Connect with us

Pemerintah Optimistis Target Realisasi PEN Capai 100 Persen Pada Desember 2020

Budi Gunadi Sadikin

Jakarta – Pemerintah optimistis realisasi Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tercapai 100 persen pada akhir tahun ini.  Sampai akhir September 2020 ini atau akhir kuartal III/2020, Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Komite Penanganan Covid-19 dan PEN (Satgas PEN) telah merealisasikan penyerapan anggaran pemulihan ekonomi nasional melebihi target Rp100 triliun, serta terus mendorong akselerasi penyerapan mencapai 100 persen pada Desember 2020, untuk menjaga pergerakan dan ketahanan ekonomi di masyarakat dan mendukung pergerakan angka pertumbuhan ekonomi nasional semakin membaik.

Ketua Satgas PEN Budi Gunadi Sadikin menyebut akhir kuartal III realisasi program PEN secara kumulatif, mencakup pemulihan ekonomi dan kesehatan sudah berhasil terealisasi  Rp304,6 triliun atau 43,8 persen dari total anggaran sebesar Rp695,2 triliun.

“Sejak Komite PCPEN dibentuk 20 Juli 2020, secara kumulatif sudah direalisasikan Rp255,22 triliun untuk 4 sektor. Secara mingguan, bisa kita lihat realisasinya makin lama makin cepat,” jelas Budi sebagaimana tercantum dalam rilis Tim Komunikasi Komite PCPEN, Rabu (30/9).

Empat sektor  yang dimaksud adalah sektor perlindungan sosial, UMKM, Kementerian/Lembaga dan Pemda (K/L/D), serta pembiayaan korporasi. Dalam 4 sektor itu Satgas PEN sudah menyalurkan pertambahan mingguan per klaster PEN sebesar Rp137,89 triliun. Sedangkan sektor pembiayaan korporasi akan mulai direalisasikan pada awal Oktober 2020 atau kuartal IV. Sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal tersebut.

“Sampai akhir tahun kami optimis seluruh anggaran bisa terserap, sehingga bisa memberikan daya ungkit yang cukup tinggi bagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan IV,” jelas Budi Gunadi Sadikin.

Secara spesifik ia menjelaskan pada kelompok pertama atau sektor perlindungan sosial ada Program Keluarga Harapan (PKH) sudah terealisasikan Rp36,3 triliun atau realisasinya 97,1 persen dari pagu Rp37,4 triliun dengan 10 juta keluarga penerima manfaat atau 40 juta rakyat kategori miskin. Lainnya, Program Kartu Sembako dengan pagu Rp43,6 triliun sudah terealisasikan Rp31,9 triliun atau realisasinya 73,2 persen kepada 19,4 juta penerima manfaat.

“Jika 1 keluarga terdiri dari 4 orang, ada sekitar 80 juta rakyat yang hidup di taraf ekonomi paling bawah sudah tersentuh oleh program pemerintah ini,” masih kata Budi.

Program Bantuan Sosial (Bansos) Tunai Non-Jabodetabek telah direalisasikan sebesar Rp24,8 triliun dan diterima 9,2 juta penerima. Ditambah Jabodetabek, pagu keseluruhannya menjadi Rp39,2 triliun dengan realisasi keseluruhan 74,6 persen dan penerima manfaat menjadi 10,9 juta.

Pada Program Kartu Prakerja sudah direalisasikan Rp19,46 triliun untuk menjangkau 5,48 juta penerima manfaat. Sedangkan Program Subsidi Upah/Gaji sebesar Rp14 triliun telah direalisasikan dan akan terus berjalan hingga akhir tahun yang diberikan pada 11,65 juta pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta. Program lainnya seperti BLT Dana Desa dan Diskon Listrik terus berjalan.

Pada sektor UMKM yang berperan besar pada pengembangan ekonomi nasional dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, sudah direalisasikan program penempatan dana sebesar Rp59 triliun untuk sumber dana penyaluran kredit UMKM di Indonesia.  Program Bantuan Presiden (Banpres) Produktif, berhasil direalisasikan Rp16 triliun kepada 6,6 juta penerima manfaat dalam bentuk hibah, menjadi modal awal bagi pengusaha mikro untuk bisa menggulirkan usahanya. Satgas PEN juga telah menyalurkan Program Subsidi Bunga Kredit Mikro kepada 7,67 juta debitur UMKM.

Pada sektor Kementerian/Lembaga yang mengkhususkan pada Program Padat Karya, sudah direalisasikan Rp12,76 triliun kepada sekitar 1,97 juta tenaga kerja.

“Terima kasih dukungannya selama ini, saya berharap Rp130 triliun lebih yang kita realisasikan dalam kuartal III ini bisa bermanfaat maksimal untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi kita di kuartal III. Mudah-mudahan lebih baik dibandingkan negatif lima persen di kuartal II,” ia mengapresiasi semua pihak.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya