Connect with us
DPR RI

Kekeringan Sebabkan Kelaparan di Papua, Puan Maharani: Bencana ini Milik Kita Bersama

Kekeringan Sebabkan Kelaparan di Papua, Puan Maharani: Bencana ini Milik Kita Bersama
Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani. Foto:

Jakarta – Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani menyoroti bencana kelaparan yang terjadi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Akibat buntut kekeringan yang melanda wilayah tersebut, ia menegaskan Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan solusi jangka panjang guna mengatasi peristiwa yang terjadi hampir setiap tahun.

“Kita tidak boleh melupakan saudara kita di Papua, gotong royong dari seluruh pihak diperlukan untuk membantu saudara-saudara kita yang saat ini menghadapi bencana kelaparan dampak dari cuaca ekstrem,” kata Puan melalui kepada Parlementaria, Kamis (3/8/2023).

Diketahui, bencana kelaparan di Papua Tengah disebabkan oleh kemarau panjang yang dibarengi dengan cuaca dingin ekstrem hingga membuat daerah tersebut mengalami kekeringan. Berada di belakang pegunungan Carstensz, Kabupaten Puncak kerap mengalami kekeringan saat musim kemarau.

Akibat bencana kelaparan kali ini, 7.500 warga terdampak bencana kelaparan, khususnya yang berada di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi. Masyarakat di dua distrik itu akhirnya mengungsi ke distrik-distrik terdekat yang kondisinya sedikit lebih baik.

Suhu rendah di Kabupaten Puncak akibat kemarau panjang menyebabkan kekeringan terjadi sehingga tanaman seperti umbi-umbian tidak bisa tumbuh. Padahal umbi-umbian merupakan makanan pokok masyarakat setempat sehingga saat gagal panen, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pangan.

Sebab itu, Puan meminta Pemerintah Indonesia melakukan langkah terpadu menghadapi bencana kelaparan yang rutin terjadi di wilayah tersebut. Apalagi ini bukan bencana kelaparan pertama di Papua di mana pada tahun 1982, ratusan warga Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, juga mengalami hal yang sama.

Lalu, pada tahun 1984 dan 1986, kelaparan kembali berulang dengan jumlah kematian yang juga tak sedikit. Selain kejadian di tahun 2023, bencana terkini terjadi pada 2022, saat empat orang di Lanny Jaya meninggal akibat kelaparan. Di Kabupaten Puncak sendiri, bencana kelaparan hampir setiap tahunnya terjadi.

“Penyelesaian persoalan kelaparan di daerah pegunungan di Papua ini harus dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya dengan sekadar memberi bantuan, tapi juga antisipasi agar ke depannya bencana kelaparan bisa dihindari. Solusi harus dihadirkan secara terpadu,” ujarnya.

Penyelesaian bencana kelaparan di Papua secara terpadu juga diperlukan mengingat medan geografis yang sulit menyebabkan bantuan susah sampai. Akses yang paling mudah dan cepat adalah dengan menggunakan pesawat.

“Tapi persoalannya sekarang yang ada kan medan dan kondisi keamanan di sana menyebabkan sulitnya distribusi bantuan. Maka harus ada intervensi khusus sehingga masyarakat segera mendapat bantuan,” sebut Perempuan Pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

Dirinya mendukung upaya pengamanan dari TNI/Polri dalam penyaluran bantuan ke warga Papua Tengah sebab BNPB melaporkan adanya gangguan keamanan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat tim menuju lokasi pengungsian warga untuk memberi bantuan. Puan menyebut, dukungan dari TNI/Polri bisa membantu penyaluran logistik yang tertahan.

“Sebagai pilar penjaga keamanan di Papua, TNI/Polri harus menjamin keamanan saat pasokan bantuan tiba di Papua. Upayakan agar bantuan untuk warga segera sampai dan antisipasi adanya masalah saat proses pendistribusiannya, serta pastikan masyarakat aman saat menerima bantuan,” paparnya.

Berdasarkan laporan yang diterima, terdapat 6 warga di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, meninggal dunia di tengah kemarau panjang tahun ini. 5 korban meninggal merupakan orang dewasa dan 1 orang lainnya bayi berusia 6 bulan.

Ia mendukung upaya Pemerintah yang saat ini tengah bekerja secara masif dengan penetapan tambahan masa tanggap darurat bencana kekeringan di Papua Tengah menjadi dua minggu.

“Ini pekerjaan rumah yang sangat besar. Pemerintah dengan dukungan seluruh elemen bangsa harus bisa mengatasi persoalan kelaparan di Papua ini. Tentunya DPR akan memberi dukungan lewat fungsi dan kewenangan kami,” tanggapnya.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya