Connect with us

Efektif Redam Laju Penyebaran COVID-19, Pemerintah Perpanjang & Perluas PPKM Mikro

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Jakarta – Pemerintah memutuskan untuk melakukan perpanjangan penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Skala Mikro (PPKM Mikro) selama 2 minggu, yaitu dari tanggal 9 sampai 22 Maret 2021.

Tak hanya itu, jika sebelumnya PPKM Mikro diterapkan di 7 provinsi se-Jawa dan Bali, maka pada PPKM Mikro Tahap III ini Pemerintah memutuskan memperluas penerapan dengan menambahkan 3 provinsi, yaitu Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sumatra Utara (Sumut).

Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto selaku Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) dalam Keterangan Pers Perpanjangan dan Perluasan PPKM Mikro, secara virtual di Jakarta, Senin (08/03/2021).

“Kebijakan-kebijakan dalam perpanjangan dan perluasan PPKM Mikro ini dilanjutkan untuk 2 minggu ke depan, yaitu tanggal 9 sampai dengan 22 Maret 2021, dilakukan perluasan di 3 provinsi yaitu Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumut,” ujarnya.

Dasar hukum perpanjangan dan perluasan PPKM Mikro ini, imbuh Airlangga, telah diterbitkan melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 05 Tahun 2021 tentang Perpanjangan PPKM Mikro.

Perpanjangan dan perluasan PPKM Mikro ini didasarkan pada hasil evaluasi penerapan PPKM dan PPKM Mikro yang telah dilaksanakan selama 8 pekan.

Airlangga mengungkapkan, pelaksanaan PPKM ke-I dan II (periode 25 Januari sampai 8 Maret 2021) berhasil meredam laju penambahan kasus aktif COVID-19 pada level nasional.

“Kalau kita lihat secara keseluruhan bahwa PPKM berhasil menekan laju penambahan kasus aktif, baik itu indikatornya BOR [Bed Occupancy Ratio], tingkat kesembuhan dan kematian, baik di tingkat nasional maupun di 7 provinsi pelaksana PPKM Mikro,” ujarnya.

Dipaparkan Ketua KPCPEN, per 7 Maret 2021 jumlah kasus aktif sebanyak 147.740 kasus, mengalami penurunan 5,95 persen atau 9.348 kasus dibandingkan kasus aktif per 21 Februari 2021 yang sebanyak 157.088 kasus.  Jika dibandingkan dengan keseluruhan kasus, maka kasus aktif per 7 Maret 2021 sebesar 10,71 persen, dan ini mengalami penurunan dari 12,29 persen pada 21 Februari 2021 lalu.

“Terdapat 6 provinsi pelaksana PPKM yang berhasil menurunkan persentase kasus aktifnya, yakni Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Banten, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim), sedangkan tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jatim berhasil menurunkan jumlah dan persentase kasus aktif,” paparnya.

Terkait tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit atau Bed Occupancy Ratio (BOR), sampai 7 Maret 2021 semua provinsi memiliki BOR di bawah 70 persen, dengan 3 provinsi (Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) memiliki BOR antara 50,01 persen sampai 69,9 persen, dan 4 provinsi (Bali, DIY, Jawa Timur, dan Jawa Tengah) memiliki BOR kurang dari 50 persen.

Ada 5 dari 7 provinsi yang berhasil meningkatkan persentase tingkat kesembuhan atau Recovery Rate (RR) yakni DKI Jakarta, Banten, Jabar, DIY, dan Jatim. Mengenai tingkat kematian atau Case Fatality Rate (CFR) ada 3 provinsi yang berhasil menurunkannya yaitu DKI Jakarta, Jabar, dan Bali.

Lebih jauh Airlangga juga mengungkapkan, selama periode 22 Februari sampai 7 Maret 2021, ketika dilaksanakan PPKM Mikro jilid II, hasil evaluasi secara nasional menunjukkan hasil yang sangat positif, yaitu: Kasus Aktif menurun 1,58 persen; Tingkat Kesembuhan naik 1,57 persen; dan Tingkat Kematian tetap di angka 2,70 persen.

Terkait perluasan penerapan PPKM 3 provinsi yaitu Kaltim, Sulsel, dan Sumut, Ketua KPCPEN mengatakan bahwa ketiga daerah tersebut memenuhi parameter untuk menetapkan daerah (provinsi/kabupaten/kota) yang harus melaksanakan PPKM Mikro, yaitu: (1) Tingkat kasus aktif di atas rata-rata nasional; (2) Tingkat kesembuhan di bawah rata-rata nasional; (3) Tingkat kematian di atas rata-rata nasional; dan (4) Tingkat BOR untuk ICU dan ruang isolasi di atas 70 persen.

Ketiga provinsi ini mempunyai jumlah kasus aktif yang cukup tinggi dan perlu perhatian lebih lanjut, dengan rincian: Kaltim (6.720), Sulsel (3.535), dan Sumut (2.555)

Untuk pelaksanaan PPKM Mikro di wilayah yang baru tersebut, sudah diatur melalui Instruksi Gubernur, yakni: Instruksi Gubernur Kaltim Nomor 2 Tahun 2021, dan Sumut melalui Instruksi Gubernur Sumut Nomor 7 Tahun 2021 dan Keputusan Gubernur No.1888.44/125/KPTS/2021 (6 kabupaten/kota PPKM Mikro di Sumut).

Dalam kebijakan pembatasan kegiatan dalam PPKM Mikro Tahap III ini relatif tetap sama, dengan tambahan yang baru untuk “Fasilitas Umum” yang diizinkan untuk dibuka kembali dengan kapasitas maksimal 50 persen, dengan pengaturan yang ditentukan oleh pemerintah daerah (pemda) masing-masing.

Untuk mencegah peningkatan kasus COVID-19 karena liburan panjang, maka selama masa liburan Isra Mikraj dan Hari Raya Nyepi (10 sampai dengan 14 Maret 2021), diberlakukan kebijakan “Pelarangan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah bagi Pegawai ASN/TNI/POLRI/BUMN/BUMD” dan “Imbauan untuk Pegawai Swasta/Perusahaan”.

Kepala BNPB Doni Monardo selaku Ketua Satgas Penanganan COVID-19 menjelaskan bahwa musim liburan selalu berpotensi meningkatkan kasus aktif harian, sehingga Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada Menko Perekonomian sebagai Ketua KPCPEN untuk membatasi pegawai ASN/TNI/Polri dan BUMN/BUMD untuk bepergian ke luar kota.

“Sedangkan untuk swasta, sudah dibicarakan dengan Kadin, agar membuat imbauan kepada perusahaan-perusahaan agar membatasi karyawannya untuk bepergian ke luar kota pada liburan ini,” jelasnya.

Sementara, untuk kriteria Zonasi Risiko di tingkat RT dan skenario pengendalian dalam PPKM Mikro masih sama, yaitu terbagi ke dalam Zona Merah, Oranye, Kuning dan Hijau dengan berdasarkan pada jumlah rumah di satu RT yang memiliki kasus konfirmasi positif selama 7 hari terakhir, dan skenario pengendalian dengan pemberlakuan PPKM tingkat Rukun Tetangga (RT) dan rumah tangga.

“Dalam Instruksi Mendagri Nomor 05 Tahun 2021 juga mencantumkan soal koordinasi, mulai dari RT/RW, Kepala Desa/Lurah, Karang Taruna, dan seterusnya. Kemudian harus dibentuk juga Posko Desa/Kelurahan serta Kecamatan bagi daerah yang belum, dan ini harus dioptimalkan fungsinya,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Sekjen Kemendagri) Muhammad Hudori mewakili Menteri Dalam Negeri.

Operasionalisasi PPKM Mikro

Mengenai operasionalisasi pelaksanaan PPKM Mikro di desa/ kelurahan, dilakukan penguatan berupa pemantauan persiapan dan pelaksanaan 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) di desa/kelurahan sampai ke tingkat RT/RW; penyiapan bantuan beras dan masker dan mekanisme distribusi melalui Polsek/Koramil setempat; dan mengintegrasikan sistem pemetaan Zonasi Risiko tingkat RT dan pendataan 3T.

“Pemerintah Provinsi mengoordinasikan data pemetaan Zonasi Risiko tingkat RT dan data penyaluran bantuan (beras, masker), serta melaporkannya berkala ke Satgas Pusat via Satgas Daerah. Selain itu, juga harus membantu dan mengawasi Posko di desa/kelurahan,” ungkap Ketua KPCPEN

Seperti sebelumnya, upaya peningkatan pelaksanaan 3T selama PPKM Mikro yang dilakukan adalah testing melalui Swab Test Antigen secara gratis untuk masyarakat di desa/kelurahan, yang difasilitasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menggunakan Fasilitas Kesehatan (Faskes) dan Puskesmas di wilayah masing-masing.

Kemudian tracing, penelusuran dan pelacakan intensif di desa/kelurahan, dengan menggunakan tracer dari Babinsa/Bhabinkamtibmas yang telah dididik oleh Kemenkes. Selanjutnya, treatment melalui pelaksanaan isolasi mandiri dan terpusat, perawatan di Faskes yang dikoordinasikan oleh Pos Jaga Desa/Kelurahan.

Strategi Akselerasi 3T juga dikedepankan Kemenkes untuk menangani pandemi di tahun ini.

“Untuk pelaksanaan Tes (Testing), akan dilakukan minimal kepada 1 per 1.000 penduduk setiap minggunya, dengan kecepatan keluar hasil ditargetkan kurang dari 24 jam sejak spesimen diterima. Dan, untuk Lacak (Tracing), dilakukan kepada 15-30 kontak erat per kasus dan konfirmasinya harus keluar dalam waktu kurang dari 72 jam,” tutur Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.

Sedangkan untuk isolasi, pasien yang tidak bergejala dan bergejala ringan dilakukan di luar rumah sakit (RS), namun yang bergejala sedang dan berat dirawat di RS, dan Pemerintah Desa/Kelurahan juga menyiapkan tempat isolasi mandiri.

Kemenkes juga sudah mendistribusikan peralatan Rapid Test Antigen ke 7 Provinsi dalam tahap pertama yaitu sejumlah 653.575, dan ada 1 juta dari WHO telah sampai di Indonesia yang akan didistribusikan, termasuk ke 3 provinsi yang baru menjalankan PPKM Mikro mulai besok.

Terkait anggaran pelaksanaan PPKM Mikro yang berasal dari Dana Desa, pagu Dana Desa sekitar Rp24 triliun untuk 23 ribu desa/kelurahan di 7 Provinsi tersebut.

“Ini baru terserap sekitar Rp3,16 triliun atau 12 persen, dan desa yang sudah mencairkan 12.192 desa atau baru 43 persen. Jadi ini masih bisa ditingkatkan apalagi dengan tambahan 3 provinsi baru,” ucap Sekretaris Jenderal Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Taufik Madjid mewakili Menteri Desa dan PDTT.

Turut hadir dalam konferensi pers ini adalah Menkes Budi Gunadi Sadikin, Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Doni Monardo, Sekjen Kemendagri Muhammad Hudori, Sekjen Kementerian Desa dan PDTT Taufik Madjid, Asisten Operasional (Asops) Panglima TNI Mayjen. TNI Tiopan Aritonang, dan Kepala Koordinasi Pembinaan Masyarakat Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) Polri Irjen. Pol. Risyapudin Nursin.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar

Oleh

Fakta News
Fikri Faqih Minta Pemerintah Perketat Pengawasan Tur Belajar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperketat pengawasan terhadap kegiatan study tour (tur belajar) yang sudah menjadi kegiatan ‘wajib’ di sekolah-sekolah. Hal tersebut Fikri sampaikan menyusul tragedi kecelakaan bus yang membawa siswa SMK Lingga Kencana Kota Depok saat melakukan study tour ke Ciater, Subang, Jawa Barat, baru-baru ini.

“Perlu dievaluasi menyeluruh mengenai tujuan, manfaat, dan kelayakan program yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah tersebut,” kata Fikri dalam rilis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Lebih lanjut, ia menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban tragedi kecelakaan tersebut. Maka dari itu, dirinya mendesak pihak yang bertanggung jawab dihukum sesuai dengan perundangan yang berlaku. Ia pun meminta pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi kegiatan study tour agar lebih terarah dan sesuai dengan asas, tujuan, dan kemanfaatan dalam Pendidikan para siswa.

“Misalnya perjalanan tur ke museum, pusat konservasi alam, atau instansi yang memberi edukasi dalam bidang-bidang tertentu,” imbuh Politisi Fraksi PKS ini.

Selain itu, kegiatan study tour yang bertujuan ke lokasi yang jauh, bahkan lintas provinsi dan lintas pulau sebaiknya ditinjau ulang. “Kegiatan ini tentu berbiaya besar dan bisa memberatkan bagi orangtua/wali siswa, kemudian ada faktor kelayakan dan keamanan yang harus dipenuhi dalam perjalanan tur jarak jauh tersebut,” urai Mantan Kepala Sekolah di suatu SMK di daerah Tegal tersebut.

Kegiatan study tour yang dilakukan di dalam kota juga dapat menjadi opsi yang terbaik, selain lebih murah dan lebih singkat waktu tempuhnya. “Tentu disesuaikan dengan tujuan dan manfaat yang mau diambil, karena kemungkinan besar masih banyak potensi di sekitar kota atau kabupaten sesuai domisili sekolah yang dapat menambah wawasan bagi siswa,” tambah dia.

Dengan begitu, sebenarnya kegiatan study tour dalam kota  juga dapat membantu meningkatkan perekonomian UMKM di wilayah asal/ domisili sekolah tersebut. “Wawasan siswa juga tetap diperkaya melalui pengenalan potensi alam, ekonomi, sosial dan budaya di daerahnya sendiri,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat

Oleh

Fakta News
Tak Hanya Kriteria Fisik, Penerapan KRIS Harus Pastikan Ketersediaan Tenaga Kesehatan dan Obat
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyatakan perlu ada kajian lebih lanjut pasca dihapuskannya kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit. Sebab, menurutnya, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan. Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.

“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian. Jadi kita minta untuk dilakukan kajian, kenapa? karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty kepada Parlementaria di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2024).

Diketahui, penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS tersebut merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.  Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.

Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya yakni adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.

“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? kalau kemudian semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?,” ujarnya.

Imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi, karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja. “Karena (masyarakat) pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang  sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelas Politisi Fraksi PKS itu.

Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan, karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian. “Karena kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya

Namun, menurut Legislator dapil Jawa Barat VIII itu, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja, yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.

“Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik, padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien. Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia

Oleh

Fakta News
Forum WWF 2024 Diharapkan Turunkan Konflik Air di Seluruh Dunia
Wakil Ketua BKSAP Putu Supadma Rudana, saat mengikuti rapat bersama Ms. Yoon Jin selaku Director of 10th World Water Forum di Ruang Delegasi Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana mengatakan, melalui WWF 2024 diharapkan akan melahirkan komitmen bersama terkait air yang disepakati oleh seluruh Parlemen yang ada. Hal ini disampaikan dalam rangka World Water Forum (WWF) 2024 yang akan diselenggarakan di Bali pada 18-25 Mei 2024 mendatang.

“Yang pertama kan jelas untuk meng-evaluasi SDGs Nomor 6 tentang Air dan Sanitasi. Yang kedua bagaimana perspektif ini masa lalu ini harus dihadirkan. Contoh di Bali, karena saya orang Bali, ada Tri Hita Karana hubungan harmoni antara alam manusia dan Sang Pencipta. Yang kedua bagaimana di Bali, air yang disebut tirta selalu dimuliakan ada tempat sucinya, ada bagaimana kita melakukan penyucian dengan air juga, ada bagaimana air ini juga sangat dihormati, dihargai,” kata Putu usai rapat di ruang delgasi, Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Putu menilai pengelolaan air yang benar dapat menurunkan potensi terjadi konflik. Menurutnya, sudah banyak negara yang mengalami konflik karena air contohnya di Sungai Nil. Sementara itu telah terjadi perselisihan selama 10 tahun antara Mesir dan Ethiopia mengenai pasokan air di Sungai Nil. Kedua pihak mencari solusi internasional, namun perundingan yang dipimpin oleh Departemen Luar Negeri AS – dan diikuti oleh Uni Eropa dan PBB – hanya menghasilkan sedikit kesepakatan setelah empat tahun.

“Nah tentu kita harus merawat menata air bagaimana kita juga jangan sampai air ini menimbulkan konflik. Karena banyak negara sudah mulai ada konflik terhadap air di Sungai Nil, jadi Afrika ini sudah menjadi konflik. Nah tentu karena belum menuju potensi itu tentu kita harus mengelola bersama. Kita cari komitmen bersama agar akses terhadap air ini khususnya air bersih bisa diterima oleh masyarakat. Jadi artinya bisa diterima langsung dan masyarakat mendapat kesejahteraan jangan ada beban biaya yang tinggi untuk akses terhadap air,” ungkapnya.

“Nah tentu forum ini sangat monumental sehingga kita berpikir awal sudah baik kita tentu harus sukseskan ke depan. Dan forum ini juga kita memiliki komitmen bagaimana menggerakkan aksi parlemen untuk peduli terhadap air dan pada akhirnya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” tambahnya. Dengan tema WWF kali ini, “Mobilizing Parliamentary Action on Water For Shared Prosperity”, Putu menjelaskan Parlemen di WWF ingin mengeluarkan sebuah dokumen antara komitmen bersama maupun deklarasi.

Baca Selengkapnya