Connect with us

New Normal, #AdaptasiKebiasaanBaru, dan Strategi Kebudayaan

Penulis:
Satrio Arismunandar
Redaktur Senior Majalah Industri Pertahanan ARMORY

Pelaksanaan car free day (CFD) di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin, DKI Jakarta, yang kembali digelar pada Minggu (21/6/2020), menimbulkan reaksi keprihatinan. Hal ini karena kerumunan warga yang hadir di acara CFD terlihat begitu ramai dan menumpuk. Dengan demikian, warga di acara CFD secara efektif mengabaikan protokol jaga jarak (physical distancing) terkait Covid-19.

Padahal pandemi Covid-19 belum berakhir. Memang, ada pelonggaran pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam rangka menyambut kondisi New Normal. PSBB dimaksudkan untuk menghidupkan kembali ekonomi secara bertahap, agar warga yang sulit mencari nafkah sehari-hari akibat terkungkung aturan ketat PSBB, bisa mulai kembali beraktivitas.

Tetapi, ini bukan berarti ancaman penularan virus sudah selesai. New Normal harus diartikan sebagai situasi-kondisi baru, di mana pengertian “Normal” mendapat makna baru. Tindakan kehati-hatian dan disiplin, dalam perilaku pencegahan penularan virus, tetap harus diterapkan di era New Normal.

Namun, karena istilah “New Normal” ini terkesan kurang jelas dan ditafsirkan secara beragam oleh warga, Pemerintah lalu meluncurkan tagar baru dengan pesan yang lebih jelas dan gamblang: #AdaptasiKebiasaanBaru. Artinya, di era New Normal, warga secara bertahap boleh mulai kembali beraktivitas, tetapi tak bisa tidak harus menyesuaikan diri dan mengadopsi kebiasaan baru.

Kebiasaan baru itu, misalnya: rajin mencuci tangan dengan sabun, selalu mengenakan masker, mengambil jarak fisik, menghindari kerumunan dan sentuhan langsung dengan orang sekitar, dan sebagainya.

Menurut Mendagri Tito Karnavian, pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah banyak menyosialisasikan protokol kesehatan untuk masa New Normal yang produktif dan aman. Hanya saja, perlu terus ada sosialisasi untuk mengantisipasi anggapan masyarakat, yang mengira pandemi Covid-19 sudah berakhir. Sebab, adaptasi terhadap kebiasaan baru tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

Disiplin dan Protokol Kesehatan

Pemerintah boleh saja punya program-program bagus tentang bagaimana tahapan-tahapan memasuki era New Normal, yang kini dikonkretkan dengan tagar #AdaptasiKebiasaanBaru. Namun, selama masyarakat kita tidak mau mematuhi protokol standar pencegahan Covid-19, tampaknya semua pengaturan itu akan sia-sia saja.

Kita melihat penyebaran Covid-19 belum menunjukkan penurunan kurva yang signifikan. Tetapi apa mau dikata, kebutuhan ekonomi juga tidak bisa menunggu. Banyak warga yang nafkah hidupnya tergantung dari kerja harian. Jika disuruh terus diam di rumah tanpa kejelasan, dan tanpa ada dukungan dari sumber luar, jelas tidak mungkin.

Maka, pilihan yang sudah diputuskan adalah secara bertahap menghidupkan kembali aktivitas ekonomi warga, seraya mempertahankan protokol kesehatan yang ketat untuk mencegah/membatasi/mengurangi penyebaran Covid-19.

Persoalannya, bagaimana menjaga atau memastikan agar warga betul-betul berdisiplin, melaksanakan protokol kesehatan tersebut? Aparat tidak mungkin dikerahkan terus-menerus di semua tempat, pada semua keadaan, dan setiap waktu untuk memastikan penegakan aturan itu. Jumlah aparat terbatas dan sumber dayanya juga tidak memungkinkan.

Merespons hal itu, dalam tulisan ini, penulis mengusulkan pendekatan budaya sebagai caranya. Aturan hukum semata, seberapapun kerasnya, tidak akan memadai untuk menegakkan protokol Covid-19 dan #AdaptasiKebiasaanBaru. Dalam pendekatan budaya ini, kearifan lokal (local wisdom) termasuk unsur yang perlu didayagunakan, untuk mendukung #AdaptasiKebiasaanBaru.

Strategi Kebudayaan

Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendekatan budaya tersebut? Kebudayaan adalah kategori yang bisa mencakup begitu banyak hal. Ada sebanyak 176 definisi mengenai “kebudayaan,” yang muncul dalam berbagai tulisan, yang pernah dikumpulkan oleh pakar antropologi budaya A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn (1952).

Menurut definisi awal yang sangat berpengaruh dari Sir Edward Taylor (1871), kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang, sebagai anggota masyarakat.
Maka, kebudayaan terdiri dari seluruh pola-pola yang dipelajari –mulai dari bertindak, merasakan, dan berpikir—yang dialami bersama secara sosial oleh para anggota masyarakat tertentu. Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial, dan pada gilirannya, bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan, yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya.

Definisi Taylor ini kemudian dianggap terlalu luas. Koentjaraningrat (2003) menyarankan, agar kebudayaan dibeda-bedakan sesuai dengan empat wujudnya. Jika disimbolkan sebagai empat lingkaran konsentris, maka wujud kebudayaan –mulai dari tampilan luar yang paling mudah dilihat, ke pusat atau inti yang paling dalam– berturut-turut adalah sebagai berikut: (1) artifacts, atau benda-benda fisik; (2) sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; (3) sistem gagasan; (4) sistem gagasan yang ideologis.

Jika berbagai definisi tentang hakikat kebudayaan itu dikumpulkan, pastilah tak akan ada habis-habisnya. Van Peursen menggunakan pendekatan yang berbeda. Ia menyarankan, tidak perlu terpaku pada definisi-definisi teoretis yang sudah begitu banyak itu. Namun, kata Van Peursen, akan lebih produktif jika pertanyaan yang diajukan adalah apa yang dapat kita perbuat dengan kebudayaan.
Filsafat kebudayaan modern tidak menyibukkan diri dengan konsep-konsep teoretis, tetapi meninjau kebudayaan terutama dari sudut policy tertentu. Yaitu, sebagai suatu strategi kebudayaan atau masterplan bagi masa depan.

Manusia modern hendaknya disadarkan tentang kebudayaannya. Hal ini berarti ia secara aktif diharapkan turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaan yang manusiawi.

Sebagai Kata Kerja

Pergeseran kedua terjadi dalam isi konsep kebudayaan. Kini kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku atau statis. Kalau dulu kata “kebudayaan” diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih sebagai kata kerja.

Kebudayaan bukan lagi pertama-tama sebuah koleksi barang-barang kebudayaan –seperti: buku, gedung, museum, candi, dan seterusnya. Namun, kebudayaan kini terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia. Seperti: cara mendidik anak, sidang-sidang parlemen, perilaku birokrasi, dan –dalam kasus kita saat ini—implementasi #AdaptasiKebiasaanBaru.

Dalam pengertian kebudayaan juga termasuk tradisi, dan “tradisi’ dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma, adat istiadat, kaidah. Namun, tradisi itu bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah.

Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya.
Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu: ia menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang ada.

Oleh Van Peursen dengan strategi kebudayaannya, konsep kebudayaan telah diperluas dan didinamisasikan. Kebudayaan kini tidak dianggap bersangkutan dengan sekelompok kecil ahli saja, tapi setiap orang ingin mencoba mencari atau menangani kekuatan-kekuatan yang turut membentuk kebudayaan. Setiap orang ini termasuk Anda dan saya.

Implikasi yang Luas

Maka kalau kita bicara tentang strategi kebudayaan, dalam upaya menegakkan perilaku disiplin terhadap protokol Covid-19, itu implikasinya sangat luas. Pengertian kita tentang kebudayaan harus lebih dari sekadar pemahaman populer biasa. Kebudayaan bukanlah sekadar baju batik, tari-tarian daerah, candi, keris, dan sebagainya, yang sering dijadikan komoditi pariwisata.

Sekadar contoh, tugas Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI adalah menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lainnya.

Pengertian “…dan kebudayaan lainnya” itu sebetulnya sebuah kerja besar. Misalnya, perilaku korupsi yang akut di berbagai bidang dan tingkatan saat ini –mengutip Bung Hatta– sudah “membudaya.” Maka, cara melawan perilaku korupsi tidak cukup dengan sekadar memperberat ancaman hukuman, tetapi juga dengan strategi kebudayaan. Karena budaya itu diciptakan oleh manusia, maka manusia pula yang bisa mengubahnya dengan membentuk budaya baru.

Kembali ke topik #AdaptasiKebiasaanBaru, perilaku warga yang sesuai dengan protokol kesehatan di era New Normal ini harus dijadikan bagian dari strategi kebudayaan. Sedangkan, aturan hukum, pendidikan, sosialisasi nilai-nilai, komunikasi publik, kearifan lokal, dan sebagainya, semua itu merupakan unsur-unsur yang harus dibenahi, dikelola, dan ditingkatkan dalam kerangka besar strategi kebudayaan.

Dalam konteks ini, bukan cuma Ditjen Kebudayaan yang harus berperan, tetapi juga semua kita. Semua kalangan bisa dilibatkan dalam kerja besar ini: seniman, penulis, wartawan, politisi, artis, pendidik, pengusaha, buruh, mahasiswa, aktivis LSM, ulama, rohaniwan, tokoh adat, dan sebagainya. Masing-masing berperan sesuai dengan posisi dan kapasitasnya.

Strategi kebudayaan, untuk bisa diimplementasikan, tentu saja harus dirumuskan dalam berbagai langkah aksi implementatif yang lebih rinci dan konkret. Tetapi itu sudah di luar kapasitas artikel pendek ini untuk menjabarkannya. Ini akan menjadi kerja kita bersama, bukan cuma kerja pemerintah. Sebuah kerja besar dalam kerangka strategi kebudayaan.

 

Satrio Arismunandar

Penulis adalah mantan jurnalis Harian Kompas, Executive Producer Trans TV, dan alumnus S3 Filsafat Universitas Indonesia.

Saat ini Redaktur Senior di Majalah Industri Pertahanan ARMORY.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya