Connect with us

Negara vs Hegemoni Neoliberalisme

Pertentangan pusat dan daerah akhir-akhir ini semakin marak dan menjadi ancaman perpecahan bangsa. Negara dalam hal ini pemerintah pusat, selama ini dianggap tidak adil dan sering menjadi kepanjangan tangan modal global dalam mengeksploitasi daerah. Kegagalan negara dalam perannya menyelesaikan konflik tidak terbatas hanya pada sektor ekonomi saja, namun juga pada sektor budaya dan kehidupan sosial lainnya.

Globalisasi bukanlah sekedar sebuah aktivitas ekonomi, dalam menciptakan pasar saja, akan tetapi dibalik globalisasi ini ada neoliberalisasi yang membawa kepentingan pasar global melakukan penetrasi ke pasar lokal. Inilah yang merupakan akar masalah konflik yang terjadi akhir-akhir ini seperti kejadian di Mesuji, Bima, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Papua dan hampir dibeberapa tempat di Indonesia.

Hegemoni Neoliberalisme
Argumen paling umum terhadap fenomena globalisasi adalah, tidak ada satu negarapun yang dapat melepaskan diri dari pergaulan internasional, baik disebabkan kemampuan negara dalam mencukupi kebutuhannya maupun kepentingan pasar global untuk melakukan penetrasi produk, atau kebutuhan negara lain dan industri transnasional  akan bahan baku. Perubahan moda produksi turut merubah interaksi antar negara, penyediaan komoditi dan modal tidak lagi memperhatikan batas-batas negara.

Neoliberalisme yang selalu melekat dalam globalisasi adalah sebuah fenomena sosial politik yang dialamatkan kepada sekelomok penguasa dan intelektual di barat yang ingin menghidupkan kembali gagasan liberalisme klasik. Hegemoni neoliberalisme dengan kendaraan globalisasi ini mencoba menghapus batas-batas negara. Dan dalam rangka memperluas pasar dan mencari bahan baku murah maka pasar lokal seringkali berhadapan langsung dengan hegemoni neoliberalisme ini.

Hegemoni neoliberalisasi yang semakin menguat ini tidak saja menghapus batas-batas negara akan tetapi juga berusaha memperkecil peran negara. Asumsinya pasar bebas akan mencari titik kesetimbangan sendiri,  sehingga efisiensi akan meningkat, regulasi yang dibuat negara hanya akan membatasi fleksibilitas pasar. Seperti dikemukakan Lenni Brenner aktivis hak-hak sipil, bahwa kehidupan ekonomi dan politik berubah, dari skala nasional menjadi skala global. Negara bertujuan untuk mendukung akumulasi kapital dengan mengaitkan lokal ke global dan menciptakan lokasi yang ideal untuk akumulasi tersebut dalam set global.

Sementara pakar sosiologi dari University of California, Berkeley. Manuel Castell mengatakan, bahwa,  negara masih berperan dalam membentuk pasar melalui mediasi antara lokal dan global, dan mempengaruhi bagaimana aset khusus lokal dimobilisasi kedalam ekonomi global. Sedangkan pengamat social lainnya Immanuel Wallerstein mantan Kepala Pusat Studi Ekonomi, Sistem Sejarah dan Peradaban di Binghamton University, mengatakan, negara terintegrasi kedalam pasar melalui struktur perdagangan dan produksi internasional yang hirarkis.

Nah, kombinasi analisis diatas, merupakan proses market menuju pengorganisasian berbasis transnasional, dengan perdagangan, produksi dan finansial diorganisasikan melalui rantai komoditi global dalam ekonomi global yang terintegrasi. Pasar, negara dan masyarakat berada dalam hubungan hierarki dengan pasar yang diorganisasi secara transnasional. Jelas terlihat bahwa negara dipaksa mengambil peran sebagai kepanjangan tangan modal transnasional dan watch dog (penjaga) ideologi neoliberalisme tersebut

Persoalannya kini, adalah dominasi negara inti (Eropa Barat dan Amerika Utara) yang menguasai modal transnasional mampu mengkooptasi negara pinggiran dan menjadikan negara pinggiran hanya sebagai pasar dari produk global, dimana sumber daya alamnya terbuka seluas-luasnya untuk di eksploitasi. Dan dalam prakteknya globalisasi sering tercampur dengan internasionalisasi nilai-nilai barat yang didalamnya melekat neoliberalisme tersebut.

Praktek Neoliberalisme di Indonesia:
Pergantian pemerintahan tahun 1998 melalui gerakan sosial masyarakat yang sering dikenal sebagai Gerakan Reformasi 1998, merubah sistem pemerintahan yang otoriter menjadi sistem pemerintahan yang demokratis. Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintahan kearah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah.

Konsekwensinya secara langsung merubah hubungan pusat dan daerah. Otonomi yang besar pada daerah sekaligus membuka daerah berhadapan langsung dengan masyarakat global. Lemahnya aturan dan regulasi mengakibatkan banyaknya produk perundang-undangan yang dihasilkan justru melemahkan peran negara (pemerintahan pusat) dalam melindungi kepentingan nasional, sekaligus kepentingan lokal. Penguatan otonomi daerah ini juga menimbulkan ketegangan baru dengan pemerintahan pusat dan mengancam kedaulatan negara. Harmonisasi produk perundang-undangan gagal menjembatani kepentingan lokal sehingga banyak produk peraturan daerah yang bertentangan dengan undang-undang diatasnya.

Disatu sisi hegemoni neoliberalisasi dengan menumpang globalisasi, mampu mengintervensi produk perundang-undangan tersebut dan menjadikannya ramah terhadap kepentingan market global dan meninggalkan kepentingan nasional maupun lokal. Tidak saja peraturan daerah tetapi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah di atasnya pun tidak luput dari pengaruh global ini. Peran rent seeker (pencari rente) lebih dominan daripada birokrasi pemerintahan dan mampu mengatur aparat negara, sehingga aturan dan regulasi dibuat sedemikian rupa untuk menguntungkan modal transnasional.

Aturan dan regulasi yang tidak memihak ini memunculkan ketegangan hubungan tidak saja pada hubungan pusat dan daerah, akan tetapi juga antara masyarakat dengan kelompok kepentingan di pusat dan daerah. Korupsi yang merajalela di jajaran birokrasi turut mempercepat proses perpindahan dan penguasaan aset-aset strategis ketangan modal global. Pengelola negara (pemerintah) sering sekali lebih senang mencari jalan mudah, pelobi (lokal dan global) dan rent seeker menjadi alat efektif penetrasi global.

Kondisi ini juga mengakibatkan konflik terbuka antara masyarakat dan perusahaan yang sebagian besar merupakan perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing), bagian dari struktur finansial transnasional. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi, 2012), mencatat setidaknya 22 tempat rawan konflik masyarakat melawan perusahaan pertambanan. Bukan saja potensi konflik diramalkan akan terjadi, akan tetapi di beberapa daerah konflik telah pecah dan menimbulkan korban jiwa seperti di Mesuji (konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan PMA); di Papua (Masyarakat dan pekerja dengan perusahaan pertambangan Freeport) dan Bima (Masyarakat dengan perusahaan pertambangan).

Pilihan terhadap desentralisasi, kini kesulitannya bukan saja dikarenakan kapasitas kelembagaan ataupun sumber daya manusia (sdm) yang terbatas,  akan tetapi peran yang dominan dari pelobi dan rent seeker, merupakan faktor kunci penyimpangan dari agenda besar negara menjadi agenda dalam kerangka kepentingan global semata. Secara teknis seringkali perencanaan ini dimulai dari kajian dengan menggunakan dana-dana hibah, yang merupakan entry point masuknya kepentingan global.

Salah satu prasyarat penting untuk mengatasinya, adalah melihat ulang tujuan kita bernegara, dan secara tegas melakukan koreksi kepada penyelenggara negara yang jelas-jelas berpihak, atau menjadi agen kepentingan global. Kondisi saat ini, memaksa kita merenungkan kembali cita-cita proklamasi yang bukan saja menjadi pedoman dalam upaya mensejahterakan bangsa akan tetapi berperan aktif  dalam pergaulan dunia yang berkeadilan. Rasanya cita-cita ini sudah lama ditinggalkan para penyelenggara negara saat ini. Mari menjaga republik tercinta ini.

Penulis: Ammarsjah Purba

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Mindset & Culture Set UMKM

Oleh

Fakta News

UMKM berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja yang sangat cukup besar. Kontribusi UMKM sangat signifikan berdampak pada pemerataan sarana ekonomi rakyat mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan engagement digital. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kendala yang dihadapi UMKM dan modal sosial yang ada di tengah masyarakat guna menyusun informasi yang dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan.

Pengembangan UMKM tidak bisa hanya bertumpu pada kebijakan saja, akan tetapi harus memperhatikan modal sosial yang ada ditengah masyarakat. Tujuannya agar kebijakan yang diambil dapat dipahami dan diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal yang ada di tengah masyarakat. Kemampuan pendataan Pemerintah merupakan kunci awal dalam mengklasifikasikan UMKM guna melihat dan mengidentifikasikan masalah dan kemampuan sosial dan kemampuan usaha sebagai modal sosial dan modal kemampuan usaha UMKM tersebut sebagai bagian dari proses pembinaan dengan berbagai kebijakan dan program selanjutnya.

Mengambil contoh UMKM di negara berkembang dan maju (Malaysia, Thailand. China, Italia) yang menjadi negara dengan sistem pengembangan UMKM yang baik, teridentifikasi bahwa (Malaysia, Thailand, China, Italia) menggunakan sistem cluster guna menciptakan kolaborasi antar unit usaha, dimana memperhatikan modal sosial masyarakat lokal yang guyub tergabung dalam satu kelompok/organisasi. Guna menciptakan kolaborasi diantara masing-masing unit usaha dibutuhkan modal sosial yang terpenting yaitu kepercayaan (trust). Sementara kepercayaan itu bisa muncul dari reputasi yang merupakan hasil dari kebijakan.

Maka dari dimensi Hubungan, UMKM tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan secara satu arah. Namun dalam satu sistem kolaborasi, satu unit usaha akan saling mempengaruhi dengan unit usaha lainnya, termasuk dengan para pengusaha maupun investor dalam kontek bisnis yang saling menguntungkan dan Membutuhkan sehingga melahirkan inkubator inkubator usaha lainnya untuk pengembangan UMKM dalam ekosistem usaha dan bisnis. Oleh karena itu dibutuhkan desain kebijakan yang compatible dengan institutional arrangement yang berada ditengah masyarakat. Selain itu butuh adanya persistence dan continuity dalam membimbing UMKM. Tidak semata-mata menetapkan solusi, akan tetapi merangsang munculnya solusi dari modal sosial yang ada, (asosiasi umkm lokal maupun nasional dan koperasi merupakan Modal Social UMKM).

Hal tersebut diatas merupakan salah satu cara awal merubah mental dan orientasi UMKM untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan UMKM dengan meningkatkan level orientasi kewirausahaan mereka. Hal ini terlihat bagaimana kemampuan UMKM berorganisasi atau berhimpun secara sosial sebagai modal sosial UMKM dalam berperilaku maju dan modern yang akan tertuangkan dalam kebiasan kebiasaan bahkan budaya usaha dan bisnis nya sehari-hari.

Pola Pikir yang mempengaruhi orientasi mengembangkan usaha yang membuat pelaku usaha memiliki pemikiran yang berbeda terhadap persaingan, kolaborasi, kemajuan usaha, keberanian mengambil risiko, inovasi dan kemampuan akses pasar. Inovasi menjadi kunci keberhasilan untuk meningkatkan daya saing bisnis, artinya, usaha mikro, kecil dan menengah perlu melakukan inovasi agar dapat mendesain organisasi usaha nya lebih fleksibel yang memungkinkan beradaptasi terhadap perubahan orientasi pasar dan perkembangan teknologi. Usaha mikro, kecil dan menengah dapat mudah beradaptasi dengan merespon perubahan keinginan pelanggan, jalur distribusi, dan kemampuan berinovasi.

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana secara sistemik usaha mikro, kecil, menengah mampu berinovasi secara berkelanjutan dan meningkatkan kapabilitas bersaingnya, sehingga keterbatasan teknologi yang mereka alami dalam kegiatan pemasaran maupun produksi tidak menghambat mereka dalam meningkatkan daya saing dan inovatif mereka. Tidak banyak kemampuan inovasi yang secara sistemik mampu memberikan alternative strategi inovasi berkelanjutan agar usaha kecil tetap mampu berinovasi secara terus menerus (continue). Ini yang di katakan Tidak semata-mata menetapkan solusi, akan tetapi merangsang munculnya solusi dari kebijakan serta modal sosial yang ada.

Kompetensi inovasi dalam implementasinya berupa pengetahuan sistem manajerial, norma, nilai dan penguasaan teknologi, skill komunikasi serta kompetensi produk, proses dan pasar. Disini menegaskan kembali bahwa inovasi bukan hanya kunci keberhasilan untuk meningkatkan daya saing bisnis atau usaha tetapi sekaligus inovasi menjadi strategi fundamental dalam meningkatkan keunggulan kompetitif usaha mikro, kecil, menengah.

Kebanyakan UMKM yang memiliki mindset subsisten cenderung hanya mengikuti alur, seperti menjalankan rutinitas. Karena tidak tahu cost dan profit dan tidak pula tahu apakah usaha bisnis berkembang atau tidak setiap tahunnya. Singkatnya, wirausahawan UMKM yang seperti ini tidak memiliki growth-mindset. Dweck (1999; 2000) mengembangkan dua teori kecerdasan diri dengan memberikan wawasan tentang proses psikologis (motivasi) yang penting untuk pencapaian. Dia menyatakan bahwa individu memiliki teori entitas kecerdasan, yang dikenal sebagai mindset tetap atau teori kecerdasan tambahan, yang dikenal sebagai mindset berkembang (growth mindset). Individu dengan growth mindset percaya bahwa kemampuan dan kesuksesan seseorang disebabkan oleh pembelajaran, bahwa kecerdasan dapat tumbuh dan berubah dengan upaya dan percaya dalam mencoba pendekatan lain atau mencari bantuan ketika menghadapi kesulitan dan cenderung untuk mengadopsi tujuan pembelajaran.

Sering kali pelaku UMKM melihat kompetitor/pesaing sebagai hal membahayakan, padahal dengan pemahaman perubahan level orientasi kewirausahaan dan growth mainset bahwa kompetitor/pesaing merupakan rangsangan upaya berfikir maju dan modern sebagai ajang peningkatan usaha dan bisnis UMKM menjadi berkembang ataupun merubah kompetitor menjadi patner atau kolaborasi dalam peningkatan usaha dan bisnis umkm maju.

Disinilah bahwa Pemerintah pusat dan daerah beserta stakeholder lainnya yang terkait langsung dan tidak langsung bekerjasama lewat pendekatan asosiasi lokal maupun nasional dan koperasi memberikan pemahaman luas dan kreatif dengan merubah mainset dan culture set pelaku UMKM dan di sertai kemampuan manajerial usaha dan bisnis dalam skala priorotas sesuai klasifikasi dan clusterisasi UMKM. Fakta nyatanya, UMKM dituntut untuk inovasi, kreatif, berani mengambil resiko di era sekarang ini jika tidak dapat merespons hal tersebut maka UMKM tidak akan maju. Hal tersebut di ikuti kemauan disertai kemampuan Pemerintah dalam mengklasifikasikan UMKM, mengidentifikasikan masalah UMKM dan merumuskan berbagai kebijakan dan program yang sesuai dengan karakteristik UMKM.

Baca Selengkapnya

BERITA

DIBUTUHKAN PERUBAHAN HOLISTIK BUDAYA KESELAMATAN (Safety Culture) DI PERTAMINA, Sebagai Bagian Integral Dari Proses Keselamatan Yang Berkesinambungan Dalam Rangka Mengurangi Jumlah Kecelakaan

Oleh

Fakta News

Pertamina adalah salah satu BUMN terbesar dan andalan dalam pengekspolorasian dan pengilangan minyak untuk kebutuhan nasional. Pada umumnya, umur dari fasilitas pengeboran dan kilang minyak sudah hampir mencapai atau bahkan lewat umur (first life) .

Secara umum Pertamina telah melakukan modernisasi dalam peralatan serta mengadopsi sistim HSE yang baik. Tapi kenapa kecelakaan berupa terbakarnya kilang, fatality masih sering terjadi?

Hal ini menjadi tanda tanya besar dan sebenarnya jawabannya adalah sangat sederhana yaitu budaya keselamatan atau safety culture yang tidak melekat secara utuh pada setiap pegawai dari tingkat paling tinggi sampai level pekerja lapangan.

Dalam proses managing suatu asset, tidak terlepas dari 3 aspek yaitu: manusia, process dan tools-nya. Apabila proses telah dibenahi dan tools-nya telah diperbaiki (modernisasi), tapi manusianya masih melakukan tugas secara business as usual maka apabila terjadi kelengahan (human error) maka dengan sendirinya resiko kecelakaan akan meningkat.

Kita tidak bisa menyalahkan alat yang tiba-tiba rusak atau tidak melakukan tugasnya, tetapi bagaimana manusia yang melakukan perawatan peralatan tersebut sesuai dengan technical engineering guidance dan tidak melakukan short cut atau melakukan jalan pintas. Apabila hal ini dilakukan sekali dan terus berlanjut maka akan terjadi kelengahan yang akan berujung insiden rusaknya alat yang berakibat berhentinya operasi.

Pertamina telah menggunakan auditor safety dan konsultan ternama tetapi kenapa kecelakaan tetap terjadi? Kalau sebagian orang menjawab kita tidak beruntung maka tunggu saja ketidak beruntungan tersebut dapat mengakibatkan accident yang lebih besar dan efek yang lebih luas.

Gambar dibawah menjelaskan tahapan untuk tercapainya sebuah operasi yang aman dan berkesinambungan. Satu faktor yang penting adalah diperlukannya perubahan mindsets dan behaviors yang sudah harus menjadi bagian integral dari proses.

Pendekatan seperti ini sudah diimplementasikan oleh Dupont Sustainable Solutions (dss+), pemilik dan operator dari 250 plants yang berpengalaman dibidang safety. DSS+ berangkat dari jatuh bangunnya operasi kilang dan berhasil membuat kondisi Dupont yang lebih baik sehingga banyak perusahaan-perusahaan minyak (up/down stream) yang mengadopsi dalam meningkatkan produktifitas dan safety. Perusahaan seperti Shell, BP, Conoco Phillips, Exxon, MEDCO, dll, telah mampu menurunkan jumlah accident ke level Zero dengan meningkatkan budaya safety dan perubahan mindsets sebagai bagian dari proses Safety Management mereka.

Tingkat keselamatan yang baik akan membantu perusahaan dalam menjaga keselamatan orang-orangnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas. Safety Business bukan pekerjaan yang hanya membuat laporan, skoring atau mendapatkan sertifikat, akan tetapi harus dirasakan adanya peningkatan keselamatan yang tinggi. Demikian juga dalam hal asset integrity, Pertamina harus memulai melakukan audit peralatan secara menyeluruh dan melakukan perawatan tanpa menunda-nunda sesuai standar sehinga resiko kecelakaan dapat ditekan serendah mungkin.

Baca Selengkapnya

BERITA

DARI PENEGAKAN KUOTA HINGGA KEPAKARAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS: Optimalisasi Peran Perusahaan Terkait Para Penyandang Disabilitas

Oleh

Fakta News

Jalal – Aktivis Keberlanjutan Perusahaan
Farhan Helmy – Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS-Indonesia)

PENGANTAR. Ini tulisan Kang Jalal bersama saya setelah berdialog sekian lama tentang peran strategik di luar negara untuk menjadi bagian dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga difabel. Kang Jalal yang saya kenal adalah seorang praktisi keberlanjutan yang secara khusus seorang profesional Good Corporate Governance. Terkait dengan peran perusahaan salah satu gagasan kami bukan sekedar terlibat dalam CSR ataupun yang diperluas, tetapi menginisiasi entitas dalam pengambilan keputusan. Jumlah penyandang disabilitas Indonesia saat ini 23 juta orang, seyogyanya bisa memberikan inspirasi perlu upaya lebih masif dalam perlindungan dan pemenuhan hak mereka terutama keterlibatan perusahaan.

Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas.

Selamat menikmati tulisan ini🙏

+++++

APA respons utama dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ketika diajak berdiskusi tentang kontribusi mereka terhadap para penyandang disabilitas? Sama dengan pemahaman umum tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR): donasi. Pemahaman yang terbatas ini bukan saja sangat menggelisahkan, namun juga patut disayangkan lantaran perusahaan menjadi tidak benar-benar bisa mewujudkan tanggung jawabnya pada level yang seharusnya.

CSR sesungguhnya berarti tanggung jawab atas dampak (positif maupun negatif) yang ditimbulkan keputusan dan tindakan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan yang bertujuan untuk berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan. Kita tahu bahwa kesepakatan global tentang pembangunan berkelanjutan terformalkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) yang berlaku antara 2016-2030. Jadi, mudahnya, CSR adalah tentang bagaimana perusahaan berkontribusi pada pencapaian SDGs di berbagai tingkat.

Ada tiga ranah kontribusi tersebut, menurut Jane Nelson, Beth Jenkins, dan Richard Gilbert dalam publikasi mereka Business and the Sustainable Development Goals: Building Blocks for Success Scale (2015). Pertama, melalui bisnis inti yang sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Kedua, melalui investasi sosial. Ketiga, melalui advokasi publik dan dialog kebijakan. Ketiga ranah kontribusi ini sangatlah penting untuk ditelisik lebih jauh ketika kita membicarakan tentang bagaimana seharusnya perusahaan berkontribusi secara optimal kepada para penyandang disabilitas.

Mengapa demikian? Sinyalemen Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden untuk urusan disabilitas yang membeberkan hanya 3.300 jiwa dari 22 juta jiwa total penyandang disabilitas di Indonesia yang bekerja secara memadai sangatlah memprihatinkan. Ini masih sangat jauh dari harapan dibanding dengan berbagai pernyataan komitmen tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas seperti Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU 19/ 2011, UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan berbagai peraturan lainnya yang lebih implementatif. Hal ini membuat setiap perusahaan—bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya—perlu bersiap untuk memberikan kontribusi optimalnya.

Dalam ranah bisnis inti, perusahaan perlu melihatnya di dalam tiga lapisan: workplace, market place, dan supply chains. Kalau kita periksa literatur tentang apa yang bisa dilakukan perusahaan terhadap penyandang disabilitas dan workplace, sesungguhnya ada banyak sekali yang bisa dilakukan. Banyak literatur menyatakan bahwa perusahaan perlu menerapkan kuota untuk penyandang disabilitas di dalam pekerjanya. Indonesia sendiri sudah memiliki regulasi yang menetapkan kuota tersebut, yaitu 1% untuk perusahaan swasta dan 2% untuk BUMN. Dan, lantaran CSR bersifat melampaui regulasi, seharusnya kebijakan perusahaan menetapkan kuota yang lebih tinggi. Kalau regulasi ini saja benar-benar ditegakkan, sesungguhnya ada cukup banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan pekerjaan, apalagi kalau perusahaan secara sukarela menetapkan kuota yang lebih tinggi. Namun, pada kenyataannya, majoritas perusahaan belum menjalankan kewajiban regulatori itu lantaran tidak mengetahuinya juga karena penegakannya minimal.

Terkadang perusahaan mengetahui kewajiban tersebut tetapi gagal memastikan kepatuhan karena kesulitan mengakomodasinya di dalam strategi dan implementasi human capital mereka. Majoritas perusahaan merasa kesulitan lantaran kondisi disabilitas fisik, sensorik, intelektual dan mental dianggap sebagai kendala untuk inklusi. Padahal di situ titik pentingnya kalau perusahaan benar-benar ingin menegakkan keadilan, kesetaraan, keragaman, dan inklusi (justice, equity, diversity, and inclusion atau JEDI), sebagaimana yang disarankan oleh Kristina Kohl dalam Driving Justice, Equity, Diversity, and Inclusion: The JEDI Journey (2022), maka kondisi yang melekat dengan disabilitas itu merupakan hal yang penting untuk diselesaikan melalui beragam tindakan afirmatif.

Di antara tindakan afirmatif yang sangat penting adalah memastikan bahwa infrastruktur gedung dan kantor memang ramah terhadap berbagai jenis disabilitas, sehingga mereka bisa mengakses dan menavigasi aktivitas di kantor dengan lebih baik. Kalau memang dimungkinkan untuk bekerja dari rumah, atau dari tempat lain yang lebih nyaman, perusahaan bisa mengakomodasinya dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang memadai, misalnya. Para penyandang disabilitas mungkin sekali perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan tertentu yang memungkinkan mereka berkontribusi secara optimal. Dan seterusnya. Jadi, memang tak bisa sekadar menegakkan kuota, apalagi mengabaikannya, melainkan perlu melihatnya dalam perspektif JEDI yang komprehensif, terutama dari sudut pandang pendekatan kapabilitas yang dipromosikan Amartya Sen.

Banyak hal yang sangat menarik bisa dipikirkan ketika melihat bagaimana perusahaan bisa melihat penyandang disabilitas dari sudut pandang market place. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang diakui oleh Pemerintah RI adalah 4-5% dari penduduk. Itu berarti jumlahnya bisa mencapai 13,5 juta orang di Indonesia. Namun, proporsi tersebut dikritik oleh PBB di penghujung tahun lampau. Di level global, penyandang disabilitas secara rerata menempati proporsi 15% dari penduduk, atau bisa mencapai 40 juta orang bila persentase tersebut digunakan di Indonesia. Angka yang dikutip Angkie, yaitu 22 juta jiwa, berada di antara proporsi yang diakui Indonesia versus PBB. Kalau tujuan perusahaan didefinisikan sebagai memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungan melalui cara yang mendatangkan keuntungan, seperti yang disarankan Colin Mayer dalam Prosperity: Better Business Makes the Greater Good (2018), maka perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu melihat baragam kebutuhan yang muncul dari berbagai jenis disabilitas sebagai peluang pasar dengan memberikan solusi yang tepat.

Kebutuhan kursi roda yang handal, alat bantu dengar dan lihat, beragam gawai dengan desain khusus, atau kebutuhan sehari-hari seperti popok yang praktis dan nyaman untuk beragam kelompok umur, sangatlah besar. Dalam hal ini, memahami berapa peluang pasar yang sebenarnya, lalu mendesain produk-produk yang sesuai, adalah kunci untuk bisa membantu para penyandang disabilitas itu dengan baik. Kalau selama ini kesadaran bahwa peluang pasar dari melayani kelompok miskin, yang diperkenalkan oleh CK Prahalad dan Stuart Hart dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004) telah membuat banyak perusahaan menjadi makmur, kesadaran bahwa para penyandang disabilitas adalah pasar besar yang perlu dilayani secara sungguh-sungguh adalah hal yang juga sangat penting. Pertanyaan pentingnya adalah apakah perusahaan perlu memodifikasi produk-produknya yang sekarang untuk menangkap peluang pasar itu, atau bahkan perlu menciptakan produk-produk baru yang benar-benar menjawab kebutuhan para penyandang disabilitas?

Dari sudut pandang supply chains, perusahaan bisa mengoptimalkan dampaknya bila memiliki pemihakan kepada para penyandang disabilitas ini dengan membuat preferensi kepada mereka, termasuk memberikan preferensi sebagai kontraktor dan pemasok. Sama dengan situasi workplace, preferensi itu tidaklah memadai kalau hanya dijalankan dengan kuota saja. Banyak usaha yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, atau memekerjakan penyandang disabilitas, bisa ditingkatkan kapasitasnya dengan bantuan legalisasi, bantuan kondisi kerja, dan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas. Investasi di awal memang dibutuhkan, namun bila perusahaan bersungguh-sungguh dalam penegakan ini, maka manfaat operasional, reputasional, juga finansial bisa diraih.

Di ranah investasi sosial, perusahaan melihat apa saja manfaat yang bisa diberikan kepada para penyandang disabilitas di masyarakat, yang bukan, atau belum, masuk sebagai pekerja atau terlibat dalam rantai pasoknya. Sama dengan seluruh upaya investasi sosial lainnya, perusahaan perlu memulainya dengan melakukan pemetaan khusus terkait penyandang disabilitas, jenis-jenis disabilitasnya, kebutuhan mereka masing-masing, dan potensi yang mereka miliki, di dalam wilayah dampak operasi perusahaan. Data ini terkadang sudah tersedia lantaran ada penelitian dari pihak-pihak lain, termasuk LSM, namun pada sebagian besar kasus datanya belumlah tersedia. Perusahaan perlu melakukannya sendiri, atau mensponsori pihak lain yang kapabel untuk melakukannya, terlebih dahulu.

Kemudian, perusahaan perlu menggabungkan pengetahuan tentang kepentingan para penyandang disabilitas itu dengan rencana pembangunan pemerintah, apa yang sudah dan masih perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan lainnya, selain kepentingan perusahaan sendiri. Hanya bila pemahaman menyeluruh atas kondisi tersebut telah dimiliki saja maka perusahaan bisa mengambil keputusan tentang intervensi apa yang perlu dilakukan kepada para penyandang disabilitas, dengan siapa saja kerjasama bisa dilakukan, target-target apa yang perlu dicapai di masa mendatang, metode pemantauan dan evaluasi yang akan dipergunakan, hingga exit strategy-nya kelak. Kebanyakan perusahaan yang tidak melakukan pemetaan inilah yang terjebak dengan sekadar berdonasi—yang belum tentu tepat sasaran dan tepat metode intervensi.

Kalau perusahaan telah melakukan berbagai upaya yang memadai di bisnis inti dan investasi sosialnya, bisa dipastikan mereka memiliki kekayaan informasi yang luar biasa di dalam tanggung jawab sosial terhadap pemangku kepentingan khusus ini. Maka, mereka kemudian bisa meluaskan jangkauan dampak positifnya dengan melalukan advokasi dan dialog kebijakan di sphere of influence-nya. Lewat ranah ini, perusahaan bisa mengajak perusahaan lain, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk bisa memerlakukan penyandang disabilitas sesuai prinsip JEDI.

Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa perusahaan bisa menjadi lebih peka terhadap isu-isu penyandang disabilitas dan menjawabnya dengan lebih adil, setara, beragam, dan inklusif bila tata kelola perusahaan memang didesain untuk itu. Kini tata kelola pemangku kepentingan (stakeholder governance) telah diterima oleh perusahaan-perusahaan yang progresif. Penerimaan atas model tata kelola itu berarti perusahaan dalam mengambil setiap keputusannya perlu menimbang manfaat optimal untuk seluruh pemangku kepentingannya, bukan sekadar demi keuntungan pemegang saham sebagaimana yang ditekankan oleh shareholder governance.

Perusahaan yang ingin memastikan manfaat optimal untuk para penyandang disabilitas—sebagai salah satu kelompok rentan—membutuhkan peningkatan sensitivitas dan kepakaran dalam isu-isu ini. Perusahaan perlu memasukkan pandangan mereka yang paham betul soal isu-isu terkait penyandang disabililitas dalam pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan, pasar, rantai pasok, investasi sosial, dan advokasi dan dialog kebijakan. Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas.

Jakarta, 1 April 2023

Presiden Joko Widodo Sri Mulyani Indrawati Erick Thohir Siti Nurbaya Bakar Atnike N Sigiro Dante Rigmalia Hari Kurniawan Abetnego Tarigan Sunarman Sukamto Tri Widodo Utomo Ridwan Kamil Yana ‘Rase’ Mulyana Didi Yakub Anang Eska Andar Manik Full Ida Ayu Sri Sundari Undang Permana Segah Patianom Alexander Irwan Farah Sofa Nana Edriana Noerdin Jilal Mardhani Djumono Tedy Rusmawan Idamom Smita Notosusanto Ricky Pesik Dati Fatimah Herni Ramdlaningrum @Ach

#dilansindonesia #indonesiainklusif #ecocrights #JEDI #sdgs2030

Baca Selengkapnya