Connect with us

Jokowi Pangkas Harga BBM di 21 Daerah Ini

BBM Satu Harga Sentuh 10 Titik Pedalaman PapuaDok. Pertamina

Jakarta – Program kebijakan BBM Satu Harga terus digencarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal ini dicanangkan sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejak diluncurkan pada pertengahan tahun lalu, tercatat sudah 21 daerah pelosok yang bisa menikmati Program BBM Satu Harga ini.

Tak hanya pelosok, prioritas terluar juga menjadi kriteria tersendiri yang diutamakan. Misalnya di pedalaman Papua yang harga BBM-nya awalnya bisa mencapai Rp100 ribu. Dengan program kebijakan ini, sekarang harganya menjadi Rp6.450/liter untuk premium dan Rp5.150 untuk solar.

“Realisasi Program BBM Satu Harga sampai Semester-I 2017 ini, kita sudah membangun di 21 titik dan ini berlokasi di daerah-daerah terluar seperti di Pulau Morotai, Pulau Nias, dan Pulau Mentawai,” ujar Dirjen Migas Kementerian ESDM, Ego Syahrial, kemarin (14/8).

Adapun dari 21 daerah pelosok yang sudah ditetapkan, 10 di antaranya memang berada di Papua dan Papua Barat. Kesepuluh daerah yang harga BBM-nya sudah sama seperti di Pulau Jawa adalah Kabupaten Puncak, Yalimo, Ndunga, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Tolikara, Intan Jaya, Paniai, Pegunungan Arfak, dan Sorong Selatan.

Rencananya nanti akan dibangun 150 lembaga penyalur hingga 2019 sebagai pelaksanaan BBM Satu Harga, di mana 33 lokasi di antaranya berada di Papua dan Papua Barat.

Inilah 21 daerah yang sudah bisa menikmati BBM dengan harga terjangkau per Semester I-2017:

1. Kabupaten Puncak, Papua
SPBU Pertamina dengan nomor 86.98903 di Kampung Iwologo Distrik Ilaga. Harga BBM di daerah ini dulu Rp 50.000-100.000/liter, sekarang premium Rp 6.450/liter dan Solar Rp 5.150/liter

2. Kabupaten Yalimo, Papua
SPBU Pertamina dengan nomor 86.99509 di Jalan Elelim Kabupaten Yalimo. Dulu harga BBM di sini Rp 20.000-Rp 50.000/liter. Sekarang sama dengan daerah lainnya di Indonesia

3. Kabupaten Nduga, Papua
SPBU Pertamina bernomor 86.99511 di Jalan Rut I Distrik Kenyam. Dulu harga BBM di sini Rp 20.000-Rp 50.000/liter. Sekarang jadi murah seperti di Jawa.

4. Kabupaten Mamberamo Raya, Papua
SPBU Pertamina bernomor 86.99303 di Kelurahan Kasonaweja Mamberamo. Penduduk di daerah ini dulu harus membeli BBM dengan harga Rp 30.000-50.000/liter. Sekarang tidak lagi karena Pertamina sudah masuk.

5. Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua
Sejak 2016 lalu sudah ada SPBU Pertamina bernomor 86.99512 di Jalur 11 Kobakma. Berkat Program BBM Satu Harga, harga BBM yang dulu Rp 30.000-60.000/liter sudah jadi Rp 6.450/liter (Premium) dan Rp 5.150/liter (Solar).

6. Kabupaten Tolikara, Papua
SPBU 86.98513 dan 86.99511 telah dioperasikan Pertamina di Jalan Kantor Bupati Nomor 50 dan Jalan Igari Desa Karubaga, Kecamatan Wenam. Harga BBM di Dua SPBU ini turun dari sebelumnya Rp 20.000-Rp 50.000/liter.

7. Kabupaten Intan Jaya, Papua
Dulu harga BBM di sini Rp 30.000- Rp 60.000/liter. Sekarang sudah jadi Rp 6.450/liter untuk Premium dan Solar Rp 5.150/liter, berkat SPBU 86.98703 yang didirikan Pertamina di Kecamatan Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

8. Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat.
Harga BBM di daerah ini awalnya Rp 15.000- Rp 30.000/liter. Sekarang jadi sama dengan di Jawa karena ada SPBU Pertamina bernomor 86.98312 di Kecamatan Anggi, Pegunungan Arfak.

9. Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat
SPBU Pertamina bernomor 86.98412 berdiri di Kampung Hasik Jaya, Moswaren. Dulunya harga BBM di sini Rp 12.000-Rp15.000/liter. Sekarang premium Rp 6.450/liter dan solar Rp 5.150/liter.

10. Kabupaten Paniai, Papua
Harga BBM di Distrik Paniai Barat awalnya Rp 12.000/liter. Berkat hadirnya Pertamina di Obano Paniai Barat, sekarang harga BBM di sana sudah sama dengan Jawa.

11. Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara
Penduduk Kecamatan Krayan yang dulu harus membeli BBM dengan harga Rp 40.000/liter sekarang bisa memperoleh premium Rp 6.450/liter dan solar Rp 5.150/liter.

12. Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara
Tahun ini telah berdiri SPBU Pertamina di Pulau Batu, Nias Selatan, sehingga harga BBM turun dari Rp 9.000/liter menjadi Rp 6.450/liter untuk premium dan solar Rp 5.150/liter.

13. Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
Penduduk Siberut Selatan di Mentawai sekarang bisa berhemat, harga BBM di sana bukan lagi Rp 8.000/liter. Sekarang premium Rp 6.450/liter dan solar Rp 5.150/liter.

14. Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah
Jangankan di Papua, penduduk di Kepulauan Karimun Jawa saja kesulitan mendapatkan BBM sebelum ada program BBM Satu Harga. Dulu harga BBM di sana Rp 8.000/liter, sekarang sudah sama dengan wilayah lain di Jawa.

15. Pulau Raas, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur
Senasib dengan Karimun Jawa, penduduk Indonesia di Pulau Raas pun baru merasakan BBM dengan harga seperti di wilayah Jawa lainnya setelah 72 tahun Indonesia merdeka.

16. Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, NTB
Program BBM Satu Harga dijalankan di Tanjung Pengamas, sehingga penduduk di sana tak perlu lagi membeli harga BBM dengan harga Rp 8.000/liter.

17. Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, NTT
Harga BBM di Waingapu sebelum ada program BBM Satu Harga mencapai Rp 9.500/liter. Sekarang sama dengan di Jawa.

18. Wangi Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara
Dulu penduduk Wangi Wangi membeli BBM dengan harga Rp 8.000/liter. Kini tidak lagi, solar hanya Rp 5.150/liter dan premium Rp 6.450/liter.

19. Pulau Morotai, Maluku Utara
SPBU Pertamina sudah didirikan di Desa Kenari, Bere Bere, Morotai Utara. Penduduk bisa membeli premium seharga Rp 6.450/liter dan solar Rp 5.150/liter. Sebelumnya harga BBM Rp 10.000/liter.

20. Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur
Program BBM Satu Harga sudah dijalankan di Kecamatan Long Apari, Mahakam Hulu. Tadinya harga BBM di sana Rp 18.000/liter, sekarang Rp 6.450/liter untuk premium dan solar Rp 5.150/liter.

21. Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat
Pertamina sudah menyalurkan langsung BBM ke Kecamatan Jagoi Babang, Bengkayang. Harga BBM turun dari Rp 10.000/liter menjadi Rp 6.450/liter untuk premium dan solar Rp 5.150/liter.

W. Novianto

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya