Dinilai Langgar Kode Etik, DKPP Berhentikan Ketua KPU RI Arief Budiman
Jakarta – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan Ketua KPU RI Arief Budiman. Putusan DKPP tersebut terkait pendampingan Arief terhadap komisioner KPU Evi Novida Ginting menggugat surat keputusan Presiden.
“Teradu terbukti tidak mampu menempatkan diri pada waktu dan tempat di ruang publik karena di setiap kegiatan teradu di ruang publik melekat jabatan Ketua KPU,” demikian bunyi penggalan putusan DKPP dalam persidangan, Rabu (13/1/2021).
Arief juga dinyatakan bersalah karena tetap menjadikan Evi Novida komisioner KPU. Arief dinyatakan melanggar kode etik dan dinyatakan tidak pantas menjadi Ketua KPU.
“Memutuskan mengabulkan pengaduan pengadu untuk sebagian. Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia kepada teradu Arief Budiman selaku Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia sejak putusan ini dibacakan,” demikian bunyi putusan DKPP yang dibacakan Ketua DKPP Muhammad.
KPU diminta melaksanakan putusan tersebut dalam tujuh hari.
Berikut alasan DKPP pecat Arief sebagai Ketua KPU yang dikutip detikcom dari salinan keputusan DKPP:
1. Surat KPU Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020 diterbitkan oleh Teradu sebagai tindak lanjut Surat Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor: B-210/Kemensetneg/D-3/AN.01.00/08/2020 tertanggal 13 Agustus 2020 yang ditandatangani oleh Plt. Deputi Administrasi Aparatur yang berbunyi:
…Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kami harapkan kiranya Petikan Keputusan Presiden tersebut dapat disampaikan kepada yang bersangkutan, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Substansi Surat Kementerian Sekretariat Negara a quo meminta kepada Teradu untuk menyampaikan Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020 sebagai tindak lanjut Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang mewajibkan Tergugat (Presiden) untuk mencabut Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020.
2. Dalam Surat Kementerian Sekretariat Negara tersebut, tidak terdapat frasa atau ketentuan yang memerintahkan atau mengamanatkan Teradu untuk mengangkat dan mengaktifkan kembali sdri Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU RI periode 2017-2020.
Namun dalam Surat Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 yang ditujukan kepada Sdri Evi Novida Ginting Manik, tidak hanya menyampaikan Keputusan Presiden tetapi Teradu tanpa dasar meminta Sdri Evi Novida Ginting Manik segera aktif melaksanakan tugas sebagai anggota KPU RI periode 2017-2022.
3. Tindakan Teradu meminta Sdri Evi Novida Ginting Manik aktif kembali merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de povoir) baik dalam kategori melampaui kewenangan (ultra vires) dalam pengertian tindakan bertentangan dengan ketentuan hukum maupun dalam kategori mencampuradukkan kewenangan dalam pengertian bertindak di luar materi kewenangan (onbevogheid ratione materiae) dan kategori sewenang-wenang yang bertindak tanpa dasar kewenangan (willekeur) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
4. Kedudukan Teradu selaku Ketua KPU termasuk sebagai pejabat administrasi, sepatutnya secara profesional dapat membaca dengan teliti dan penuh kehati-hatian setiap substansi tindakan administrasi dan/atau keputusan administrasi dari pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 sebagai tindak lanjut Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT. Amar kedua Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT, menyatakan batal Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P/Tahun 2020 Tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022. Amar ketiga Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P/Tahun 2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022. Amar keempat, mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Penggugat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan. Memperhatikan Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020 Tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020, bagian Pertama hanya Mencabut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P/Tahun 2020 Tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022 tanpa disertai dengan pelaksanaan Amar Keempat untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Penggugat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan.
5. Dalam paradigma positivisme, pencabutan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/P/Tahun 2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022 tidak serta merta dapat disimplifikasi bahwa Keputusan Presiden yang telah dibatalkan sebelumnya seketika Keputusan tentang Pengangkatan hidup kembali dan dapat menjadi dasar untuk mengaktifkan Sdri Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022. Jika cukup dengan pembatalan Keputusan Presiden Nomor 34/P/Tahun 2020 disertai dengan mewajibkan Presiden sebagai Tergugat mencabut Keputusan a quo sebagai dasar mengaktifkan Sdri Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022, maka amar keempat Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang mewajibkan Tergugat untuk merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan Penggugat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan, sedianya tidak diperlukan.
6. Pelaksanaan amar keempat semestinya menjadi dasar untuk mengangkat kembali dan mengaktifkan Sdri Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan tahun 2017-2022, namun hal tersebut sama sekali tidak menjadi bagian dalam Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020. Tidak dipenuhinya amar keempat Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT dalam Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020 merupakan sikap bijaksana Presiden yang sangat memahami sifat Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dalam Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan sebelumnya telah dipertegas dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa Putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.
7. Amar Keempat Putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT merupakan putusan yang tidak dapat dilaksanakan (non-executable) sehingga tidak menjadi bagian dari Keputusan Presiden Nomor 83/P Tahun 2020.
8. Berdasarkan hal tersebut Teradu sama sekali tidak memiliki dasar hukum maupun etik memerintahkan Sdri Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum karena menurut hukum dan etika Evi Novida Ginting tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu setelah diberhentikan berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE- DKPP/X/2019.
9. Pandangan ahli hukum administrasi negara Rudy Lukman dalam persidangan menyampaikan bahwa perlu dilihat aktifnya Sdri Evi Novida Ginting Manik apakah karena Keputusan Presiden atau surat Teradu. Menurut ahli, ada amar PTUN yang khusus untuk rehabilitasi sehingga seharusnya ada tindakan dari Presiden untuk mengembalikan Sdri Evi Novida Ginting Manik dalam kedudukan sebelumnya sebagai anggota KPU.
10. Tidak ada satu pun tindakan atau keputusan administrasi yang dilakukan Presiden sebagai dasar merehabilitasi dan mengembalikan Sdri Evi Novida Ginting Manik dalam kedudukan sebelumnya kecuali surat Teradu selaku Ketua KPU Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 yang ditandatangani oleh Teradu.
11. Tindakan Teradu menerbitkan Surat KPU Nomor 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020 dengan menambah klausul yang meminta Sdri Evi Novida Ginting Manik aktif melaksanakan tugas sebagai anggota KPU periode 2017-2022 merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang dalam kedudukan sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia yang sepatutnya memastikan seluruh kerangka hukum dan etika dalam setiap tindakannya.
12. Berdasarkan fakta dan bukti sebagaimana diuraikan pada angka 4.3.1 dan 4.3.2 Teradu terbukti tidak mampu menempatkan diri pada waktu dan tempat di ruang publik karena dalam setiap kegiatan Teradu di ruang publik melekat jabatan sebagai Ketua KPU, Teradu juga terbukti menyalahgunakan wewenang sebagai Ketua KPU mengaktifkan kembali Sdri Evi Novida Ginting Manik dan bertindak sepihak menerbitkan surat 663/SDM.13-SD/05/KPU/VIII/2020.
13. DKPP berpendapat Teradu tidak lagi memenuhi syarat untuk menyandang jabatan Ketua KPU. Berdasarkan hal tersebut Teradu telah terbukti melanggar Pasal 11 huruf a dan huruf b juncto Pasal 15 huruf a, huruf c, huruf d dan huruf f juncto Pasal 19 huruf c, huruf e dan huruf d, Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
14. Dengan demikian, dalil aduan Pengadu Terbukti dan jawaban Teradu tidak meyakinkan DKPP. Teradu terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu.
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.