekonomi dalam menguasai pasar negara berkaembang melalui tiga tahap (Sutawi,2002).

Pertama. Pemasaran sarana produksi, teknologi dan produksi pertanian ke negara-negara berkembang yang menimbulkan ketergantungan. Kedua. Pemaksaan pemberlakuan perdagangan bebas dunia (global free trade). Ketiga. Persyaratan jaminan keamanan (food safety) dan kualitas pangan (quality assurance) yang ketat bagi produk pertanian yang akan masuk ke negaranya. Berbagai aturan kontrol kualitas seperti sertifikat standar ISO, HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point), SPS (Sanitary and Phitosanitary), eco-lebelling, Intelectual Property Right (HAKI), human right (HAM), dan sejenisnya merupakan penghalang produk pertanian negara berkembang untuk memasuki pasar negara maju. Hal ini terjadi pada produk kelapa sawit kita di Eropa Barat dan USA.

Membangun kemandirian industri alsintan di Indonesia tentu dalam kerangka perekonomian global tidaklah mudah. Kita akan dihadapkan produk yang dihasilkan tidaklah ekonomis, dibandingkan produk impor. Namun dalam membangun industri strategis mau tidak mau hal ini harus dijalani tahap demi tahap. Selain faktor eksternal murahnya produk impor, yang telah disebutkan maka faktor internal justru lebih penting dalam mendorong terwujudnya kemandirian alsintan Indonesia, yakni memutus mata rantai budaya ketergantungan produk impor dengan political will yang kuat dari pemimpin pemerintahan dan benar-benar serius membangun road map alsintan Indonesia.

Presiden Jokowidodo memiliki political will  dalam membangun infrastruktur dalam dua periode kita menyaksikan gegap gempita membangun infrastruktur. Dua tahun periode pemerintahan tersisa kiranya dapat merumuskan roadmap alsintan Indonesia. Contoh keberhasilan membentuk Id Food tentu dapat dilanjutkan dengan membangun Id Alsintan.

Rencana strategis industri 2020-2025 telah disusun, making industri 4.0 telah dilaksanakan. Namum, belumlah cukup menggambarkan adanya roadmap alsintan. Vietnam telah memulai membangun industri alisintannya tahun 1997, Korea Selatan memulai tahun 1960, sudah saatnya kita serius untuk membangun. Daripada marah-marah dan dapat berimbas tensi darah tinggi, mari Pak Presiden Jokowidodo, kami KAPT siap mendukung langkah-langkah lebih strategis untuk bersama membangun kemandirian industri alsintan kita. Akhir kata, mengutip Tung Dasem Waringin, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, namun yang terburuk adalah menunda sesuatu barang semenit. Jikalaupun tidak, paling apesnya harapan kami tumpukan ke siapapun Presiden Republik Indonesia berikutnya.

Wassalam.

 

Rahayu Setiawan

Ketua Departemen Budidaya Pertanian dan Agrobisnis KAPT

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya