Perayaan Kemerdekaan AS: Presiden Trump dan Rasisme
Hari ini, 4 Juli 2020 Bangsa Amerika Serikat merayakan kemerdekaan negaranya. 244 tahun sudah Bangsa Amerika merdeka. Dua abad lebih kemerdekaan suatu bangsa adalah satu capaian besar. Dengan semua capaiannya, Amerika adalah sebuah negeri yang menjadi salah satu pusat perhatian dunia internasional. Hingga kini negeri besar itu, tetap bertahan bersama semua masalahnya.
Hari yang bersejarah bagi bangsa Amerika dan negara AS ini, dimulai saat 244 tahun silam, diproklamirkan sebagai hari Kemerdekaan Amerika Serikat atau (Independence Day-Fourth of July). Amerika terbebas dari penjajahan kolonialisme Inggris. 4 Juli 1776 Kongres Kontinental mengeluarkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani oleh Thomas Jefferson. Peristiwa itu dirayakan sebagai sebagai Hari Kemerdekaan Negara dan Bangsa Amerika Serikat.
Jutaan warga Amerika tentunya merayakan hari besar ini. 244 tahun sudah Amerika merayakan kemerdekaannya. Ada banyak hal besar yang sedang dialami bangsa Amerika saat ini. Salah satunya, saat merayakan hari kemerdekaan ini bangsa Amerika seperti dialami lebih dari 200 negara juga sedang menghadapi wabah virus Corona atau Covid-19. Dibawah kepemimpinan Presiden Donald Trump saat ini, lebih dari dua setengah juta penduduk Amerika dinyatakan positif terinfeksi virus corona, 129 ribu orang lebih meninggal akibat Covid-19.
Hal penting lain yang sedang dihadapi warga Amerika Serikat adalah Pemilihan Presiden pada November mendatang. Gelaran demokrasi setiap empat tahunan di Amerika Serikat. Saat ini, Amerika di bawah Presiden Trump menjadi sorotan dan perhatian utama saat pandemi corona. Saat yang sama saat ini warga Amerika juga bersiap menuju Pemilu di Amerika Serikat. Dan tentu saja juga terdengar dan kita dapat menonton langsung dan siaran ulang melalui media sosial seperti Youtube peran dan ucapan sang Presiden Amerika Serikat ini.
Kemeriahan perayaan hari kemerdekaan Amerika ini turut pula disertai dengan ucapan dan polah Presiden AS Donald Trump. Mesin besar media menjadi corongnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian besar di Amerika sendiri dan di dunia pada umumnya. Setiap ucapan sang presiden tentunya merupakan headline media dunia.
Salah satu fokus kita, tentu saja pada peran dan ucapan Presiden Donald Trump terkait peran dan kepemimpinan sebagai kepala negara AS ke 45 dalam situasi pandemi virus corona saat ini, dan upayanya berhadapan menuju Pilpres AS November mendatang dalam upaya meraih jabatan sebagai Presiden AS sebagai incumbent.
Ucapan Presiden Donald Trump di hadapan ribuan para pendukungnya dalam kampanye Pilpres pada 21 Juni 2020 silam menyebut virus Corona sebagai “Kung Flu” adalah ungkapan rasis sebagai wujud prasangka etnik dan atau ras yang masih terus hidup sebagai peninggalan kolonial dan akibat segregasi sosial yang pernah diterapkan di Amerika di masa lalu. Bahkan hingga tahun 1950-60an lalu.
Walaupun telah merdeka 244 tahun, sebagai bangsa dan negara, Amerika Serikat masih memiliki persoalan laten yang juga banyak dialami bangsa lain. Persoalan laten bangsa atau warga Amerika Serikat yang juga terus dihadapi adalah masalah rasisme atau rasialisme atau prasangka etnik (ethnic prejudice) sebagai peninggalan warisan kolonialisme.
Seperti juga peninggalan kolonialisme di negeri manapun, rasisme adalah luka peninggalan kolonial yang terus berlanjut. Di Amerika, warisan kolonial Inggris yang terus menjadi masalah hingga kini adalah prasangka etnik. Ini masih terus berlanjut hingga sekarang. Utamanya tentang hubungan antar ras di sana yaitu warga kulit putih, berwarna seperti Asia, warga Amerika hasil hubungan integrasi campuran antar ras kulit putih Spanyol dan penduduk awal Amerika, serta warga Amerika keturunan Afrika (African American).
Prasangka rasial itu kini berwujud tidak hanya persoalan bagi warga Amerika keturunan Afrika, tetapi juga berdampak kepada warga Amerika kulit berwarna seperti warga Amerika Tionghoa (Chinese American), warga Amerika keturunan Amerika Spanyol (Spanish American) dan warga kulit berwarna lainya seperti warga amerika keturunan Arab (Arab American) dari penjuru dunia yang kemudian diangkat dan resmi menjadi warga Amerika. Kita memahami bahwa bangsa Amerika adalah kumpulan banyak bangsa dunia yang bersepakat mendirikan negara yang dipelopori kaum migran dan imigran dari berbagai benua dan penjuru dunia. Memang pelopornya adalah bangsa Inggris sebagai kekuatan kolonial dan imperialis besar lebih dari 250 tahun silam.
Sebelumnya, Trump kepada publik Amerika menyebut Covid-19 dengan kata ‘flu wuhan’ , flu cina, atau ‘flu tiongkok’. Jelas itu adalah ungkapan rasis dan tentu saja Trump menolak itu sebagai ungkapan rasis. Trump berkilah menyebut corona dengan kata-kata itu hanya sebagai upaya membuat itu “akurat” Dan penyebutan ‘kung flu,’ china flu’ wuhan flu’ — tempat asal virus ini berkembang oleh Presiden Trump dalam pernyataan kepada media dan dalam kampanye Pilpres-nya terus berlanjut dalam kampanye-kampanye Presiden Trump. Dari satu kota ke kota lainnya, di hadapan ribuan warga dan anak muda sebagai terminologi merendahkan dan rasis ini masih terus disebut oleh Trump untuk menggaet suara pemilih dalam Pilpres di Amerika.
Gelaran kampanye ini masih terus berlanjut hari ini hingga hari pemilihan di bulan November nanti. Walau telah diingatkan oleh kelompok sipil dan para politisi Amerika bahwa ungkapan Presiden Trump yang rasis sebagai merendahkan dan berpotensi merusak hubungan antar ras di Amerika khususnya perilaku sosial terhadap warga Amerika keturunan Asia dan Tiongkok.
Kematian warga kulit hitam George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu oleh polisi kulit putih dapat ditelisik sebagai wujud buruknya hubungan antar ras di Amerika. Menurut statistik persentase warga Amerika keturunan Afrika lebih besar kemungkinannya mengalami kekerasan ketimbang warga kulit putih. Wujudnya bias dalam perlakuan rasisme seperti termasuk kebrutalan oknum polisi Amerika. Disebut oknum dalam terminologi media kita karena tidak semua polisi Amerika bertindak dan berprasangka rasis terhadap warga kulit hitam.
Prasangka rasisme, rasialisme dan prasangka etnik adalah warisan kolonialisme yang masih terus eksis saat ini. Termasuk dalam ucapan-capan Presiden Trump. Presiden AS sebelum Trump, Barack Obama merasa kesal dan marah dengan pernyataan-pernyataan Trump yang sangat rasis. Menurut Obama dan juga banyak politisi, para pejuang hak-hak sipil serta sebagian warga para pemilih di Amerika ucapan merendahkan seperti itu tidak selayaknya diucapkan oleh seorang Presiden Amerika.
Prasangka ras di Amerika ini tentu saja adalah bagian dari warisan kolonialisme dahulu. Rasisme adalah tubuh dalam sistem kolonialisme dan imperialisme. Peninggalan itu terus ada dalam wujud prasangka rasial. Upaya menghapuskan memang harus menjadi agenda utama di Amerika. Seperti begitu pula upaya menghapuskan prasangka rasial dan rasisme di berbagai belahan dunia. Termasuk kita di Indonesia. Peninggalan kolonialisme di Amerika seperti lembaga perbudakan memang sudah hilang. Namun, prasangka ras secara sadar dan tidak turut pula diucapkan dan diselipkan oleh President Donald Trump dalam ujaran dan pidato-pidato kampanye presidennya.
Rasisme sebagai peninggalan kolonialis dan imperialis ini memang sengaja secara sistematis digunakan dahulu tentunya oleh para kolonialis dan imperialis. Kaum kolonial dan imperialis menggunakan dan mengembangkan prasangka ras dalam menjalankan kekuasaannya. Artinya, negara kolonial dahulu sudah pasti rasis. Namun yang rasis belum tentu kolonial. Karena pengalaman sejarah membuktikan rasisme masih hidup dalam peradaban modern saat ini.
Mengapa sekarang masih ada di Amerika walau sudah merdeka 244 tahun? Itu bisa eksis adalah karena prasangka dan upaya merendahkan itu sebagai warisan segregasi rasial di Amerika di waktu lalu. Ia masih terus membekas pada sebagian kecil orang di Amerika. Itu bisa berwujud dalam bentuk solidaritas supremasi kulit putih seperti Ku Klux Klan pada tahun 1950-60an. Sesungguhnya juga, begitu banyak orang kulit putih tidak menyukai dan memiliki prinsip persamaan hak antara sesama warga Amerika. Hal ini yang disebut sebagai masalah laten hubungan antar ras di Amerika. Itulah latar yang menjadi akar persoalan rasisme di Amerika.
Pengalaman kebijakan politik berupa pemisahan atau segregasi rasial dan pengalaman penerapan lembaga perbudakan di Amerika itu masih membekas. Padahal lembaga perbudakan telah dihapuskan oleh Presiden Abraham Lincoln. 1 Januari 1863 Presiden Lincoln secara resmi mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi anti-perbudakan. Hampir seratus tahun setelah kemerdekaan, lembaga perbudakan di Amerika diakhiri Presiden Lincoln. Namun prasangka rasial terhadap warga kulit hitam Amerika masih terus ada hingga hari ini, 244 tahun setelah kemerdekaan Amerika. Dan hal yang tak pantas berupa ujaran prasangka rasial itu, turut pula dilakukan secara sadar oleh seorang Presiden Amerika Serikat saat ini, demi meraih kemenangan dalam pemilihan presiden.
Dalam beberapa pengalaman negara dan cerita bangsa, memang prasangka ras, rasialisme, etnik dan kadang agama digunakan para politisi sebagai alat dan metode meraih kemenangan politik. Hal buruk atau yang tak mempertimbangkan akibat buruk penggunaan prasangka itu oleh para politisi, termasuk saat ini dilakukan secara sadar dan sistimatis oleh president Trump dalam kampanye Pilpresnya. Hal ini salah satunya untuk mengecilkan peran yang lain dan membesarkan diri sendiri dihadapan para pemilih. Setelah Trump mengucapkan “Kung Flu,” ribuan pendukungnya berteriak riuh rendah mengidolakan sang presiden.
Sumbangan prasangka rasial, etnik dan atau ras ini juga terjadi dari pengalaman menjelang Perang Dunia kedua di Eropa. Ketika berkuasa hingga Jerman kalah dalam Perang Dunia kedua, Hitler-penguasa Jerman yang mati bunuh diri pasca kekalahan dalam PD kedua, telah menyumbang besar bagi eksistensi kelompok-kelompok pendukung rasisme di Eropa dan Amerika.
Dalam merayakan hari kemerdekaannya, hingga hari ini bangsa Amerika juga terus bergulat dengan persoalan hubungan antar ras. Hari ini kita ucapkan selamat hari kemerdekaan bangsa Amerika Serikat. Semoga hubungan antar ras menjadi lebih baik di masa depan.
Barangkali dengan segala tingkah polah serta ucapan-ucapan rasis _ tak hanya bernada rasis _ hari ini boleh jadi adalah hari terakhir Donald Trump memimpin perayaan hari kemerdekaan bangsanya sebagai presiden. Melihat jajak pendapat dan kecenderungan pilihan warga Amerika ditambah faktor pemberat dalam ucapan-ucapan rasis yang diproduksi Donald Trump dan mesin medianya, tampaknya perayaan hari kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 2021 boleh jadi akan dipimpin oleh penantang Trump yang mantan wakil Presiden AS era Obama, Joe Biden.
Sekali lagi selamat Hari Kemerdekaan Bangsa dan Negara Amerika Serikat.
Irwan Firdaus
Alumni Sejarah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia
Wartawan Associated Press 1997-2011
BERITA
Komisi III Minta Komnas HAM Tingkatkan Peran, Selesaikan Pelanggaran HAM Berat
Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh memimpin rapat kerja dengan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam rapat ini Komisi III meminta Komnas HAM untuk meningkatkan peran dan mengoptimalkan pelaksanaan tugas dan fungsi dalam mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran HAM berat.
“Baik itu penyelesaian yudisial maupun non-yudisial, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya di ruang rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2024).
Lebih lanjut Komisi III DPR meminta Komnas HAM untuk segera menyelesaikan peraturan terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi, agar dapat menjadi informasi dan tolak ukur dalam tindak lanjut rekomendasi yang telah diberikan.
Bahkan Komisi III meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk lebih proaktif dan sinergis dalam mengidentifikasi potensi permasalahan, melakukan penanganan, maupun pendampingan terhadap seluruh pihak, dalam penerapan dan penegakan prinsip-prinsip HAM, termasuk perlindungan terhadap perempuan di seluruh sektor dan kegiatan.
Sementara itu di lain pihak, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa pihaknya saat ini tengah menyusun rancangan Peraturan Komnas HAM terkait Penilaian Tindak Lanjut Kepatuhan Rekomendasi Komnas HAM. “Sebagai salah satu upaya pemasangan untuk meningkatkan efektivitas dari rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM,” papar Atnike saat rapat.
Menurutnya rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM dari hasil pemantauan, mediasi, maupun kajian tidak selalu ditindaklanjuti oleh stakeholders maupun kementerian/lembaga karena dianggap tidak mengikat. “Sejumlah kasus juga menunjukkan fungsi mediasi Komnas HAM masih belum dipahami sebagai sebuah solusi strategis,” ucap Atnike.
BERITA
Anggaran Pendidikan Kemenag Dinilai Masih Kecil
Jakarta – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily menilai besaran anggaran pendidikan yang diterima Kemenag (Kementerian Agama) untuk mendanai seluruh lembaga pendidikan Islam dan keagamaan masih timpang dibanding kementerian lain.
“Soal anggaran pendidikan di bawah Kementerian Agama harus betul-betulan keadilan anggaran. Kalau kita dengar pidato Menteri Keuangan (Sri Mulyani) dalam rapat paripurna, ya anggaran pendidikan Rp630 triliun, tapi kalau Kemenag hanya dapat Rp35 triliun, buat saya mengkhawatirkan,” kata Kang Ace, sapaannya, dalam keterangan persnya, Rabu (29/5/2024).
Politisi Partai Golkar itu menyatakan, selain Sekretariat Jenderal (Sekjen) Kemenag, anggaran terbesar juga diberikan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag sebesar Rp35 triliun.
Ada satu hal yang sangat penting untuk didiskusikan bersama adalah soal berbagai hal terkait anggaran pendidikan nasional. Dari penjelasan Plt Dirjen Pendis, berapa persen KIP Kuliah untuk Perguruan Tinggi Agama Islam (PTKAI) dan perguruan tinggi agama lain.
“Apakah PIP, KIP, apakah sudah mencerminkan suatu keadilan anggaran? Rehab ruang kelas juga belum mencerminkan keseluruhan,” ujar dia.
Kang Ace melihat dari total anggaran pendidikan Rp630 triliun di APBN, Kemenag hanya mendapatkan Rp35 triliun, artinya belum mencerminkan suatu kesetaraan anggaran.
“Padahal anak-anak madrasah, yang kuliah di UIN, STAIN, STAI atau di manapun, mereka juga anak-anak bangsa yang sama untuk mendapatkan perlakuan sama dalam akses pendidikan,” tutur Kang Ace.
Ace mengatakan, keputusan tepat telah diambil Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menunda status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Itu keputusan yang tepat. Kalau tidak, meresnya sama mahasiswa. Berat,” ucap dia.
Jujur saja, ujar Ace, hampir sebagian besar siswa dan mahasiswa yang sekolah di bawah Kemenag berlatar belakang sosial ekonomi kelas menengah bawah. Namun penyaluran program KIP dan PIP untuk mereka juga sedikit.
“Itu anehnya. Jadi ada yang salah dari proses pendataan penyaluran program negara untuk kelompok-kelompok yang membutuhkan itu,” ujar Kang Ace.
BERITA
Imbas Kebakaran Smelter Nikel PT KFI, Komisi VII akan Audit Investigasi
Kutai Kartanegara – Anggota Komisi VII DPR RI Nasyirul Falah Amru mengatakan, pihaknya akan segera melakukan audit investigasi terhadap pabrik smelter nikel PT Kalimantan Ferro Industri. Hal tersebut imbas dari peristiwa dua kali ledakan di pabrik smelter PT KFI yang menewaskan pekerja asing dan lokal belum lama ini.
“Kami akan panggil PT KFI beserta seluruh jajaran direksinya, untuk datang ke Gedung Senayan dan kami akan melakukan audit investigasi. Secara mekanisme, bisa dengan membuat panja nikel atau kita panggil secara khusus di Rapat Dengar Pendapat (RDP). Kami juga tentunya akan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian KLHK dari sisi amdalnya, supaya benar-benar kita melihat secara komprehensif sebab terjadinya ledakan,” ujarnya saat memimpin Tim Kunspek Komisi VII DPR mengunjungi PT KFI di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (29/5/2024).
Menurut Politisi F-PDI Perjuangan ini, pihaknya menilai, hasil dari temuan dilapangan seperti sarana untuk keselamatan kerja dan sebagainya juga masih jauh dari kurang. Walaupun mereka sudah mendatangkan tim dari Kementerian Industri untuk mekanisme aturan pedomannya, tetapi pihaknya menemukan fakta di lapangan masih belum sesuai dengan harapan.
“Saya berpesan agar tidak terulang terjadi kebakaran atau ledakan, yang paling penting ini adalah mesin yang ada di setiap semelter itu perlu dicek selalu setiap periodik. Kemudian, kalibrasi mesin itu juga penting karena dengan begitu kita akan tahu ukuran mesin ini sesuai dengan kapasitasnya dia berproduksi atau tidak. Sehingga, Insya Allah dengan adanya perawatan yang berkala dan pengawasan yang kita lakukan ini Insya Allah tidak akan terjadi kembali,” jelas Nasyirul.
Selain itu, kami juga tidak menemukan alat pemadam kebakaran sepanjang jalan menuju lokasi meledaknya smelter. Kemudian, rambu-rambu yang ada juga masih sangat terbatas sekali, sehinhha dianggap tidak layak untu perusahaan smelter. “Jadi ini harus segera diperbaiki,” imbuhnya.
“Kita menemukan sesuatu yang di luar dugaan, ketika PT KFI lagi dibangun ada proses namanya commissioning atau uji coba tetapi sudah menimbulkan kejadian terjadinya ledakan. Padahal masih tahap uji coba, tetapi dua tenaga kerja asing dan dua pekerja lokal turut menjadi korban akibat ledakan di smelter nikel tersebut,” ucapnya lagi.