Connect with us

Perayaan Kemerdekaan AS: Presiden Trump dan Rasisme

Penulis:
Irwan Firdaus
Alumni Sejarah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia/Wartawan Associated Press 1997-2011

Hari ini, 4 Juli 2020 Bangsa Amerika Serikat merayakan kemerdekaan negaranya. 244 tahun sudah Bangsa Amerika merdeka. Dua abad lebih kemerdekaan suatu bangsa adalah satu capaian besar. Dengan semua capaiannya, Amerika adalah sebuah negeri yang menjadi salah satu pusat perhatian dunia internasional. Hingga kini negeri besar itu, tetap bertahan bersama semua masalahnya.

Hari yang bersejarah bagi bangsa Amerika dan negara AS ini, dimulai saat 244 tahun silam, diproklamirkan sebagai hari Kemerdekaan Amerika Serikat atau (Independence Day-Fourth of July). Amerika terbebas dari penjajahan kolonialisme Inggris. 4 Juli 1776 Kongres Kontinental mengeluarkan Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang ditandatangani oleh Thomas Jefferson. Peristiwa itu dirayakan sebagai sebagai Hari Kemerdekaan Negara dan Bangsa Amerika Serikat.

Jutaan warga Amerika tentunya merayakan hari besar ini. 244 tahun sudah Amerika merayakan kemerdekaannya. Ada banyak hal besar yang sedang dialami bangsa Amerika saat ini. Salah satunya, saat merayakan hari kemerdekaan ini bangsa Amerika seperti dialami lebih dari 200 negara juga sedang menghadapi wabah virus Corona atau Covid-19. Dibawah kepemimpinan Presiden Donald Trump saat ini, lebih dari dua setengah juta penduduk Amerika dinyatakan positif terinfeksi virus corona, 129 ribu orang lebih meninggal akibat Covid-19.

Hal penting lain yang sedang dihadapi warga Amerika Serikat adalah Pemilihan Presiden pada November mendatang. Gelaran demokrasi setiap empat tahunan di Amerika Serikat. Saat ini, Amerika di bawah Presiden Trump menjadi sorotan dan perhatian utama saat pandemi corona. Saat yang sama saat ini warga Amerika juga bersiap menuju Pemilu di Amerika Serikat. Dan tentu saja juga terdengar dan kita dapat menonton langsung dan siaran ulang melalui media sosial seperti Youtube peran dan ucapan sang Presiden Amerika Serikat ini.

Kemeriahan perayaan hari kemerdekaan Amerika ini turut pula disertai dengan ucapan dan polah Presiden AS Donald Trump. Mesin besar media menjadi corongnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian besar di Amerika sendiri dan di dunia pada umumnya. Setiap ucapan sang presiden tentunya merupakan headline media dunia.

Salah satu fokus kita, tentu saja pada peran dan ucapan Presiden Donald Trump terkait peran dan kepemimpinan sebagai kepala negara AS ke 45 dalam situasi pandemi virus corona saat ini, dan upayanya berhadapan menuju Pilpres AS November mendatang dalam upaya meraih jabatan sebagai Presiden AS sebagai incumbent.

Ucapan Presiden Donald Trump di hadapan ribuan para pendukungnya dalam kampanye Pilpres pada 21 Juni 2020 silam menyebut virus Corona sebagai “Kung Flu” adalah ungkapan rasis sebagai wujud prasangka etnik dan atau ras yang masih terus hidup sebagai peninggalan kolonial dan akibat segregasi sosial yang pernah diterapkan di Amerika di masa lalu. Bahkan hingga tahun 1950-60an lalu.

Walaupun telah merdeka 244 tahun, sebagai bangsa dan negara, Amerika Serikat masih memiliki persoalan laten yang juga banyak dialami bangsa lain. Persoalan laten bangsa atau warga Amerika Serikat yang juga terus dihadapi adalah masalah rasisme atau rasialisme atau prasangka etnik (ethnic prejudice) sebagai peninggalan warisan kolonialisme.

Seperti juga peninggalan kolonialisme di negeri manapun, rasisme adalah luka peninggalan kolonial yang terus berlanjut. Di Amerika, warisan kolonial Inggris yang terus menjadi masalah hingga kini adalah prasangka etnik. Ini masih terus berlanjut hingga sekarang. Utamanya tentang hubungan antar ras di sana yaitu warga kulit putih, berwarna seperti Asia, warga Amerika hasil hubungan integrasi campuran antar ras kulit putih Spanyol dan penduduk awal Amerika, serta warga Amerika keturunan Afrika (African American).

Prasangka rasial itu kini berwujud tidak hanya persoalan bagi warga Amerika keturunan Afrika, tetapi juga berdampak kepada warga Amerika kulit berwarna seperti warga Amerika Tionghoa (Chinese American), warga Amerika keturunan Amerika Spanyol (Spanish American) dan warga kulit berwarna lainya seperti warga amerika keturunan Arab (Arab American) dari penjuru dunia yang kemudian diangkat dan resmi menjadi warga Amerika. Kita memahami bahwa bangsa Amerika adalah kumpulan banyak bangsa dunia yang bersepakat mendirikan negara yang dipelopori kaum migran dan imigran dari berbagai benua dan penjuru dunia. Memang pelopornya adalah bangsa Inggris sebagai kekuatan kolonial dan imperialis besar lebih dari 250 tahun silam.

Sebelumnya, Trump kepada publik Amerika menyebut Covid-19 dengan kata ‘flu wuhan’ , flu cina, atau ‘flu tiongkok’. Jelas itu adalah ungkapan rasis dan tentu saja Trump menolak itu sebagai ungkapan rasis. Trump berkilah menyebut corona dengan kata-kata itu hanya sebagai upaya membuat itu “akurat” Dan penyebutan ‘kung flu,’ china flu’ wuhan flu’ — tempat asal virus ini berkembang oleh Presiden Trump dalam pernyataan kepada media dan dalam kampanye Pilpres-nya terus berlanjut dalam kampanye-kampanye Presiden Trump. Dari satu kota ke kota lainnya, di hadapan ribuan warga dan anak muda sebagai terminologi merendahkan dan rasis ini masih terus disebut oleh Trump untuk menggaet suara pemilih dalam Pilpres di Amerika.

Gelaran kampanye ini masih terus berlanjut hari ini hingga hari pemilihan di bulan November nanti. Walau telah diingatkan oleh kelompok sipil dan para politisi Amerika bahwa ungkapan Presiden Trump yang rasis sebagai merendahkan dan berpotensi merusak hubungan antar ras di Amerika khususnya perilaku sosial terhadap warga Amerika keturunan Asia dan Tiongkok.

Kematian warga kulit hitam George Floyd pada 25 Mei 2020 lalu oleh polisi kulit putih dapat ditelisik sebagai wujud buruknya hubungan antar ras di Amerika. Menurut statistik persentase warga Amerika keturunan Afrika lebih besar kemungkinannya mengalami kekerasan ketimbang warga kulit putih. Wujudnya bias dalam perlakuan rasisme seperti termasuk kebrutalan oknum polisi Amerika. Disebut oknum dalam terminologi media kita karena tidak semua polisi Amerika bertindak dan berprasangka rasis terhadap warga kulit hitam.

Prasangka rasisme, rasialisme dan prasangka etnik adalah warisan kolonialisme yang masih terus eksis saat ini. Termasuk dalam ucapan-capan Presiden Trump. Presiden AS sebelum Trump, Barack Obama merasa kesal dan marah dengan pernyataan-pernyataan Trump yang sangat rasis. Menurut Obama dan juga banyak politisi, para pejuang hak-hak sipil serta sebagian warga para pemilih di Amerika ucapan merendahkan seperti itu tidak selayaknya diucapkan oleh seorang Presiden Amerika.

Prasangka ras di Amerika ini tentu saja adalah bagian dari warisan kolonialisme dahulu. Rasisme adalah tubuh dalam sistem kolonialisme dan imperialisme. Peninggalan itu terus ada dalam wujud prasangka rasial. Upaya menghapuskan memang harus menjadi agenda utama di Amerika. Seperti begitu pula upaya menghapuskan prasangka rasial dan rasisme di berbagai belahan dunia. Termasuk kita di Indonesia. Peninggalan kolonialisme di Amerika seperti lembaga perbudakan memang sudah hilang. Namun, prasangka ras secara sadar dan tidak turut pula diucapkan dan diselipkan oleh President Donald Trump dalam ujaran dan pidato-pidato kampanye presidennya.

Rasisme sebagai peninggalan kolonialis dan imperialis ini memang sengaja secara sistematis digunakan dahulu tentunya oleh para kolonialis dan imperialis. Kaum kolonial dan imperialis menggunakan dan mengembangkan prasangka ras dalam menjalankan kekuasaannya. Artinya, negara kolonial dahulu sudah pasti rasis. Namun yang rasis belum tentu kolonial. Karena pengalaman sejarah membuktikan rasisme masih hidup dalam peradaban modern saat ini.

Mengapa sekarang masih ada di Amerika walau sudah merdeka 244 tahun? Itu bisa eksis adalah karena prasangka dan upaya merendahkan itu sebagai warisan segregasi rasial di Amerika di waktu lalu. Ia masih terus membekas pada sebagian kecil orang di Amerika. Itu bisa berwujud dalam bentuk solidaritas supremasi kulit putih seperti Ku Klux Klan pada tahun 1950-60an. Sesungguhnya juga, begitu banyak orang kulit putih tidak menyukai dan memiliki prinsip persamaan hak antara sesama warga Amerika. Hal ini yang disebut sebagai masalah laten hubungan antar ras di Amerika. Itulah latar yang menjadi akar persoalan rasisme di Amerika.

Pengalaman kebijakan politik berupa pemisahan atau segregasi rasial dan pengalaman penerapan lembaga perbudakan di Amerika itu masih membekas. Padahal lembaga perbudakan telah dihapuskan oleh Presiden Abraham Lincoln. 1 Januari 1863 Presiden Lincoln secara resmi mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi anti-perbudakan. Hampir seratus tahun setelah kemerdekaan, lembaga perbudakan di Amerika diakhiri Presiden Lincoln. Namun prasangka rasial terhadap warga kulit hitam Amerika masih terus ada hingga hari ini, 244 tahun setelah kemerdekaan Amerika. Dan hal yang tak pantas berupa ujaran prasangka rasial itu, turut pula dilakukan secara sadar oleh seorang Presiden Amerika Serikat saat ini, demi meraih kemenangan dalam pemilihan presiden.

Dalam beberapa pengalaman negara dan cerita bangsa, memang prasangka ras, rasialisme, etnik dan kadang agama digunakan para politisi sebagai alat dan metode meraih kemenangan politik. Hal buruk atau yang tak mempertimbangkan akibat buruk penggunaan prasangka itu oleh para politisi, termasuk saat ini dilakukan secara sadar dan sistimatis oleh president Trump dalam kampanye Pilpresnya. Hal ini salah satunya untuk mengecilkan peran yang lain dan membesarkan diri sendiri dihadapan para pemilih. Setelah Trump mengucapkan “Kung Flu,” ribuan pendukungnya berteriak riuh rendah mengidolakan sang presiden.

Sumbangan prasangka rasial, etnik dan atau ras ini juga terjadi dari pengalaman menjelang Perang Dunia kedua di Eropa. Ketika berkuasa hingga Jerman kalah dalam Perang Dunia kedua, Hitler-penguasa Jerman yang mati bunuh diri pasca kekalahan dalam PD kedua, telah menyumbang besar bagi eksistensi kelompok-kelompok pendukung rasisme di Eropa dan Amerika.

Dalam merayakan hari kemerdekaannya, hingga hari ini bangsa Amerika juga terus bergulat dengan persoalan hubungan antar ras. Hari ini kita ucapkan selamat hari kemerdekaan bangsa Amerika Serikat. Semoga hubungan antar ras menjadi lebih baik di masa depan.

Barangkali dengan segala tingkah polah serta ucapan-ucapan rasis _ tak hanya bernada rasis _ hari ini boleh jadi adalah hari terakhir Donald Trump memimpin perayaan hari kemerdekaan bangsanya sebagai presiden. Melihat jajak pendapat dan kecenderungan pilihan warga Amerika ditambah faktor pemberat dalam ucapan-ucapan rasis yang diproduksi Donald Trump dan mesin medianya, tampaknya perayaan hari kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 2021 boleh jadi akan dipimpin oleh penantang Trump yang mantan wakil Presiden AS era Obama, Joe Biden.

Sekali lagi selamat Hari Kemerdekaan Bangsa dan Negara Amerika Serikat.

 

Irwan Firdaus

Alumni Sejarah Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia

Wartawan Associated Press 1997-2011

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Hetifah Sjaifudian Apresiasi Kemenangan Timnas Indonesia Bantai Vietnam 3-0

Oleh

Fakta News
Hetifah Sjaifudian Apresiasi Kemenangan Timnas Indonesia Bantai Vietnam 3-0
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian. Foto : DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mengapresiasi kemenangan gemilang Timnas Indonesia dalam pertandingan tandang melawan Vietnam. Ia mengungkapkan bahwa kemenangan ini menjadi berkah dan kegembiraan di bulan puasa bagi seluruh rakyat Indonesia, serta juga membawa semangat bagi para pemain.

Dalam pertandingan yang berlangsung di Stadion My Dinh, Vietnam, Timnas Indonesia berhasil meraih kemenangan dengan skor 3-0 dengan gol yang tercipta berasal dari Jay Idzes, Ragnar Oratmangoen, dan Ramadhan Sananta. Para pemain berhasil menunjukkan performa maksimal di tengah keterbatasan waktu persiapan yang sangat singkat.

“Kemenangan yang diracik oleh Pelatih Shin Tae Yong di tengah keterbatasan waktu mempersiapkan Tim yang sangat singkat. Timnas Indonesia bisa menunjukan performa maksimal. Kita menikmati tontonan apik yang menghibur, dengan level permainan yang berbeda dari permainan sebelumnya,” kata Hetifah Sjaifudian melalui keterangan resmi yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (27/03/2024).

Lebih lanjut, kata Hetifah, juga mengingatkan tentang kejayaan Timnas Indonesia di masa lalu. Hal ini mengingat pada Piala Dunia 1986, saat itu Indonesia hampir berhasil lolos ke Meksiko sebelum dikalahkan oleh Korea Selatan.

“Tentunya kita sangat bersyukur dengan situasi ini. Berarti semakin dekat pada tujuan akhir untuk lolos fase grup, seperti yang pernah dicapai oleh Timnas Indonesia ketika diracik oleh Pelatih Sinyo Aliandoe dengan pemain di antaranya Kapten Team Hery Kiswanto pada PPD 1986,” ujarnya.

Meskipun bertanding di kandang lawan yang dikenal angker, Politisi Partai Golkar itu menilai bahwa Timnas Indonesia mampu tampil dengan percaya diri yang tinggi. Tak hanya itu, para pemain berhasil menunjukkan permainan yang berbeda dan menghibur, serta mampu mengatasi tekanan dari suporter lawan.

“Tentunya dengan kerendahan hati, bertanding di kandang macan Stadion My Dinh Vietnam yang dikenal angker, ternyata Timnas Indonesia tampil sangat percaya diri. Semoga level permainan ini terus bertahan sampai fase grup berakhir dan kita bisa lolos ke tahap berikutnya,” ucapnya.

Dengan demikian, Legislator Dapil Kalimantan Timur berharap melalui kemenangan ini, tidak hanya menjadi kebanggaan bagi Timnas Indonesia, tetapi juga menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Baginya, melalui prestasi gemilang ini dapat terus membangkitkan kebanggaan dan semangat nasionalisme di tengah masyarakat.

“Jalan masih terjal jangan berpuas diri, kita semua doakan selalu hasil terbaik buat Timnas kita. Kita selalu berikan dukungan terbaik untuk Timnas kita. IsnyaAllah pride (harga diri) Bangsa Indonesia selalu terjaga. Bravo sepakbola Indonesia,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Komisi XI: Pelaporan Dugaan Korupsi LPEI ke Kejaksaan Beri Efek Jera

Oleh

Fakta News
Komisi XI: Pelaporan Dugaan Korupsi LPEI ke Kejaksaan Beri Efek Jera
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi. Foto : DPR RI

Jakarta – Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi menilai pelaporan yang dilakukan Menteri Keuangan terkait kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) merupakan langkah yang tepat. Menurutnya, langkah ini untuk memberikan efek jera bagi praktik patgulipat di LPEI yang seolah terus terulang.

“Kami menilai langkah Menteri Keuangan, Sri Mulyani menunjukkan keseriusan pemerintah agar proses pembiayaan ekspor benar-benar bisa meningkatkan volume ekspor Indonesia, bukan sekadar praktek hengky pengky antara oknum pejabat LPEI dan pihak ketiga sehingga memicu fraud yang merugikan keuangan negara,” ujar Fathan dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Pada Senin (18/3/2024) lalu Sri Mulyani bertandang ke Kejaksaan Agung untuk melaporkan temuan tim Kemenkeu terkait indikasi adanya fraud dalam kredit yang dikucurkan oleh LPEI. Sejumlah debitur diduga melakukan tindak pidana korupsi yang diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp2,5 triliun. Ada empat perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Keempat perusahaan tersebut bergerak dalam usaha sawit, nikel, batu bara, dan perkapalan.

Fathan mengungkapkan dugaan korupsi di LPEI dengan berbagai modus ibarat kaset rusak yang terus berulang. Politisi Fraksi PKB ini menyebut pada 2022 Kejagung pernah menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI selama periode 2013-2019. Saat itu kerugian negara diperkirakan mencapai Rp2,6 triliun yang berasal dari kredit macet ke delapan grup usaha yang terdiri dari 27 perusahaan.

“BPK juga pernah melakukan pemeriksaan investigatif terkait kasus dugaan korupsi LPEI dan menemukan kerugian negara hingga puluhan miliar,” tambahnya.

Lebih lanjut, Fathan menyampaikan di antara modus yang paling sering terjadi adalah LPEI tidak menerapkan prinsip tata kelola yang baik saat mengucurkan kredit kepada calon debitur. LPEI seolah gampangan dalam menyalurkan kredit kepada pihak ketiga dan akibatnya terjadi kredit macet yang merugikan LPEI dan keuangan negara.

“Saat ditelusuri lebih dalam ternyata ada hengky pengky antara oknum LPEI dengan pengusaha atau eksportir sehingga penyaluran kredit tidak memenuhi unsur prudent,” ungkapnya.

Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan negara (BAKN) DPR RI ini pun mendukung upaya “bersih-bersih” sehingga LPEI kembali kepada khittah-nya. Menurutnya pembentukan LPEI awalnya untuk menciptakan ekosistem baik terhadap kegiatan ekspor produk-produk unggulan dalam negeri. Dengan LPEI, eksportir akan dibantu dari segi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi.

“Namun faktanya seringkali proses penyaluran pembiayaan ini dilakukan secara serampangan bahkan minim pengawasan saat kredit telah dikucurkan. Maka saat ini kami menilai LPEI ini direformasi agar bisa kembali ke tujuan awal bisa mendorong iklim ekspor yang baik bagi produk unggulan Indonesia baik dari sektor UMKM maupun korporasi,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Workshop Kepemimpinan, Sekjen DPR Tekankan Pembinaan Disiplin Interpersonal di Era Parlemen Modern

Oleh

Fakta News
Workshop Kepemimpinan, Sekjen DPR Tekankan Pembinaan Disiplin Interpersonal di Era Parlemen Modern
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar foto bersama usai membuka workshop dengan tema "Pendekatan Kepemimpinan Situasional Dalam Rangka Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Ruang Rapat KK II, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto : DPR RI

Jakarta – Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI melalui Bagian Manajemen Kinerja dan Informasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dibawah Biro Sumber Daya Manusia Aparatur (SDMA) secara resmi menggelar kegiatan workshop dengan tema “Pendekatan Kepemimpinan Situasional Dalam Rangka Peningkatan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS)” di Ruang Rapat KK II, Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (27/3/2024).

Dalam acara yang dihadiri segenap Pejabat JPT Madya, JPT Pratama, Administrator dan Pengawas itu, Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyatakan disiplin merupakan pondasi utama dalam menjaga produktivitas sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021. Indra menekankan disiplin tidak hanya soal penjatuhan hukuman tapi juga pembinaan disiplin secara interpersonal.

“Kewenangan pemimpin dalam penegakan disiplin dimulai dari pemeriksaan hingga penjatuhan hukuman disiplin. Namun tidak semua pemimpin atau pejabat berwenang mampu melaksanakan penegakan disiplin dengan baik dan benar, karena penegakan disiplin bukan hanya terkait hukum pelanggaran disiplin tetapi juga pembinaan disiplin secara interpersonal,” ujar Indra saat pidato pembukaan.

Terlebih, di lingkup kerja yang kompleks serta dinamis seperti halnya di Setjen DPR RI, memerlukan adanya pembinaan disiplin secara khusus di tengah gagasan menuju Parlemen Modern dengan Work From Anywhere (WFA) yang mulai dikenal sejak era pandemi Covid.

Terkait hal itu, Indra mengungkapkan Setjen DPR RI menghadirkan solusi adanya berbagai gagasan perkantoran modern yang sedang terus dibangun di Kompleks Parlemen dalam mengakomodir WFA. Diantaranya mulai dari Kantin Demokrasi dengan fasilitas Wi-Fi hingga kedepannya konsep Ecopark di kawasan Taman Jantung Sehat yang desainnya kini masih dalam tahap menunggu finalisasi.

Kesemuanya itu, ungkap Indra, dalam mewujudkan PNS di lingkungan Setjen DPR RI yang berintegritas bermoral, profesional akuntabel sehingga dapat mendorong PNS untuk lebih produktif untuk menunjang karirnya di era Parlemen Modern yang akan akan terus diwujudkan kedepannya.

Dengan demikian, diharapkan skor indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) Setjen DPR RI kedepannya dapat semakin meningkat secara  maksimal. Apalagi, ungkap Indra, SPI nantinya juga berkaitan dengan secara keseluruhan Reformasi Birokrasi (RB) yang akan terus dievaluasi setiap tahunnya.

Turut hadir segenap pejabat tinggi Setjen DPR RI antara lain Deputi Bidang Administrasi Sumariyandono, Pelaksana Harian (Plh) Inspektur Utama Furcony Putri Syakura dan Kepala Biro SDMA Asep Ahmad Saefuloh. Hadir pula narasumber dari Direktur Perundang-Undangan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Julia Leli Kurniati dan Analis Hukum Ahli Madya BKN Muhammad Syafiq.

Baca Selengkapnya