John Karamoy: Dari Prajurit Wala’59 menjadi “The Oil Man”
Tanpa disadari, pelatihan yang diterimanya dari WALA dan MENWA telah menguak sosok pemimpin yang ada dalam dirinya. Langkah-langkah terbesar dalam karirnya di STANVAC dan di HUFFCO Indonesia tak lepas dari pengaruh pelatihan tersebut. Pada awal masa karirnya, pimpinan perusahaan asing tersebut melihat bahwa Karamoy adalah hasil dari pelatihan militer jangka pendek yang efektif. Hal ini ditunjukkan lewat disiplinnya, integritasnya, dan rasa hormatnya terhadap sesama; hal-hal tersebutlah yang membentuk karakter dan kepemimpinannya, maka pada saat itu pun ia dipercayakan untuk memegang tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan rekan-rekan kerjanya. Di kemudian hari di masa-masa pentingnya dalam berkarir di MEDCO ENERGI dan perusahaannya sendiri ia juga menyadari bahwa persahabatan yang telah ia jalin dengan teman-teman sesama WALA dan MENWA juga telah membantunya untuk melebarkan koneksi bersama teman-temannya yang juga merupakan pemain penting di sejumlah sektor pemerintahan dan swasta. Military has valued him well, itu lah yang beliau rasakan. Hal ini juga terbukti saat ia diharuskan membentuk pertahanan sipil di perusahaan STANVAC (1964 – 1966) untuk menjaga keamanan di wilayah tambang migas Sumatera Selatan, dari rongrongan kelompok kiri dan pertahanan sipilnya menjadi satu-satunya pertahanan sipil yang didukung dan dipersenjatai oleh Divisi Sriwijaya.
Bagi seorang John Karamoy, hal yang paling membekas dan mendalam dari WALA dapat diwakilkan cukup oleh satu kata : “INDONESIA”. Hal ini lah yang berulang-ulang merasuk di dalam jiwa-jiwa muda para peserta Resimen Mahasiswa, a sense of nasionalism. Bukan hanya nasionalisme yang sebatas diumbar di bibir, namun juga dijunjung dengan bangga di hati. Menurut John, Resimen Mahasiswa dan edukasi militer terhadap generasi muda perlu dihidupkan kembali. Begitu banyak nilai-nilai essensial yang telah diturunkan lewat resimen mahasiswa. Saat ditanya nilai mendasar apa yang seolah lupa untuk disisipkan pada generasi kini, beliau menjawab: “Saya suka memakai kata ‘responsibility’. WALA telah mendidik kita untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab – responsible, namun bagaimana penerapannya tentunya tergantung masing-masing individu. You have to be responsible for yourself, you have to be responsible for the community, and you have to be responsible for the whole nation. Responsibility starts with you, disitulah integritas dilahirkan. Tanggung jawab lah yang membentuk integritas, yang pada akhirnya membentuk pribadi seseorang”.
Hal ini juga merupakan bagian dari visi Divisi Siliwangi saat membentuk WALA yang merupakan cikal bakal MENWA, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai bermanfaat kepada generasi muda Indonesia dan dilanjutkan dengan visi mereka untuk masa depan Indonesia.
Nilai-nilai kebersamaan, gotong royong yang telah mendarah daging dan berderu kencang di setiap penduduk Indonesia, memungkinkan kita untuk melanjutkan visi ini demi kemajuan bangsa kita.
Di hari-hari yang akan datang, akankah mahasiswa tergerak seperti dahulu? Mahasiswa yang dahulu dielu-elukan semangat dan nasionalismenya. Sudah cukup lama nasionalisme para jiwa-jiwa muda ini tidur dalam pasif, John berharap bahwa kelak mahasiswa dapat menghidupkan kembali semangat yang tidur itu. Tidak hanya semangat, namun juga jiwa untuk mengabdi terhadap Sang Saka, jiwa yang haus untuk melayani dan bukan hanya berharap untuk dilayani. John berharap bahwa resimen mahasiswa dapat menguatkan tekad nasionalisme ini, untuk “MENGABDI TANPA PAMRIH”.
Oleh: Poernamawati (Ekek ’11) dan Hillary Salsabil
BERITA
Sosok K’tut Tantri yang Terlupakan, Wanita yang Berjasa bagi NKRI di Masa Perjuangan
“Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia…Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya”
K’TUT TANTRI……
Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negeri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas… Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negeri barunya itu…
Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K’tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan…..
“Saja tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo…..
K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia dengan nama Muriel Stuart Walker, pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.
Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.
Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.
“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.
“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.
Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.
Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.
Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.
Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.
“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”..tulisnya dalam Revolt in Paradise.
Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya.
Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.
Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.
Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.
Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.
Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.
Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.
Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.
Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.
Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.
Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.
Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.
Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.
Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.
K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.
Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.
Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.
Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.
Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis…..
“Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia, mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali”……
Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya….
Mengenang sejarah sekitar orang-orang yang berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.
BERITA
Kabar Duka: Tio Hui Eng, Istri Indrajono Sangkawang Meninggal Dunia
Surabaya – Kabar duka datang dari keluarga besar Indrajono Sangkawang, istri tercintanya Tio Hui Eng dikabarkan telah meninggal dunia pada Sabtu (5/2/2022) di Mayapada Hospital, Surabaya, pukul 00.58 WIB.
Almarhumah Tio Hui Eng meninggal dunia pada umur 62 tahun. Dari pernikahannya dengan Indrajono Sangkawang, beliau meninggalkan empat anak tercintanya.
Rencananya upacara tutup peti akan dilaksanakan pada hari Senin, 7 Februari 2022, pukul 09.00-11.00 WIB di Adijasa, Ruang E, F, dan G. Sementara pemakaman akan dilaksanakan berangkat dari rumah duka pada hari Jumat 11 Februari 2022, pukul 09.00 WIB.
Kami segenap keluarga besar redaksi Fakta.News mengucapkan duka yang sangat mendalam bagi almarhumah dan keluarga yang ditinggal.
Semoga almarhumah diberikan tempat yang terbaik di sisiNya dan untuk keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh Allah Yang Maha Pengasih untuk menghadapi cobaan ini.
GAYA HIDUP
Kisah Changpeng Zhao si Pendiri Binance
Jakarta – Apa itu Binance? Binance adalah coin exchange atau juga dapat dikatakan pertukaran koin dari satu koin ke koin lainnya seperti dari Bitcoin ke Altcoin (dulu). Sekarang, anda bisa menggunakan kartu kredit atau uang fiat.
Salah satu platform perdagangan mata uang kripto yang sukses besar adalah Binance, yang didirikan oleh Changpeng Zhao. Bagaimana kisahnya yang menarik?
Zhao saat ini adalah salah satu orang terkaya dengan harta USD 1,9 miliar, sekitar Rp 27 triliun. Lelaki yang bermukim di Singapura ini lahir di China tapi kemudian berkewarganegaraan Kanada.
Zhao besar di Jiangsu, kedua orang tuanya adalah guru. Ketika beranjak remaja, Zhao sempat kerja di McDonald’s memasak burger dan tugas lainnya. Pada malam hari, dia juga bekerja di pom bensin.
Pada akhir 1980-an, Zhao dan keluarganya pindah ke Kanada. Ayahnya yang seorang profesor diasingkan karena bermasalah dengan negaranya. Zhao kemudian kuliah di MacGill University di Kota Montreal jurusan Ilmu Komputer.
Dia kemudian bekerja mengembangkan sistem perdagangan di bursa saham Tokyo di mana karirnya cepat menanjak. Namun pada tahun 2005, Zhao memutuskan keluar, pindah ke Shanghai, dan mendirikan perusahaan keuangan bernama Fusion Systems.
Tak puas dengan itu, Zhao mencium peluang bisnis besar di dunia kripto hingga mendirikan Binance di tahun 2017. Platform Binance bisa digunakan untuk memperdagangkan mata uang kripto ataupun untuk menyimpannya.
Binance juga punya uang kripto sendiri bernama BNB, terbesar ketiga di dunia dengan kapitalisasi pasar USD 54 miliar. Pada 2017 itu, Binance mengumpulkan pendanaan USD 15 juta dan mereka cepat berkembang. Pada tahun berikutnya, penggunanya mencapai 6 juta user.
Zhao dan Binance makin terkenal. Tahun 2020, Binance memperoleh pendapatan USD 800 juta dan volume total perdagangan tembus USD 2 triliun.
Zhao punya tato Binance di lengannya. Saking fanatik dengan bisnis kripto, dia mengklaim menginvestasikan seluruh uangnya dalam bentuk mata uang kripto.
“Barang-barang fisik yang aku punya mungkin tak ada artinya dibandingkan kekayaanku. Aku tidak menggunakan mata uang kripto untuk beli mobil, beli rumah. Aku hanya ingin menyimpannya. Aku tak berencana menukarnya menjadi uang di masa depan,” klaimnya.
Ya, dia mengaku hidup biasa-biasa saja. Dalam wawancara dengan Forbes di 2018, Zhang menyatakan tak punya kendaraan, jam mewah atau kapal pesiar. Tapi ia kadang memborong laptop, kadang enam unit sekaligus karena ia sering merusaknya.