Connect with us

Infodemik: Covid-19 adalah Kasus Infodemik Pertama

Penulis:
Herry Sugiharto
ITB TK'87

Salah satu komponen kunci dari kesiapan menghadapi “bencana” endemik dan pendemik virus corona atau COVID-19 adalah memastikan informasi yang valid berasal dari sumber yang terpercaya, dan menjaga alur informasi itu mengalir kepada publik. Publik lah yang akan terkena imbas dari informasi yang keliru.

Tidak hadirnya informasi yang sahih, memudahkan rumor dan kasak-kusuk menyebar dengan cepat melalui media-sosial, dan menghasilkan apa yang disebut dengan INFODEMIK. Infodemik ini bahkan jauh lebih berbahaya ketimbang endemik atau pandemik, karena infodemik mengalirkan informasi keliru/salah secara masif, terus-menerus dan cepet tersebar. Kecemasan dan kepanikan publik akibat informasi yang tidak bertanggung-jawab, bukan saja bisa mengganggu bekerjanya sistem sosial, bahkan bisa melumpuhkannya. Dan pada gilirannya, dalam jangka waktu tertentu, akan mengganggu proses produksi dan sistem ekonomi, menghambat proses kebudayaan dan sistem budaya, dan begitu banyak hajat hidup lainnya.

Itu pula mengapa wabah penyakit COVID-19 yang ditimbulkan oleh virus SARS-CoV-2 saat ini berpotensi menciptakan perlambatan pertumbuhan ekonomi (baik global maupun di masing-masing negara yang terpapar) serta menciptakan tekanan secara psikhis dan rasa tidak nyaman secara meluas; selain tentu saja kerugian langsung secara fisik dan psikhis yang dialami pasien COVID-19 dan keluarganya.

Pertanyaannya adalah, apa hubungan antara wabah virus corona sekarang ini (selain wabah-wabah penyakit lainnya) dengan media sosial (informasi digital) dan gangguan proses produksi dan sistem ekonomi pada umumnya? Bukan kah dunia sudah belajar dari pengalaman masa lalu saat mewabahnya virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang memiliki fatality-rate (mortality-rate) yang jauh besar ketimbang COVID-19, namun tidak sampai menimbulkan kepanikan masal dan global sebagaimana virus corona ini?

Mari kita lihat dengan bijaksana berdasar fakta dan data-data historisnya.

Perbedaan fatality/mortality rate beberapa kasus endemic/pandemic dunia, sebagai berikut :
1. SARS (2002) : jumlah kasus = 8.437, mati = 813, fatality rate = 9,6%, menyebar di 26 negara
2. MERS (2012) : jumlah kasus = 2.494, mati = 858, fatality rate = 34,4%, menyebar di 27 negara terutama di timur tengah (jazirah arab)
3. EBOLA (sampai dengan 2014) : jumlah kasus = 34.453, mati = 15.158, fatality rate = 43,9%, menyebar terutama di wilayah Adrika Barat
4. COVID-19 (2020) : jumlah kasus = 102.188 (per sabbtu 7 Maret 2020), mati = 3.491, fatality rate = 3,4%, menyebar di lebih dari 100 negara di 5 benua

Dari data di atas nampak bahwa tingkat kematian (fatality/mortality rate) COVID-19 (3,4%) adalah terkecil dibandingkan wabah endemik lainnya, seperti SARS (9,6%), MERS (34,4%) dan EBOLA (43,9%), meskipun COVID-19 saat ini sudah mewabah di lebih dari 100 negara.

Salah satu kerakteristik utama COVID-19 yang dianggap paling membahayakan dibandingkan wabah lainnya adalah karena persebarannya yang sangat cepat dan masif. Namun jika ditelisik data dan faktanya secara lebih mendalam, serta membandingkannya dengan wabah-wabah lainnya seperti di atas, nampak bahwa COVID-19 tidak lah seseram dan menakutkan seperti kelihatannya.

Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh virus SAR-CoV-2 ini bisa begitu menghebohkan dunia, dan memunculkan beragam spekulasi yang tidak berdasarkan data dan fakta sebenarnya?

Mari kita lihat.

INFODEMIK

Mengiringi wabah COVID-19, infodemik adalah perang baru yang tidak kalah dahsyatnya dengan wabah virus. Jika corona adalah virus fisik, maka infodemik adalah virus virtual. Yang diserang dan hendak ditaklukkan adalah akal lemah dan tidak sehat, di bagian croc-brain.

Waktu SARS pertama kali terjadi dan dilaporkan WHO pada tahun 2002, media-sosial belum lahir. Facebook, Twiter, Whatsapp lahir dan berkembang sesudah tahun 2003. Teknologi internet saat itu masih terbatas dan bersifat “elitis”, belum menjadi konsumsi dan kebiasaan individu masyarakat global. Era disrutif di bidang teknologi dan bisnis yang kelak akan melahirkan start-up business masih dalam rintisan. Siapapun tidak pernah menyangka perkembangannya akan secepat ini, dan wacana tentang real-time information benar-benar akan terwujud. Karena itu maka pengetahuan tentang wabah SARS, hanya diperoleh secara terbatas dari provider media global yang kemudian diunduh oleh media-media local.

Ketika MERS pertama kali muncul di timur tengah pada tahun 2012, facebook sebagai media sosial yang paling banyak digunakan masih belum mendrive kebutuhan personal untuk melakukan “kampanye”, tapi masih dalam fungsinya sebagai media jejaring-sosial, aktualisasi diri, dan personal branding atau “tebar-pesona”. Mulai 2009 perkembangan media sosial makin marak dengan munculnya Whatsapp, Instagram, LINE, Google+ tapi masih dalam situasi kompetisi menghadapi Facebook. Begitu halnya dengan wabah EBOLA yang muncul di wilayah Afrika Barat sampai tahun 2014, mengiringi cerita pilu warga Afrika yang miskin dan terbelakang pada umumnya, tidak banyak mendapat perhatian kecuali untuk aktivitas charity dunia dengan program-program kemanusiaan PBB.

Puncak dari perkembangan dunia internet dan media-sosial adalah pada tahun 2016-2017 dimana setiap individu bisa menjadi apapun dan bisa memproduksi dan mempublikasi apapun yang ada dalam pikirannya, tanpa birokrasi dan seleksi yang biasa diterapkan oleh penyelanggara media massa konvensional. _*Pada titik ini pula tumbuh “industry hoax” dan era fallacy. Internet dan media social menjadi medan perang baru, dimana media-sosial menjadi alat-perang baru untuk merebut pengaruh*_.

Ketika COVID-19 yang dibawa oleh virus corona SARS-CoV-2 merebak di Wuhan Provinci Hubei China pada akhir 2019 dan akhirnya mewabah di lebih dari 100 negara di dunia saat ini, sosmed sedang berada di puncak popularitas-nya. Whatsapp (wa) digunakan oleh 1,5 miliar user, Facebook digunakan 1,3 miliar user, Instagram 800 juta user, Youtube dilaporkan telah digunakan oleh 2 miliar user setiap bulannya dengan 30 ribu content jam per hari. Ini belum termasuk blog dan micro-blog twitter.

Hasil riset We Are Social dan Hootsuite menyatakan bahwa penggguna internet global tahun 2020 berjumlah 4,5 miliar orang yang berarti sudah lebih dari 60% populasi penduduk dunia. Bisa kita bayangkan kecepatan dan persebaran sebuah content di media social, baik data-data yang dilansir oleh institusi resmi, maupun jutaan kreasi turunannya, termasuk yang bersifat rumors dan hoax

Subyektivitas pengguna media-sosial dan internet juga ikut mewarnai pertarungan pengaruh ini. Untuk wilayah yang “jauh” seperti afrika dan timur-tengah pada umumnya, kurang mendapat pemberitaan. Tapi ketika China tumbuh menjadi raksasa ekonomi baru di kancah global dan mulai mengancam dominasi dan hegemoni Amerika Serikat, berbagai issue muncul lebih massif dari sebelumnya, dari persoalan bisnis sampai ideologis dan belakangan issue keagamaan (“aliran”).

Efek dari kecemasan global berikut berbagai rumor dan hoax yang mengirinya, terbukti menekan perekonomian global, tidak terkecuali Indonesia. Berbagai kalkulasi dan prediksi ulang tengah dilakukan sebagai koreksi atas perhitungan masa depan perekonomian sebagai akibat dari COVID-19 ini.

Akhirnya, WHO pun menyadari bahwa infodemik bisa berpotensi menghancurkan kepercayaan publik, lebih dari bahaya endemi atau pandemi COVID-19. Karenanya pada kamis 5 Maret 2020 lalu, WHO meluncurkan menu baru pada situs https://www.epi-win.com/ yang dikelola WHO, sebagai pengembangan dari situs https://www.who.int/health-topics/coronavirus yang khusus menyediakan info-info resmi tentang COVID-19, diantaranya terdapat menu “update info” atau “covid-19 FAQ” dan lain sebagainya. Meskipun menu-menu ini masih sedang dikembangkan, tapi upaya WHO untuk menyediakan informasi yang valid (shahih) perlu didukung, agar infodemik tidak semakin merusak tatanan sosial yang sudah terbangun saat ini.

Situs WHO ini, tentu saja melengkapi situs-situs “swasta” yang menyediakan sumber data bagi publik untuk memantau perkembangan COVID-19 ini seperti aplikasi ArcGIS https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard yang dikembangkan oleh The Center for Systems Science and Engineering (CSSE) dari Johns Hopkins University (JHU), aplikasi https://multimedia.scmp.com/ yang dimiliki Alibaba dan situs https://thewuhanvirus.com/ yang ketiga situs ini biasa saya gunakan sebagai referensi/sumber data untuk memantau perkembangan covid-19.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kita bersyukur pemerintah merespon akan kebutuhan informasi yang sahih tentang perkembangan COVID-19 di dalam negeri, dalam bentuk penugasan resmi seorang pejabat Kementerian Kesehatan sebagai “juru-bicara” yang melaporkan perkembangan terbaru covid-19. Hanya saja, penugasan juru-bicara untuk melaporkan perkembangan covid-19 tentu saja sangat ketinggal jaman (jadul alias old-fashion) menghadapi kecepatan dan persebaran informasi melalui media social.

Menghadapi berbagai rumor tentang COVID-19 yang diproduksi dan disebarkan secara massif melalu media social, pemerintah semestinya mengembangkan strategi yang sama, terlebih pemerintah memiliki sumber daya yang lebih dari cukup untuk itu. Strategi yang dipilih pemerintah dengan bersikap lebih pasif dan follow the issues dalam bentuk membuktikan sebuah informasi adalah hoax atau bukan, harus dilengkapi teologi Johan Cruff “pertahanan terbaik adalah menyerang” (the best defence is offence), dengan menyajikan informasi yang benar dan valid sehingga lebih menjamin rasa aman dan nyaman masyarakat.

Sebagai bagian dari kesungguhan pemerintah, sebuah clearing-house berbasis internet harus segera dikembangkan agar masyarakat bisa mengakses secara langsung perkembangan covid-19 serta berinteraksi dan berpartisipasi langsung dengan system. Cukup dengan mengkampanyekan alamat url dari situs ini secara terus-menerus dan dibroadcast ke berbagai media online atau melalui media social, agar publik tidak menunggu update info COVID-19 melalu sang juru-bicara.

Herry ‘Ugie’ Sugiharto

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Pentingnya Kemudahan Persetujuan RKAB untuk Kemajuan Industri Pertambangan

Oleh

Fakta News

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, telah lama mengandalkan sektor pertambangan sebagai salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonominya. Industri pertambangan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara serta menawarkan peluang lapangan kerja bagi masyarakat. Namun, untuk memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan optimal, diperlukan langkah-langkah konkret yang mendukung kemajuan industri pertambangan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah kemudahan dalam persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

Dasar hukum dari RKAB diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) no 96 tahun 2021. Dalam pasal 177 ayat (1) disebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun dan menyampaikan RKAB Tahunan sebagai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan Usaha pertambangan kepada Menteri. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa RKAB Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan Menteri. Untuk ayat (3) disampaikan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan, penyampaian, dan persetujuan RKAB Tahunan diatur dalam Peraturan Menteri. Peraturan Menteri yang dimaksud di sini adalah Peraturan Menteri ESDM no. 10 tahun 2023 tentang Tatacara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya serta Tatacara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

RKAB merupakan dokumen resmi yang mengatur rencana kegiatan operasional dan anggaran biaya suatu perusahaan pertambangan untuk jangka waktu tertentu. Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Perhapi, menyampaikan secara umum kiat sukses untuk kelancaran pembuatan laporan RKAB sampai pengesahan persetujuannya sebagai berikut:
–  Siapkan perencanaan yang matang sebelum menyusun RKAB, terutama PIC/single accountability person yang bertanggung jawab dan mengkoordinir penyusunan tim RKAB.
–    Pastikan kewajiban keuangan PNBP dll telah dipenuhi serta tidak ada penjaminan usaha ke Pihak lain.

– Seluruh kegiatan operasional pertambangan (OP) tetap berada dalam lingkup area feasibility studies (FS) dan AMDAL.

–  Optimasi dokumen pendukung dan persyaratannya sesuai dengan Kepmen Nomor 373 Tahun 2023.
– Data sumberdaya dan cadangan harus disesuaikan, terutama laporan bersumber dari competent person Indonesia (CPI).

– Proaktif melalukan pemetaan, pendekatan dan komunikasi dengan evaluator, untuk meminta masukan terhadap  hasil evaluasi   sehingga dapat segera dilakukan perbaikan.

Sayangnya, menurut data terakhir masih sangat banyak RKAB yang belumn disetujui oleh Pemerintah, yang dalam hal ini adalah Kementerian ESDM. Untuk sektor batubara, dari sekitar 800-an RKAB, baru sekitar 400-an RKAB yang sudah disetujui menyisakan 400-an RKAB yang belum disetujui. Sementara, untuk komoditas mineral, sebagian besar RKAB justru masih dalam proses kajian. Lambatnya proses persetujuan RKAB menjadi sorotan oleh DPR. Pada rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR (26/3/2024), Wakil Ketua Komisi VII sempat mencecar Plt Dirjen Mineral dan Batubara terkait lambannya persetujuan RKAB ini.

Pentingnya kemudahan dalam pemberian RKAB sangatlah besar bagi kemajuan industri pertambangan di Indonesia, dan berikut ini adalah beberapa alasan mengapa hal ini menjadi krusial:

1. Mendorong Investasi

Kemudahan dalam pemberian RKAB akan menarik investasi baru ke sektor pertambangan Indonesia. Investor cenderung mencari lingkungan bisnis yang stabil dan berkepastian hukum. Dengan proses pemberian RKAB yang cepat dan efisien, investor akan merasa lebih percaya diri untuk menanamkan modalnya dalam proyek-proyek pertambangan di Indonesia.

2. Meningkatkan Produktivitas

Dengan adanya RKAB yang jelas dan terstruktur, perusahaan pertambangan dapat merencanakan kegiatan operasional mereka secara lebih efisien. Hal ini akan meningkatkan produktivitas karena memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya mereka dengan lebih baik, mengurangi waktu yang terbuang, dan meningkatkan output produksi.

3. Memperkuat Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan

RKAB juga memuat rencana lingkungan hidup yang harus dipatuhi oleh perusahaan pertambangan. Dengan kemudahan dalam pemberian RKAB, pemerintah dapat lebih ketat dalam mengawasi dan mengendalikan dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem lokal.

4. Mendorong Inovasi dan Teknologi

Proses pemberian RKAB yang lancar juga akan mendorong perusahaan pertambangan untuk mengadopsi inovasi dan teknologi terbaru. Dengan adanya jaminan kepastian operasional, perusahaan cenderung lebih terbuka terhadap investasi dalam teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi, keselamatan kerja, dan mengurangi dampak lingkungan.

5. Memberikan Manfaat Sosial dan Ekonomi

Kemudahan dalam persetujuan RKAB tidak hanya menguntungkan perusahaan dan investor, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal dan perekonomian secara keseluruhan. Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pemberdayaan masyarakat lokal, industri pertambangan dapat menjadi motor penggerak pembangunan di daerah-daerah sekitarnya.

6. Menunjukkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

Kemudahan dalam persetujuan RKAB juga dapat menunjukkan seberapa jauh industri pertambangan di Indonesia menggunakan komponen dalam negeri atau TKDN dalam operasionalnya. TKDN adalah aspek penting dalam hal rantai pasokan di dalam negeri. TKDN memberikan pengaruh penting pada pemasaran dan pengadaan barang di masyarakat.

Bagi Pemerintah, RKAB juga dapat digunakan untuk prognosa produksi dan penjualan, mengetahui besaran PNBP yang diterima Negara, kepastian pasokan agar seimbang dengan permintaan terhadap komoditi pertambangan, dan konservasi sumber daya alam. Selain itu, RKAB juga dapat menjadi alat Pemerintah untuk memprakirakan besaran investasi sektor pertambangan. Namun terdapat beberapa resiko bila persetujuan RKAB dibiarkan Pemerintah berlarut-larut tanpa kejelasan, yaitu berpotensi menyebabkan maraknya tambang ilegal, hilangnya pendapatan Negara (PNBP), dan juga kerusakan lingkungan hidup.

Kesimpulan

Kemudahan dalam pemberian RKAB sangat penting untuk kemajuan industri pertambangan di Indonesia. Dengan proses yang cepat, efisien, dan transparan, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan sektor pertambangan yang berkelanjutan, menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara, dan tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan terkait perlu bekerja sama untuk memperbaiki regulasi dan proses yang terkait dengan pemberian RKAB guna menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berkelanjutan bagi industri pertambangan di Indonesia. Oleh karena itulah, tidak seharusnya pejabat yang berinisiatif dalam mempermudah persetujuan RKAB malah dihukum.

Baca Selengkapnya

BERITA

Hilirisasi Dinasti ala Jokowi

Oleh

Fakta News

Dikutip detikcom dari KBBI, Senin (23/10/2023), hilirisasi berarti penghiliran atau mengolah bahan baku menjadi barang siap pakai. Tapi pengertian dalam arti Dinasti Jabatan, dimana Individu yang bisa di katakan belum matang secara kapasitas dan kapabilitas dijadikan mengemban jabatan baik itu kepala daerah ataupun ketua partai.

Kita bisa melihat sebuah tontonan yang sangat dramatis layaknya Drama Korea, dimana seorang kepala negara membuat skenario dengan kekuasaan yang dimiliki, menaikkan anak menjadi kepala daerah lalu dilanjutkan menjadi calon wakil kepala negara, untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinannya yang hampir habis, lewat bantuan sang paman yang kebetulan bertugas mrloloskan sang krponakan, dari jalur konstitusi yang diubah sesuai kebutuhan sang keponakan untuk menjadi Cawapres.

Belum lagi sang adik yang sebelumnya menjadi YouTubers yang sempat dilaporkan gara-gara Ucapan ‘dasar ndeso’ memang pernah dilontarkan dalam video yang berjudul #BapakMintaProyek. Video diunggah sang adik pada 27 Mei 2017 dan telah dilihat 1.442.057 kali.

Sekarang sang adik yang baru masuk di partai 2 hari pada awalnya berjualan pisang, malah di angkat menjadi ketua umum partai bunga mawar, sangat miris sebuah partai anak muda tapi pola pemilihannya ala orang tua, dimana tidak berjalannya kaderisasi di sebuah partai, yang wajib mengedepankan meritokrasi.

Seperti tidak mau kalah juga sang mantu dilibatkan menjadi kepala daerah, apakah belum cukup mempertontonkan keluarga yang seperti haus akan kekuasaan, dengan dalil demokrasi dan kepentingan bangsa.

Logika kita seperti dibolak-balik, demokrasi apakah bisa berjalan sesuai jalur dengan mengedepankan konstitusi dan pilihan rakyat? tetapi sang Ayah masih memiliki kekuasaan tertinggi dan bisa mengatur segala hal yang bisa memudahkan dan menganjurkan sesuai kepentingannya, jadi sulit untuk kita bicara netralitas,Karena conflict of interest tidak bisa dihindari.

Balik ke sebuah jargon yang selalu kita dengar hilirisasi nikel, tembaga, alumunium, bauksit, lalu Hilirisasi Digital sekarang inilah wujud nyata Hilirisasi Dinasti yang lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan keluarga untuk masa kini dan nanti.

Di tambah statement Jokowi 24 Januari 2024 bahwa Presiden boleh berkampanye dan memihak asal tidak menggunakan fasilitas negara kita bisa liat Pasal 43 ayat (1) UU HAM menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, baik sebagai pemilih maupun calon.

Penting diketahui bahwa dalam situasi pemilihan umum, seorang presiden seharusnya menunjukkan sikap netral, tanpa memihak pihak manapun, guna memastikan jalannya proses pemilihan yang demokratis, jujur, dan adil. Hal ini sesuai dengan perannya sebagai pemimpin pemerintahan dan kepala negara sesuai konstitusi.

Berlandaskan peraturan perundang-undangan, UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan amanat terkait netralitas presiden. Misalnya, Pasal 48 ayat (1) huruf b mengharuskan KPU melaporkan seluruh tahapan pemilu kepada DPR dan Presiden

Lebih rinci, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu mengatur peran presiden dalam membentuk tim seleksi untuk calon anggota KPU yang diajukan ke DPR. Oleh karena itu, presiden diwajibkan menjaga netralitasnya sepanjang proses pemilu.

Penggunaan wewenang oleh presiden, sebagai kepala negara dan pemerintahan dalam konteks pemilihan umum, harus dihindari agar tidak terjadi pencampuran wewenang.

Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa pencampuran wewenang mencakup tindakan di luar batas kewenangan atau bertentangan dengan tujuan yang ditetapkan.

Semoga rakyat bisa berpikir lebih jernih, hati yang tulus melihat fenomena Hilirisasi Dinasti yang sekarang ada di hadapan kita. Pilihan ada di setiap individu dan banyak yang bilang kalah dan menang kita gini-gini aja sebuah pola pikir yang harus di luruskan. Karena pilihan kita yang kita pilih akan membuat kebijakan ataupun regulasi yang bisa berpengaruh dalam hidup kita 5 tahun ke depan. Kalau salah pilih, bisa saja pajak yang naik, malah gaji yang tidak naik, ataupun kebijakan yang menguntungkan oligarki di banding rakyat pada umumnya.

Baca Selengkapnya