Connect with us

Hasto: Kebudayaan Jadi Modal Penting Kemajuan Indonesia

Jakarta – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristoyanto mengungkapkan kesannya terhadap Bali sebagai manifestasi sempurna negeri spiritual dan berbudaya. Ia menyebutkan Bali sebagai titik temu peradaban dunia yang selalu kokoh dengan identitas kulturalnya meski dibanjiri arus modernitas.

“Saya begitu mencintai bali dan banyak belajar tentang spiritualitas disini, bagi saya pribadi bali menghadirkan dirinya sebagai manifestasi sempurna negeri spiritual. Setiap berada di Bali selalu terasa berbeda. Bali menjadi bukti perpaduan spiritualitas yang hidup dan membumi, dengan kebudayaan, dan keindahan alam rayanya. Bali menjadi titik temu peradaban dunia. Bali tiada henti dibanjiri arus modernitas yang hebat dari seluruh dunia, namun Bali selalu kokoh pada identitas kulturalnya,” ujar Hasto saat orasi ilmiah berjudul ‘Teguh Indonesia Berkepribadian’ di Kampus Institut Seni Indonesia, Denpasar, Bali, Selasa (28/2/2023).

Menurut Hasto, apa yang terjadi di Bali, mengingatkannya pada tulisan Franz Magnis-Suseno dalam the Javanese Ethics and World View. Dalam tulisan Magnis-Suseno, ditegaskan pentingnya panduan hidup atas dasar moral, hati nurani, dan olah rasa.

“Dalam tulisan itu ditegaskan pentingnya panduan hidup atas dasar moral, hati nurani, dan olah rasa. Hal yang paling menonjol dalam etika Jawa, terletak pada penekanan dimensi keselarasan antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (keteraturan semesta),” urai Hasto.

Hasto menyampaikan, dalam sisi lain ketika Indonesia menghadapi masa-masa genting akibat perang dingin, berbagai ancaman ditujukan kepada Presiden Soekarno. Sebab pemikiran geopolitik Soekarno mampu membangun kepemimpinan Indonesia atas Asia-Afrika dan Amerika Latin. Dan hal tersebut sangat mengkhawatirkan kaum neokolonialisme dan imperialism pada saat itu.

“Dalam periode itulah Bung Karno memperkenalkan konsepsi Trisakti. Salah satu diantaranya adalah bagaimana mewujudkan Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan.” tuturnya.

Untuk itu, Hasto yang merupakan doktor ilmu pertahanan Universitas Pertahanan berharap seluruh kampus seni di Indonesia berkolaborasi dan menyatu menjadi institusi seni Indonesia. Institusi seni itu diharapkan dapat menjadi wujud kepemimpinan Indonesia di bidang seni dan budaya secara global.

“Saya membayangkan nantinya sebagai bagian dari kepemimpinan Indonesia bagi dunia, suatu saat dapat dibangun pusat kebudayaan dan institut seni Indonesia di New York, Amerika Serikat. Di situlah gambaran kepemimpinan Indonesia di dunia pada bidang seni budaya,” ujar Hasto.

Hasto menuturkan, karena itulah apa yang disampaikan Bung Karno dan Franz Magnis Suseno nampak benang merahnya, mengingat kebudayaan dibangun sebagai buah cipta karsa dan rasa. Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan adalah garis ideologis Bung Karno untuk menghadirkan Indonesia yang bangga dengan karakternya, adat istiadat, kebudayaannya, termasuk kulinernya.

“Melalu revolusi mental ditransformasikanlah kebudayaan itu, menjadi sistem budaya sebagai bangsa besar, bangsa yang mewarnai peradaban dunia. Bagi saya pemikiran geopolitik Soekarno pada dasarnya adalah ilmu kepemimpinan Indonesia bagi dunia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Berdasarkan suatu nilai-nilai keadilan dan pemikiran geopolitik kita termasuk dengan kebudayaan untuk mewujudkan dunia dengan cita-cita kemanusiaannya,” paparnya.

Hasto Kristiyanto mengatakan ada fenomena menarik ketika para pelancong domestik dan manca negara datang ke Bali. Atmosfirnya sungguh berbeda.

“Ada sesuatu hal unik, sesuatu yang khas yang ditangkap oleh “rasa”, melalui pancaindera. Alam Bali memudahkan berkontemplasi, hingga terciptalah rasa nyaman, at home, ataupun sesuatu hal yang menciptakan rasa aman,” ungkap Hasto.

Menurut Hasto, fakta empiris yang ditemukan, bahwa di Bali ini falsafah, sistem nilai, kultur, hingga tradisi masyarakatnya saling beresonansi, membikin alam ikut berbicara. Suasananya sangat khas, dimana seluruh karya seni berpadu. Hasilnya ciri-ciri kebudayaan tampil begitu menonjol.

“Kebudayaan menyajikan sistem nilai, tradisi, dan juga pengetahuan yang ikut memengaruhi perilaku masyarakatnya dalam keteraturan bersama. Mereka yang hadir di Bali dengan beragam budaya ikut meluruh, hingga cara berpikir, berbicara, dan perilaku dipengaruhi oleh magnet kultural Bali. Tanpa terasa proses inkulturasi dan akulturasi berjalan secara natural, saling melengkapi,” paparnya.

Hasto mengatakan, tepat kiranya apabila kita memahami kebudayaan sebagaimana disampaikan oleh Clifford Geertz. Menurutnya, kebudayaan merupakan seperangkat peralatan simbolik untuk mengendalikan perilaku. Kebudayaan tidak lain merupakan pedoman yang digunakan oleh manusia dalam bertingkah laku dan berinteraksi, serta mendorong lahirnya berbagai inovasi yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Hasto, Bali bisa menjadi pusat pengembangan kebudayaan Indonesia dan dapat ditransformasikan juga sebagai sumbangsih Indonesia bagi dunia. ISI Denpasar, kata Hasto bisa terus menggali dan mengembangkan pendekatan akademis dan empiris dalam menyusun suatu strategi kebudayaan bagi Indonesia dan dunia. Ditekankan, Bali telah membuktikan keandalan sistem kebudayaannya bagi seluruh warga Indonesia.

“Dengan berbagai bukti otentik seperti peninggalan lontar, karya seni, tari-tarian, hingga kebudayaan Bali dalam pengertian luas, saya meyakini bahwa di Bali ini tercermin akar kebudayaan Nusantara, suatu identitas kebudayaan yang lahir dari hasil dialektika budaya nusantara dengan peradaban dunia,” kata Hasto.

Hasto mengungkapkan kebudayaan bisa menjadi modal penting untuk membangun kemajuan Indonesia. Secara empiris sudah dibuktikan Jepang, Korea, Eropa, hingga Tiongkok, dan Amerika.

Untuk itu, Hasto, menyebutkan ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan terkait hal tersebut.

“Pertama, perlunya kajian akademis tentang seluruh muatan budaya Bali, dengan menggali seluruh karya sastra, falsafah, nilai, dan tradisi kebudayaan yang ada sebagai hasil dari dialektika peradaban, baik dari dalam negeri-nusantara maupun dalam titik temunya dengan peradaban dunia,” kata Hasto.

Kedua, pentingnya untuk melihat secara kritis dengan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, termasuk menempatkan pentingnya kritik kebudayaan. Hasto mengutip pernyataan Ignas Kleden, kritik kebudayaan yang valid mempersoalkan nilai budaya dalam konteks kognitifnya, yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-historis kebudayaan tersebut.

“Ketiga, seluruh nilai yang terkandung dalam kebudayaan, menjadi desain penting di dalam merumuskan strategi kebudayaan Indonesia, agar seluruh proses modernisasi yang ada tetap berdiri kokoh pada identitas kebudayaan bangsa,” ujar Hasto.

Keempat, kata Hasto, perlu revolusi mental untuk membangun rasa bangga pada kebudayaan nasional, dan mengambil spirit yang terkandung di dalamnya bagi kemajuan Indonesia raya. Melalui nation and character building, kebudayaan membangun mentalitas pelopor dan pejuang yang begitu penting bagi kemajuan.

“Kelima, bahwa upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta membangun ketahanan nasional dalam bidang kebudayaan, harus didasarkan pada ideologi Pancasila bercirikan kebudayaan bangsa,” ujar Hasto.

Kepada para wisudawan dan wisudawati ISI Denpasar, Hasto berpesan agar terus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penopang berkembangnya kebudayaan nasional yang berkemajuan, namun tetap kokoh pada identitas kebudayaan bangsa.

“Terus perkuat riset dan inovasi. Dari kebudayaan Bali ini jika digali secara mendalam, akan menjadi sumber pengetahuan yang khas Indonesia, dan sangat penting bagi desain kebijakan masa depan. Mari bangun kepemimpinan Indonesia di dunia pada bidang kebudayaan,” kata Hasto.

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya