Connect with us
Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN)

Hari Cinta Pulau Rinca

Hari Cinta Pulau Rinca adalah judul artikel yang saya plesetkan dari Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) yang diperingati pada tanggal 5 November di setiap tahunnya berdasarkan Kepres Nomor 4 tahun 1993.

Menjelang peringatan HCPSN yang ke-27 tahun ini, saya lebih menyukai dengan menyebutnya sebagai Hari Cinta Pulau Rinca. Alasannya sederhana saja, Pulau Rinca saat ini sedang hangat dibicarakan karena di sana akan dibangun sarana prasarana pariwisata ala-ala Jurassic Park.

Sementara foto viral seekor komodo tengah berhadapan dengan truk pengangkut material cukup berhasil mengamplifikasi gerakan penolakan proyek tersebut.

Dalam catatan Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Pulau Rinca disebutkan sebagai sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau Rinca beserta Pulau Komodo dan Pulau Padar merupakan kawasan Taman Nasional Komodo yang dikelola oleh Pemerintah Pusat.

Pulau Rinca berada di sebelah barat Pulau Flores, yang dipisahkan oleh Selat Molo. Pulau ini juga merupakan bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO, karena merupakan kawasan Taman Nasional Komodo bersama dengan Pulau Komodo.

Di pulau ini hidup berbagai jenis binatang seperti komodo, babi liar, kerbau dan burung. Pulau Rinca dapat dicapai dengan perahu kecil dari Labuan Bajo di Flores barat.

Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Dan, saat ini di atas pulau dengan luas total yang mencapai 20 ribu hektare seluas lima hektare tengah dibangun sarana dan prasarana, dermaga, fasilitas-fasilitas mass tourism yang dibutuhkan wisatawan.

Aspek Pertimbangan

Terlepas dari pro dan kontra terhadap pembangunan “Jurassic Park” di Pulau Rinca, -Kepala Biro Humas Sekretariat Daerah Nusa Tenggara Timur, Marius Jelamu menyebut bahwa konsep pembangunan itu bukan seperti Jurassic Park tetapi ekowisata- ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan (pembangunan sarana dan prasarana, dermaga, fasilitas-fasilitas mass tourism) pulau tersebut sebagai destinasi wisata.

Pertama, mempertimbangkan aspek konservasi. Pemerintah dengan sangat jelas sudah menyebutkan proyek tersebut dibangun dengan perencanaan yang penuh pertimbangan terhadap aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Pembangunan sarana prasarana wisata juga merupakan bagian dari usaha konservasi terpadu komodo di sana. Hal itu ditunjukkan dengan cetak biru adanya gedung riset yang diperuntukkan untuk para peneliti.

Dalam aspek konservasi ada satu catatan penting yang mutlak harus diperhatikan yaitu di Pulau Rinca sebagai lingkungan fisik atau habitat yang di dalamnya terjadi hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya dalam suatu sistem ekologi (ekosistem).

Komodo yang ada di pulau ini tentu tidak hidup sendiri. Di sana ada babi liar, kerbau, burung dan fauna jenis lainnya serta beberapa flora yang saling berinteraksi dalam suatu rantai makanan.

Betapa pun kecilnya (relatif kecil) sarana dan prasarana yang dibangun di sana sedikit banyaknya akan mengubah habitat dan sistem ekologi di pulau itu. Perubahan yang akan terjadi yang sangat perlu diperhatikan (diminimalisir) agar tidak berakibat terjadi perubahan kesetimbangan ekosistem.

Kedua, betapa pun kecilnya perubahan habitat apabila terjadi perubahan sistem ekologi maka akan berdampak terajadi perubahan perilaku komodo termasuk hewan lainnya. Meskipun ada pemisahan antara wisatawan dengan komodo secara fisik, tetapi bila ada atraksi tentang komodo yang dipertontonkan kepada wisatawan seperti pemberian makan maka berpotensi terjadi perubahan perilaku alamiah dari komodo tersebut.

Apabila atraksi ini berlangsung bertahun-tahun, bukan tidak mungkinn terjadi perbahan perilaku koloni komodo yang ada di pulau tersebut.

Ketiga, tren pariwisata. Ada statement dari pemerintah yang cukup menarik bahwa sarana prasarana priwisata yang dibangun di Pulau Rinca diperuntukkan bagi kepentingan wisata masal walau tetap mengusung konsep ekowisata.

Ada catatan dari penelitian terhadap tren wisata di masa pandemi dan pasca pandemi yang perlu diperhatikan. Ada tiga tren wisata yang barangkali peru diperhatikan dalam menjadikan Pulau Rinca sebagai destinasi wisata yaitu perubahan wisata masal beralih kepada wisata individual, lebih memilih destinasi berjarak relatif dekat, dan lebih memilih menempuh perjalanan darat.

Ketiga tren wisata yang terjadi pada masa pandemi dan pasca pandemi tentu harus mendapat perhatian dan merupakan aspek yang juga harus dipertimbangkan dalam pembangunan destinasi wisata di Pulau Rinca. Ketiga tren wisata tersebut tentu akan mempengaruhi pergerakan dan jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke pulau tersebut.

Jangan sampai sarana prasara yang dibangun di pulau terbut menjadi “mubazir” karena jumlah wisatawan yang datang atau mengunjungi Pulau Rinca tidak bisa menutupi biaya pemeliharaan sarana prasara apalagi untuk biaya konservasi di pulau tersebut.

Pada peringatan HCPSN nasional yang ke-27 tahun ini –HCPSN ini pertama kali diperingati pada tahun 1993– paradigma mencintai puspa dan satwa nampaknya harus mengalami perubahan yang mendasar. Tujuannya sudah jelas yaitu untuk meningkatkan kepedulian, perlindungan, pelestarian puspa dan satwa nasional serta untuk menumbuhkan dan mengingkatkan akan pentingnya puspa dan satwa dalam kehidupan kita, barangkali harus sedikit diubah menjadi seberapa penting pariwisata kita terhadap puspa dan satwa dalam kehidupan mereka.

 

Lian Lubis

Biolog, Perancang Kota

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya