Connect with us
Konflik Rohingya

Bersikap Bijak untuk Memahami Akar Masalah Konflik Rohingya

Saat ini banyak yang bertanya mengenai peristiwa konflik Rohingnya di Myanmar. Sebenarnya apa yang terjadi di sana?

Beberapa hari ini berita soal Rohingnya sangat mengemuka di berita Regional dan Internasional, tapi lebih ramai lagi di berita nasional dan telah berdampak banyaknya pertanyaan teman-teman di tanah air tentang Myanmar dan Rohingnya.

Untuk itu saya sebagai orang yang kini tinggal di Yangon, Myanmar, sangat ingin berbagi sudut pandang dan beberapa fakta peristiwa terkait isu Rohingnya tersebut. Saya pernah secara langsung mengunjungi tempat kejadian pada peristiwa 9 Oktober 2016, termasuk berkunjung ke pemukiman etnis Rohingnya, untuk melakukan wawancana bersama beberapa duta besar dan kepala perwakilan PBB di Myanmar. Tulisan ini merupakan highlight saja, dan akan saya susun juga pembahasan per-topik selanjutnya sebagai bagian penjelasan dari tulisan pertama ini.

Sejak tahun lalu, sebenarnya konflik Rohingnya di Rakhine State atau negara bagian Rakhine, sudah mengemuka dan menjadi perhatian dunia internasional, ASEAN dan negara-negara Islam (OKI). Bahkan, sejak awal tahun ini, Pemerintah Myanmar telah membentuk Advisory Commission yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Anan. Bahkan beberapa tahun sebelumnya (2012), juga sudah ada persoalan tentang Rohingnya sehingga Indonesia kebanjiran pengungsinya.

Isu Rohingnya, memang memang persoalan yang menahun di Myanmar yang belum terselesaikan hingga saat ini, karena masalahnya sangat komplek dan tidak sesederhana yang dibayangkan masyarakat di tanah air. Sejak persoalan kewarganegaraan dari etnis ini, tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam UU Kewarganegaraan Myanmar (Burma), Etnis Rohingnya juga terjerembab pada konflik horizontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di Rakhine State.

Konflik tersebut, kemudian memuncak pada saat terjadinya kasus pemerkosaan dan pembunuhan antar dua kelompok etnis tersebut pada tahun 2012. Bahkan dalam konflik itu, melibatkan tokoh agama. Padahal konflik itu, sebenarnya juga berakar pada soal social economy, poverty dan etnisitas.

Etnis Rohingnya ini, secara umum tidak seberuntung Etnis Bengali yang sudah hidup nyaman sebagai warga negara sejak jaman kolonial Inggris. Asal muasal wilayah mereka, ada yang menyebut sama dan berasal dari campuran Bangladesh dan Pakistan Timur. Namun jelasnya kedua etnis ini bukan penduduk asli wilayah Myanmar (Burma).

Etnis Bengali, telah secara bebas hidup secara social ekonomi dan bebas menganut agama, dan bahkan banyak yang menganut agama Islam. Yang beragama Islam, mereka bebas melakukan peribadatan dan banyak masjid yang didirikan di kota besar di Myanmar. Sampai dengan Idul Adha kemarin saja, mereka masih menjalankan ibadah Shalat Ied dan berqurban tanpa ada gangguan dari pemerintah maupun masyarakat yang beragama lain.

Secara umum, konflik etnik di Myanmar tidak hanya terjadi di Rakhine State saja. Myanmar masih menyimpan konflik antar etnis di beberapa State (di 7 Negara Bagian). Bagi kita bangsa Indonesia, yang telah mendahului proses demokratisasi dan penataan kelembagaan negara, serta desentralisasi serta pengedepanan supremasi hukum, akan sedikit terheran jika mellihat struktur kenegaraan dan persoalan pemerintahan di Myanmar. Sebagai contoh, kita tidak biasa membayangkan bahwa di Myanmar ada tentara lokal atau tentara etnis di negara bagiannya, di samping tentara nasionalnya.

Contoh lainnya, bahwa sumber daya manusia (SDM) Kepolisian termasuk militer Myanmar masih belum mempunyai kapasitas yang memadai baik dari pengetahuan, pengalaman, perlengkapan operasional untuk menghadapi dan menangani setiap konflik antar etnis tersebut. Sehingga untuk menghadapi situasi darurat di Myanmar, tentara nasional (Tatmadaw) lah yang mengambil peran (kendali) pada setiap penanganan konflik di beberapa bagian di negaranya, sementara polisi berada langsung di bawah komando tentara.

Seperti kita ketahui dan kita alami juga, di negara kita dulu, kalau tentara yang turun artinya yang dilakukan adalah upaya represif yang kadang mengabaikan dampak sosial yang diakibatkannya. Bukan semata mata tindakan penegakan hukum, meskipun dalam beberapa keterangan resmi ada juga upaya penegakan hukum bagi kelompok yang melawan apabila tertangkap.

Pertanyaan yang sering muncul adalah, kenapa justru ketika Myanmar memasuki era demokratisasi, peristiwa-peristiwa penanganan konflik dengan pendekatan militeristik masih dilakukan. Padahal Daw Aung San Suu Kyi (DASSK) sebagai pemimpin de Facto Myanmar saat ini, adalah penerima nobel perdamaian.

Saya ingin menjelaskan terlebih dahulu latar belakang politiknya. Pasca kemenangan pemilu yang kedua di Myanmar, pemerintahan militer Myanmar akhirnya menyetujui proses demokratisasi dan memberikan kekuasaan kepada pemenang pemilu pada tahun 2015. DASSK merupakan pemimpin yang dicintai rakyat Myanmar, menang 80 persen lebih dalam pemilu, namun dia terhambat menjadi presiden karena status kewarganegaraan anaknya yang berkewarganegaraan Inggris. Infra dan supra struktur politik di Myanmar, akhirnya bersepakat untuk menempatkan DASSK sebagai State Counsellor, struktur baru sebagai pemimpin de facto yang berkuasa di samping struktur formal yang menurut konstitusi.

Proses demokratisasi Myanmar, sudah dibuka dan dimulai namun proses transisi nya belum bisa terlaksana. Karena itulah, pemenang pemilu 2015, tidak bisa melakukan reformasi yang signifikan sebab peran militer dalam pemerintahan masih terasa kuat, militer masih menjadi bagian dari parlemen dan memiliki hak veto.

Sikap militer ini, sebuah sikap yang sangat istimewa untuk memveto setiap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakan “pengendali real” keamanan negara. Sementara DASSK sebagai pemimpin pemerintahan sipil, belum punya instrumen aparatur keamanan yang kompeten sebagaimana di negara-negara demokratis lainnya. Reformasi keamanan di Myanmar, jelas belum berjalan.

Ada satu nama penting dalam politik Myanmar yang tidak terlalu banyak muncul, namun dia merupakan tokoh penting, yang masih memiliki pengaruh kuat dalam manajemen pemerintahan sipil Myanmar saat ini, sehingga Parlemen perlu untuk bernegosiasi apabila hendak mengambil suatu kebijakan. Tokoh ini adalah tokoh kunci di Militer Myanmar saat ini yakni Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Senior Jenderal Min Aung Hlaing. Sebagai pimpinan tertinggi unsur militer dan memiliki suara mutlak di parlemen, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh State concellor terutama dalam hal penanganan masalah gangguan keamanan.

Jenderal Ming Aung Hlaing, adalah tokoh militer yang tentunya memiliki kedekatan dengan pemerintah lama, dan saat ini sangat berperan untuk menjalankan pengaruh militer dalam politik nasional Myanmar. Dialah salah satu tokoh penting yang membuat poros Myanmar – China, di mana pada saat pemerintahan terdahulu, sebelum masuk dalam keanggotaan ASEAN, Myanmar adalah negara proxy RRC, dan China juga banyak memberi bantuan langsung kepada Myanmar. Sejarah ini, tidak bisa dinegosiasikan dalam konstelasi politik nasional maupun regional Myanmar.

Dari fakta ini, ada beberapa analisis yang signifikan kenapa isu Rohingnya menjadi membesar. Alasannya, karena terdapat permasalahan bahwa konflik ini ditangani oleh Militer yang akhirnya seperti tanpa kendali dan tidak sesuai dengan standar HAM dan SOP Penanganan Konflik yang jelas.

Lebih lanjut dalam konteks isu konflik Rohingya yang terjadi pada Agustus 2017 ini, pada dasarnya kejadiannya tidak berdiri sendiri. Runtutan peristiwa sejak akhir 2016, memberi warna hingga peristiwa terakhir.

Penjelasannya seperti ini. Pasca konflik etnis 2012, Etnis Rohingnya hidup dalam kamp-kamp di beberapa wilayah di Negara Bagian Rakhine, mereka hidup dalam pengawasan aparatur wilayah, meraka memiliki masalah kemiskinan dan terhambat pembangunannya karena status kewarganegaraanya yang tidak diakui. Di tengah situasi tersebut muncul kelompok solidaritas seperti Rohingnya Solidarity Organization (RSO), yang kemudian saat ini berubah bentuk menjadi Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA) yang sipimpin oleh Atta Ulla atau Abu Amar yang memiliki ibu Rohingnya dan bapak Pakistan anggota Taliban.

Kelompok-kelompok ini, melakukan gerakan radikal dengan melakukan serangkaian serangan baik kepada aparatur keamanan maupun warga lainnya dan mulai bergulir secara simultan pada akhir 2016 lalu. Pada akhir tahun 2016, mereka menyerang pos-pos polisi dan membunuh beberapa polisi, kemudian dibalas dengan serangan oleh aparat keamanan (polisi dan tentara).

Namun apa daya tentara dan polisi itu, ternyata kalah banyak dan terkepung dan terjadi kontak senjata dan menewaskan puluhan aparat. Pasca kejadian ini, aparatur keamanan Myanmar menilai situasi sudah tidak kondusif, hingga mereka melakukan operasi khusus dan berdampak pada jatuhnya korban warga Rohingya, karena mereka menyerang beberapa kampung yang dijadikan tameng oleh kelompok Radikal. Jumlah korban masyarakat sangat banyak, dan terindikasi juga terjadi pelanggaran HAM oleh tentara dan polisi Myanmar pada saat operasi militer tersebut. Dari kejadian itu, berdampak terjadinya eksodus pengungsi ke Bangladesh utamanya.

Peristiwa di awal Oktober 2016 tersebut, mengekskalasi dan Pemerintah Myanmar mengambil sikap untuk membuat tim pencari fakta dan bahkan membentuk Komisi Penasehat yang dipimpin oleh Kofi Anan. DASSK seperti ingin netral, tak ingin menyalahkan militer namun juga tidak mau kehilangan muka karena terjadi pelanggaran dalam pemerintahan demokrasi yang tengah dipimpinnya.

Sementara PBB secara terpisah telah memberikan perhatian terhadap peristiwa ini, dan telah membentuk tim pencari fakta. Namun hasil tim pencari fakta PBB secara tegas ditolak, karena mereka melakukan investigasi di kamp pengungsi yang ada di Bangladesh, hingga akhirnya Tim itu tidak diberikan visa untuk masuk Myanmar.

Penolakan hasil Tim PBB oleh pemerintah Myanmar atas saran dari National Security Advisor (NSA) tersebut, diamini dan diikuti oleh sikap Panglima Militer Min Aung Hlaing dan juga oleh kelompok masyarakat lainnya, tidak terkecuali dari kelompok agama. Bahkan mereka mendukung upaya, bahwa warga Rohingnya agar tetap tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Padahal salah satu saran dari Kofi Anan adalah, untuk mengurangi dan meredam konflik mereka perlu diberi status kewarganegaraan. Hingga kini perdebatan solusi pemberian kewarganegaraan ini terus bergulir, solusi hukum, social dan keamanan masih terus menjadi bahasan di pemerintah Myanmar.

Bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah mensinyalir, bahwa eskalasi konflik terjadi karena isu Rohingnya telah ditunggangi kelompok teroris, sebab ada fakta bahwa penyerangan kepada aparatur keamanan Myanmar dipimpin oleh ekstrimis yang ada di Afghanistan, dan telah terjadi pergeseran isu internasional, di mana konflik etnis ini telah berkembang menjadi konflik agama.

Aparatur Keamanan Myanmar mengidentifikasi, ada 10 organisasi yang berafiliasi dengan Mujahidin dan ISIS jaringan Andaman Sea yang terkait dalam penyerangan pos-pos aparatur keamanan Myanmar. Bahkan ada fakta, bahwa sesama muslim pun jadi sasaran pembunuhan.

Pasca kegagalan PBB mencari fakta dalam peristiwa Rohingnya di akhir tahun 2016, kemudian PBB menunjuk Ketua Tim Pencari Fakta yang baru, yakni telah dilakukan pembicraan intensif dengan Dewan HAM PBB untuk menunjuk Marzuki Darusman. Nah belum lagi upaya itu dilakukan, meletus peristiwa baru.

Dalam konstelasi yang demikian itu, terjadi antiklimaks pencarian fakta dan terjadi blunder baru yang kemudian terjadi pada akhir Juli 2017. Dan yang fantastis di bulan Agustus 2017, terjadi serangan secara sistematis pada lebih dari 10 pos polisi dan 1 markas tentara di wilayah Rakhine State Bagian barat daya. Serta lagi-lagi jatuh korban terlebih dahulu di pihak aparatur keamanan, kemudian diikuti dengan operasi militer yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban baik dari aparat, penduduk Myanmar maupun kelompok etnis Myanmar. Dampaknya, terjadi arus pengungsian lagi ke negara terdekat, maupun pengungsian masyarakat lokal yang menghindarkan diri dari daerah konflik.

Myanmar saat ini masih menggunakan pendekatan kedaulatan negara dalam menyelesaikan konflik, sementara pendekatan HAM dan perspektif keamanan regional belum menjadi perhatian penuh. Saya melihat ini, juga disebabkan oleh kondisi politik domestik Myanmar yang belum stabil dan ajeg untuk menjalankan seluruh prinsip-prinsip demokrasi. Peristiwa ini, telah menggugah kemanusiaan kita semua namun perlu pertimbangan yang bijaksana dan lebih cermat dalam mengambil jalan sikap kita, sehingga tidak gegabah memperlebar isu dan menimbulkan konflik baru.

Di tengah situasi yang demikian itu, banyak pihak memfaatkan isu Rohingnya sesuai dengan kepentingannya. Indonesia sejak lama telah melakukan pendekatan kepada pemerintah Myanmar dan melakukan diplomasi non-megaphone dalam menyikapi isu Rohingnya. Jalan yang diambil, adalah secara simultan memberikan bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada masyarakat Rakhine. Karena sangat disadari, di lapangan persoalan kemiskinan menjadi persoalan inti. Jalan ini merupakan kompromi dari pilihan politik luar negeri Indonesia.

Tidak hanya di situ saja, bahwa bantuan kemanusiaan Indonesia yang dikordinasikan dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia-Myanmar, telah melibatkan stakeholders yang lebih luas, yakni tidak hanya pemerintah saja namun juga organisasi keagamaan dan kemanusiaan, ada Mer-C, Dompet Duafa, Muhamadiyah, NU, DarutTauhid, PMI, Walubi, PKPU dkk.

Secara pro-aktif, Indonesia juga melakukan double track diplomasi, yakni tidak hanya mengirimkan bantuan kemanusiaan, namun juga melakukan appeal (tekanan) agar pemerintah Myanmar sebagai kawan baik bisa mengambil langkah yang tepat dan tidak meruncingkan keadaan, agar terjaga stabilitas keamanan regional.

Berbeda dengan Negara tetangga kita Malaysia, Malaysia memang telah mengambil sikap untuk membawa persoalan ini secara organizational ke OKI, dan secara eksplisit menyatakan kecaman kepada Myanmar. Namun sangat disayangkan, Malaysia menggandeng isu Islam dalam konflik Rohingnya ini. Myanmar balik menuduh Perdana Menteri Malaysia menggunakan isu Islam, untuk menaikan Grade Pemerintahannya yang tengah terpuruk di dalam negeri.

Saya jadi tergelitik juga, kalau di tanah air justru isu Rohingnya digeser jadi sentimen keagamaan (Islam) yang diusung oleh beberapa organisasi-organisasi yang tidak memahami secara utuh apa yang sebenarnya terjadi disana. Dan ada yang meminta pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Myanmar. Pertanyaannya, “Apakah dengan pemutusan hubungan kita bisa menyampaikan pesan masyarakat Indonesia atau menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada kelompok rohingnya maupun masyarakat yang membutuhkan disana?”.

Setiap orang punya pendapat dan cara menyampaikan pendapat, tapi apabila kita secara realistis mengedepankan fakta dan keadilan, maka langkah atau upaya yang akan kita lakukan benar-benar menjadi efektif. Isu Rohingnya, adalah isu kemanusiaan. Indonesia, PBB, OKI ASEAN telah turun melihat persoalan ini secara komprehensif, baiknya kita tak ikut-ikutan memperuncing keadaan dengan dasar penilaian yang cuma berdasarkan berita-berita yang tidak terklarifikasi, dan belum tentu kebenarannya.

Prinsipnya, kita bersepakat agar peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi perikemanusiaan ini agar segera dihentikan oleh seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar. Kecaman kita, tentunya tak hanya kepada pemerintah saja, namun juga kepada kelompok Rohingnya supaya tidak melakukan tindakan yang anarkis juga.

Berilanlah kesempatan kepada pemerintah Myanmar, untuk mempertimbangkan dan melaksanakan berbagai rekomendasi dari utusan pemerintah Indonesia sebagai negara sahabat, tanpa kita berprasangka buruk terlebih dahulu agar suara kita, pesan kita, dan bantuan kemanusiaan kita dapat didengarkan dan dapat diterima daripada opsi pemutusan hubungan diplomasi, yang merupakan langkah diplomasi drastis apabila ada pelanggaran permasalahan prinsip “antar dua negara”.

Demikian tulisan ini disampaikan untuk mengajak kita kembali kepada sifat bangsa kita yang santun, bijaksana, peduli dengan ketertiban dunia dengan menghormati hak kedaulatan Myanmar.

Salam damai untuk kita semua.

Ito Sumardi

Dubes RI untuk Myanmar

 

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

DPR RI Minta Jepang Ajarkan ‘Smart Farming’ kepada Petani Muda Indonesia

Oleh

Fakta News
DPR RI Minta Jepang Ajarkan ‘Smart Farming’ kepada Petani Muda Indonesia
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel, saat menerima delegasi dari partai berkuasa di Jepang, Liberal Democratic Party (LDP), di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Jumat (3/5/2024). Foto: DPR RI

Jakarta – DPR RI, melalui Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan (Korinbang) Rachmat Gobel, meminta Jepang untuk menerima petani muda Indonesia untuk belajar bertani dengan metode smart farming di negara tersebut. Hal itu ia sampaikan saat menerima delegasi dari partai berkuasa di Jepang, Liberal Democratic Party (LDP), di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Jumat (3/5/2024).

“Bukan untuk bekerja dan juga bukan untuk sekolah, tapi belajar praktik bertani yang baik dan berkualitas serta smart farming kepada petani muda Indonesia. Cukup satu tahun saja,” kata Gobel.

Gobel mengatakan, dunia sedangkan dihadapkan pada krisis pangan akibat perubahan iklim dan konflik geopolitik dunia. Perubahan iklim berdampak pada hadirnya cuaca panas yang tinggi atau curah hujan yang berlebihan dan tidak pasti. Sedangkan, konflik geopolitik berdampak pada kenaikan harga pupuk yang tinggi.

“Semua itu berakibat Indonesia melakukan impor beras dengan jumlah yang sangat besar. Padahal Indonesia adalah negara agraris, memiliki lahan yang luas, tanah yang subur, dan jumlah petani yang besar. Namun faktanya Indonesia harus impor beras dari berbagai negara seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, India, dan Cina,” jelas Politisi Fraksi Partai NasDem itu.

Di sisi lain, kata Gobel, Jepang adalah negara yang memiliki keunggulan teknologi sehingga bisa menghasilkan produktivitas pertanian yang besar dan kemampuan menghadapi perubahan iklim. Selain itu, katanya, produk pertanian Jepang dikenal dengan cita rasa yang lezat dan memiliki harga yang bagus. Ia juga meminta Jepang mengajarkan pembuatan pupuk organik dan smart farming. Teknologi penggilingan beras Jepang, katanya, juga menghasilkan beras yang berkualitas.

Walaupun sudah melakukan impor beras dengan jumlah sangat besar, kata Gobel, secara ironis harga beras di Indonesia tetap tinggi.

“Harga beras premium di Indonesia mendekati harga beras di Jepang. Padahal kualitasnya sangat berbeda. Tentu ini memprihatinkan,” kata pria yang pernah ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Utusan Khusus untuk Jepang tersebut.

Selain itu, katanya, karena jumlah petani di Indonesia sangat besar maka membangun pertanian akan secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.

“Jumlah penduduk Indonesia juga sangat besar. Jadi memecahkan masalah kebutuhan pokok ini akan sangat fundamental bagi kemajuan dan stabilitas Indonesia. Untuk itu, saya berharap Jepang dan Indonesia bisa meningkatkan kerja sama yang lebih erat di bidang pertanian ini,” jelasnya.

Selain itu, Gobel juga menyampaikan tentang pentingnya Jepang membagi teknologinya dalam pengolahan air bersih. Hingga saat ini, katanya, masalah penyediaan air bersih yang sehat masih merupakan tantangan besar bagi Indonesia.

“Air bersih higienis sangat penting dalam mengatasi stunting dan penyakit kulit. Dua hal ini masih merupakan problem mendasar bagi masyarakat lapis bawah Indonesia dan bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Jepang memiliki kemampuan dan teknologi pengolahan air bersih yang sehat,” katanya.

Jika masalah pertanian dan penyediaan air bersih bisa diatasi Indonesia, kata Gobel, maka ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih baik lagi. “Ini tentu saja juga akan baik bagi ekonomi kawasan di Asia Tenggara dan akan memiliki dampak yang baik pula bagi ekonomi Jepang. Jadi ini kerja sama yang sifatnya saling menguntungkan,” katanya.

Adapun Delegasi Jepang itu dipimpin oleh Ketua Badan Riset Kebijakan LDP, Tokai Kisaburo. Sedangkan anggota delegasinya antara lain Ketua Harian Badan Riset Kebijakan LDP Shibayama Masahito dan Kepala Sekretariat Badan Riset Kebijakan LDP Nakai Toyoron. Hadir pula Wakil Dirjen untuk urusan Asia Tenggara dan Asia Barat Daya Kementerian Luar Negeri Jepang Hayashi Makoto serta Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yasushi Masahi.

Baca Selengkapnya

BERITA

Tindakan Penyimpangan Turis Nakal di Bali Harus Ditangani secara Bijaksana

Oleh

Fakta News
Tindakan Penyimpangan Turis Nakal di Bali Harus Ditangani secara Bijaksana
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta dalam foto bersama usai mengikuti pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI di Denpasar, Bali. Foto: DPR RI

Denpasar – Tim Komisi III DPR RI melakukan Kunjungan Kerja Reses ke Denpasar, Bali. Salah satu yang disoroti Komisi III dalam Kunker Reses ini adalah banyaknya turis yang melakukan tindakan penyimpangan, seperti pelanggaran adat maupun tindakan semena-mena lainnya. Tak ayal,  tindakan tersebut kerap menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat setempat.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta berharap kepada Kapolda Bali Ida Bagus Kade Putra Narendra agar penanganan yang bijak terhadap pelanggaran, sambil tetap memperhatikan dan menghormati adat serta budaya Bali.

Oleh karena, menurut I Wayan, bahwa Bali memiliki cara tersendiri untuk menangani turis yang berulah. Sehingga, tidak bisa serta merta langsung dilakukan deportasi.

“Karena bagaimana pun orang Bali hidup dari sektor pariwisata. Sehingga sudah tidak asing dengan keberadaan turis. Namun, jangan juga sampai terlalu lemah karena turis yang berulah akan mengotori pariwisata-pariwisata yang ada, sehingga malah Bali bisa jatuh perekonomiannya. Jadi harus dicari solusi yang bijak,” ungkap I Wayan dalam pertemuan di Denpasar, Bali, Jumat (3/5/2024).

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu pun menyampaikan apresiasinya terhadap Kapolda Bali beserta segenap jajarannya karena telah berhasil menangani banyak kasus dengan pendekatan restorative justice. Selain itu, Polda Bali juga dinilai telah bekerja sama baik dengan lembaga imigrasi yang berada di bawah lingkup Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham Provinsi Bali dalam penanganan kasus penyimpangan turis.

“Saya juga tentunya mengapresiasi Kapolda Bali dan segenap jajaran atas kinerjanya. Bagaimana mereka mengawasi, serta menindak pelaporan-pelaporan yang ada rerlebih mengedepankan restorative justice sebagai jalan keluar penanganan kasus,” pungkasnya.

Menanggapi masukan tersebut, Kapolda Bali Ida Bagus Kade Putra Narendra juga sepakat dengan gagasan I Wayan Sudirta bahwa penanganan terhadap turis yang berulah harus dilakukan dengan hati-hati. Khususnya, mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor pariwisata dan kelestarian budaya Bali.

“Kami akan bekerja sama, jika diperlukan lintas sektoral untuk menemukan solusi yang menghormati adat, budaya, dan kepentingan ekonomi masyarakat Bali,” ujar Ida Bagus.

Kunjungan kerja reses ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju penanganan yang lebih baik terhadap turis nakal di Bali. Dengan pendekatan yang bijaksana dan kolaborasi lintas sektoral antara Kapolda Bali, institusi terkait, serta pemerintah daerah, diharapkan akan tercipta lingkungan pariwisata yang lebih aman, nyaman, dan berkelanjutan bagi wisatawan dan masyarakat setempat.

Baca Selengkapnya

BERITA

Peredaran Narkoba Beralih ke Ranah Daring, Johan Budi Minta Perkuat BNNP

Oleh

Fakta News
Peredaran Narkoba Beralih ke Ranah Daring, Johan Budi Minta Perkuat BNNP
Anggota Komisi III DPR Johan Budi saat bertukar cenderamata usai Rapat Kerja Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) di Denpasar, Bali, Kamis (02/05/2024). Foto: DPR RI

Denpasar Komisi III DPR RI mengungkapkan kekhawatirannya terhadap meningkatnya modus operandi peredaran narkoba yang beralih ke ranah daring (online) melalui platform media sosial dengan menggunakan modus kamuflase. Pernyataan ini disampaikan Anggota Komisi III DPR Johan Budi dalam Rapat Kerja Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI dengan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) di Denpasar, Bali, Kamis (02/05/2024).

“Menarik sekali yang disampaikan BNN Provinsi Bali. Mereka menjelaskan adanya jual beli narkoba melalui online. Nah ini cukup mengagetkan buat saya, kok bisa narkoba ini diperjual belikan melalui online, hal ini terungkap ketika BNNP Bali menangkap tersangka di lapangan,” ungkapnya.

Dalam konteks ini, Johan Budi menekankan perlunya penguatan pada Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menghadapi perubahan modus operandi tersebut. Menurutnya, modus operandi peredaran narkoba akan selalu berubah-ubah. Untuk itu, perlu penguatan-penguatan kepada BNN agar lebih maksimal dalam memberantas peredaran narkoba ini. Selain itu, lanjutnya, kekurangan sumber daya manusia menjadi salah satu faktor, terutama di daerah, ada sebagian yang juga pegawainya atau penyidiknya cuma sedikit.

“Ini problem laten yang perlu segera diperbaiki. Saya sendiri ketika rapat dengan BNN di Komisi III mengusulkan, agar BNN ini diberi penguatan, termasuk penyediaan sumber daya manusia, infrastruktur yang ada di daerah, termasuk soal rehabilitasi,” pungkas Legislator Dapil Jatim VII ini.

Johan menambahkan, pusat rehabilitasi narkoba ini juga menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan restorative justice bagi para pengguna narkoba. Pengguna narkoba, tambahnya, di beberapa negara itu dikategorikan sebagai korban, bukan pelaku, bukan tersangka, sehingga pusat rehabilitasi menjadi penting. Jadi yang sebetulnya tersangka itu seharusnya pengedar dan bandar.

“Menurut saya untuk pengguna narkoba dapat diselesaikan melalui restorative justice, dengan mendapatkan kesempatan untuk dilakukan rehabilitasi medis ataupun sosial, tanpa harus menunggu putusan dari pengadilan,” tutup Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Johan berharap pertemuan Kunker Reses ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi berbagai pihak, termasuk pemerintah dan lembaga terkait. Selain itu juga untuk mengimplementasikan strategi yang lebih efektif dalam mengatasi peredaran narkoba yang semakin canggih dan menyebar melalui platform digital. Langkah-langkah preventif dan represif yang terintegrasi diharapkan dapat mengurangi dampak negatif peredaran narkoba di masyarakat.

Baca Selengkapnya