Connect with us

Antisipasi Nataru dan Ancaman Omicron, Satgas Minta Cermati 6 Indikator COVID-19

Jakarta – Indonesia tengah memasuki masa pergantian tahun menuju 2022, dimana terdapat periode libur Natal dan Tahun Baru. Dalam masa pandemi COVID-19, periode ini berpotensi terhadap lonjakan kasus karena meningkatnya aktivitas dan mobilitas masyarakat yang memanfaatkan masa libur. Sedangkan ancaman saat ini dengan adanya varian terbaru B.1.1.529 atau Omicron.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito menegaskan, meskipun kondisi kasus sedang terkendali, perlunya persiapan dengan memantau kondisi COVID-19 dari berbagai aspek. Setidaknya ada 6 indikator harus dimonitor secara berkala. Yaitu kasus aktif, bed occupancy ratio (BOR) rumah sakit dan wisma atlet, kepatuhan protokol kesehatan (prokes), Rt atau angka reproduksi efektif, mobilitas penduduk dan vaksinasi.

“Saat ini, meskipun kasus mingguan mengalami penurunan, namun jika dilihat pada kasus aktif ternyata sempat mengalami peningkatan 4 hari berturut-turut,” Wiku dalam Keterangan Pers Perkembangan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Kamis (2/12/2021) yang juga disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Kasus aktif menjadi indikator pertama untuk dicermati. Data menunjukkan, kenaikan pada 23 ke 24 November 2021. Angkanya dari sekitar 7.900 menjadi 8.000, kemudian di hari berikutnya meningkat lagi menjadi sekitar 8.000 dan terakhir meningkat menjadi 8.200 pada 27 November. Bahkan di Jawa Bali saja, peningkatan selama 6 hari berturut-turut, dari 23 November sekitar 3.600 kasus, hingga 28 November sekitar 3.800 kasus aktif.

Indikator selanjutnya, BOR ruang isolasi di RS rujukan.  Angkanya sempat meningkat pada 2 hari terakhir, dari 2,94% menjadi 3,07%. BOR di wisma atlet juga meningkat di bulan November, dari 1,76% menjadi 2,2%.

“Meskipun peningkatan terbilang kecil, namun perlu diwaspadai karena peningkatan BOR mengindikasikan adanya kenaikan kebutuhan treatment pada gejala sedang-berat,” lanjutnya.

Indikator selanjutnya, Rt atau angka reproduksi efektif. Meskipun saat ini angkanya masih dibawah 1, namun perlu diwaspadai trennya dalam 5 minggu terakhir meningkat dari 0,96 menjadi 0,98. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat pulau yang angkanya mendekati 1.

Hampir semua pulau mengalami kenaikan kecuali Maluku yang mengalami penurunan dan Nusa Tenggara dengan nilai Rt tidak berubah. Rt di tingkat pulau saat ini berkisar antara 0,95-0,99.

Indikator berikutnya yang juga penting, adalah mobilitas penduduk. Dari data, mobilitas kereta api meningkat 5 kali lipat dalam 5 bulan terakhir. Jumlah perjalanannya per Juli lalu sekitar 100 ribu perjalanan. Sedangkan November ini meningkat hampir mencapai 600 ribu.

Mobilitas dengan pesawat terbang juga meningkat mencapai 350% dalam 5 bulan terakhir. Per Juli lalu, jumlah perjalanannya sekitar 350 ribu, sedangkan per November meningkat hingga sekitar 1,6 juta penerbangan.

Indikator selanjutnya ialah kepatuhan protokol kesehatan. Idealnya, peningkatan aktivitas masyarakat harus dibarengi peningkatan kepatuhan protokol kesehatan. Sayangnya, data di minggu terakhir menunjukkan sebaliknya. Cakupan desa/kelurahan yang patuh memakai masker dan menjaga jarak mengalami penurunan.

Rinciannya, cakupan desa/kelurahan yang patuh memakai masker turun dari 76,42% menjadi 74,91%, sedangkan menjaga jarak turun dari 78,60% menjadi 77,69%. Jumlah laporan desa/kelurahan yang dipantau juga terus mengalami penurunan, dari sekitar 21 ribu desa/kelurahan pada bulan Juli, menjadi hanya 9 ribu per minggu ini.

“Ini menunjukkan bahwa pengawasan dan pelaporan pada protokol kesehatan sudah mulai longgar tegas Wiku.

Indikator terakhir, ialah angka cakupan dan laju vaksinasi. Datanya menunjukkan penurunan jumlah suntikan harian selama 4 minggu terakhir. Sebagai catatan, meskipun capaian dosis 1 vaksin hampir 70%, namun capaian dosis 2 baru mencapai 45%.

Melihat pembelajaran dari negara lain, menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kasus tetap berpotensi terjadi bahkan di negara-negara dengan cakupan dosis 2 yang tinggi.

“Karena itulah, meningkatkan cakupan vaksin dosis harus dilakukan segera. Agar dapat memproteksi masyarakat dengan maksimal,” imbuh Wiku.

Untuk itu, dengan melihat perkembangan pada indikator-indikator tersebut, berbanding terbalik antara kenaikan jumlah kasus dan upaya preventif di lapangan. Capaian pada indikator tersebut harusnya menjadi refleksi untuk kembali waspada dari seluruh lapisan masyarakat.

Kepada Pemerintah Daerah harus memonitor penerapan prokes dan cakupan vaksinasi di daerahnya masing-masing dan juga daerah sekitarnya.

Masyarakat yang menerapkan protokol kesehatan ketat menjadi hal yang mudah dan sederhana di tengah meningkatnya mobilitas dan ancaman varian baru Omicron.

“Penerapan protokol kesehatan adalah cara utama kita untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita,” lanjutnya.

Sementara, perlindungan dengan vaksin tak kalah penting karena semakin banyak orang divaksin, maka semakin banyak yang terlindungi.

“Vaksinasi juga akan mencegah timbulnya gejala berat bagi mereka yang tertular Covid-19 sehingga dapat mengurangi kebutuhan perawatan di Rumah Sakit,” pungkas Wiku.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar

Oleh

Fakta News
Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap kegiatan study tour (tur belajar) yang sudah menjadi kegiatan ‘wajib’ di sekolah-sekolah. Hal tersebut Fikri sampaikan menyusul tragedi kecelakaan bus yang membawa siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok saat melakukan study tour ke Ciater, Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.

“Perlu dievaluasi menyeluruh mengenai tujuan, manfaat, dan kelayakan program yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah tersebut,” kata Fikri dalam rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban tragedi kecelakaan tersebut. Maka dari itu, dirinya mendesak pihak yang bertanggung jawab dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kegiatan study tour agar lebih terarah dan sesuai dengan asas, tujuan, dan kemanfaatan dalam Pendidikan para siswa.

“Misalnya perjalanan tur ke museum, pusat konservasi alam, atau instansi yang memberi edukasi dalam bidang-bidang tertentu,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Selain itu, kegiatan study tour yang bertujuan ke lokasi yang jauh, bahkan lintas provinsi dan lintas pulau sebaiknya ditinjau ulang. “Kegiatan ini tentu berbiaya besar dan bisa memberatkan bagi orangtua/wali siswa, kemudian ada faktor kelayakan dan keamanan yang harus dipenuhi dalam perjalanan tur jarak jauh tersebut,” urai Mantan Kepala Sekolah di suatu SMK di daerah Tegal tersebut.

Kegiatan study tour yang dilakukan di dalam kota juga dapat menjadi opsi yang terbaik, selain lebih murah dan lebih singkat waktu tempuhnya. “Tentu disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang mau diambil, karena kemungkinan besar masih banyak potensi di sekitar kota atau kabupaten sesuai domisili sekolah yang dapat menambah wawasan bagi siswa,” tambah dia.

Dengan begitu, sebenarnya kegiatan study tour dalam kota  juga dapat membantu meningkatkan perekonomian UMKM di wilayah asal/ domisili sekolah tersebut. “Wawasan siswa juga tetap diperkaya melalui pengenalan potensi alam, ekonomi, sosial dan budaya di daerahnya sendiri,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat

Oleh

Fakta News
Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyatakan perlu ada kajian lebih lanjut pasca dihapuskannya kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit. Sebab, menurutnya, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.

“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian. Jadi kita minta untuk dilakukan kajian, kenapa? karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty kepada Parlementaria di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2024).

Diketahui, penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.

Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya yakni adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.

“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? kalau kemudian semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?,” ujarnya.

Imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi, karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja. “Karena (masyarakat) pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang  sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelas Politisi Fraksi PKS itu.

Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan, karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian. “Karena kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya

Namun, menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII itu, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja, yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.

“Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik, padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien. Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia

Oleh

Fakta News
Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia
Wakil Ketua BKSAP Putu Supadma Rudana, saat mengikuti rapat bersama Ms. Yoon Jin selaku Director of 10th World Water Forum di Ruang Delegasi Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan, melalui WWF 2024 diharapkan akan melahirkan komitmen bersama terkait air yang disepakati oleh seluruh Parlemen yang ada. Hal ini disampaikan dalam rangka World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang.

“Yang pertama kan jelas untuk meng-evaluasi SDGs Nomor 6 tentang Air dan Sanitasi. Yang kedua bagaimana perspektif ini masa lalu ini harus dihadirkan. Contoh di Bali, karena saya orang Bali, ada Tri Hita Karana hubungan harmoni antara alam manusia dan Sang Pencipta. Yang kedua bagaimana di Bali, air yang disebut tirta selalu dimuliakan ada tempat sucinya, ada bagaimana kita melakukan penyucian dengan air juga, ada bagaimana air ini juga sangat dihormati, dihargai,” kata Putu usai rapat di ruang delgasi, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Putu menilai pengelolaan air yang benar dapat menurunkan potensi terjadi konflik. Menurutnya, sudah banyak negara yang mengalami konflik karena air contohnya di Sungai Nil. Sementara itu telah terjadi perselisihan selama 10 tahun antara Mesir dan Ethiopia mengenai pasokan air di Sungai Nil. Kedua pihak mencari solusi internasional, namun perundingan yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS – dan diikuti oleh Uni Eropa dan PBB – hanya menghasilkan sedikit kesepakatan setelah empat tahun.

“Nah tentu kita harus merawat menata air bagaimana kita juga jangan sampai air ini menimbulkan konflik. Karena banyak negara sudah mulai ada konflik terhadap air di Sungai Nil, jadi Afrika ini sudah menjadi konflik. Nah tentu karena belum menuju potensi itu tentu kita harus mengelola bersama. Kita cari komitmen bersama agar akses terhadap air ini khususnya air bersih bisa diterima oleh masyarakat. Jadi artinya bisa diterima langsung dan masyarakat mendapat kesejahteraan jangan ada beban biaya yang tinggi untuk akses terhadap air,” ungkapnya.

“Nah tentu forum ini sangat monumental sehingga kita berpikir awal sudah baik kita tentu harus sukseskan ke depan. Dan forum ini juga kita memiliki komitmen bagaimana menggerakkan aksi parlemen untuk peduli terhadap air dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” tambahnya. Dengan tema WWF kali ini, “Mobilizing Parliamentary Action on Water For Shared Prosperity”, Putu menjelaskan Parlemen di WWF ingin mengeluarkan sebuah dokumen antara komitmen bersama maupun deklarasi.

Baca Selengkapnya