Connect with us
Bahaya SARAcen

Di Balik Bantahan Eggi Sudjana, Ampi Tanudjiwa dan Sri Rahayu Ningsih

Jakarta – Hingga saat ini, polisi belum berhasil mengungkap siapa pemesan konten-konten ujaran kebencian yang diproduksi sindikat Saracen. Kabag Mitra Biro Penmas Divisi Humas Polri Kombes Pol Awi Setiyono mengatakan, tiga tersangka sindikat Saracen yang ditangkap, tidak terbuka saat pemeriksaan.

Kendati begitu, polisi masih mendalami siapa saja pihak-pihak yang memesan sindikat Saracen. “Yang lain-lain terkait dengan kelompok-kelompok mana yang pernah pesan, atau siapa yang pernah pesan kepada mereka, ini masih proses pendalaman,” ujar Awi.

Sebelumnya, dalam kasus ini polisi menangkap tiga orang tersangka, yaitu Jasriadi (32) yang berperan sebagai ketua, Muhammad Faizal Tanong (43) sebagai koordinator bidang media dan informasi, serta Sri Rahayu Ningsih (32) sebagai koordinator grup wilayah.

Sementara akibat perbuatannya itu, Jasriadi disangkakan melakukan tindak pidana ilegal akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat 2 jo Pasal 30 ayat 2 dan atau Pasal 46 ayat 1 jo Pasal 30 ayat 1 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016, dengan ancaman tujuh tahun penjara.

Sementara Muhammad Faisal Tanong dan Sri Rahayu Ningsih disangkakan melakukan tindak pidana ujaran kebencian atau hate speech dengan konten SARA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE, dengan ancaman enam tahun penjara, dan atau Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman enam tahun penjara.

Dalam perkembangan penyelidikan, polisi juga akan mengundang pihak-pihak yang namanya tercantum di struktur organisasi Saracen.”Syukur-syukur nama-nama yang ada di situ, silakan langsung ke Bareskrim untuk mengklarifikasi. Ya lebih bagus. Tapi itu tadi, masih dalam proses perencanaan,” jelas Awi.

Namun, Awi menegaskan, pihaknya tidak akan sembarangan memanggil orang-orang tersebut untuk dimintai klarifikasi. “Kita juga tidak sekonyong-konyong memanggil orang-orang yang ada dalam struktur (Saracen) itu. Kalau tidak ada benang merahnya, ya tidak (diundang). Sifatnya bukan memanggil, tapi mengundang untuk klarifikasi,” Awi menambahkan.

Keterangan Awi itu, sekaligus menjawab sikap keras Eggi Sudjana yang namanya tercancum dalam struktur keorganisasian Saracen. Dalam daftar nama struktur organisasi Saracen, Eggi bersama Mayjen (Purn) Ampi Tanudjiwa disebut sebagai dewan penasihat Saracen.

Namun baik Ampi maupun Eggi, membantah keras tuduhan itu. Bahkan Eggi mengancam, karena merasa difitnah dan dikriminalisasi terkait pencantuman namanya di struktur organisasi Saracen. “Secara ilmu hukum, saya punya hak hukum sebenarnya. Di-cover dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Yang intinya, menjadikan saya dicemarkan namanya dan difitnah. Maka saya punya hak hukum untuk melapor,” kata Eggi. Namun siapa yang akan dilaporkan Eggi, tidak jelas.

Bantahan serupa dilontarkan Ampi Tanudjiwa. Dia membantah terlibat dalam sindikat penyebar ujaran kebencian bernada SARA dan hoax itu. “Hanya Eggi Sudjana yang saya kenal. Saya lagi nanya Pak Eggi. Saya hubungi Eggi, dia di Mekah,” kata Ampi saat dikonfirmasi, Jumat (25/8/2017).

Ampi mengaku, tak mengerti dan tidak mengetahui soal sindikat Saracen yang kini ramai diperbincangkan, setelah sejumlah pengurusnya ditangkap polisi karena dianggap bertanggung jawab dalam penyebaran konten ujaran kebencian. “Saya belum tahu Saracen apa artinya. Banyak yang menelepon saya, saya enggak tahu, singkatan apa, kerjanya pun enggak tahu juga,” katanya.

Tak terima namanya dicatut di dalam struktur Saracen, Ampi berencana melakukan gugatan. “Saya akan gugat perdata dan pidana,” kata Ampi. Saat masih menjadi perwira aktif di lingkungan TNI AD, beberapa jabatan penting diemban Ampi. Dia pernah menjabat Komandan Korem pada tahun 1995-1997. Kariernya kian moncer saat menjabat Kepala Staf Kodam Wirabuana. Bintang dua dia capai saat kariernya menjabat Wakil Komandan Diklat TNI di Bandung.

Saat TNI masih memiliki kursi di DPR, Ampi pernah duduk sebagai anggota DPR untuk Fraksi TNI/Polri selama 36 bulan.

Ketika pemilihan presiden lalu, Ampi terlibat menjadi tim sukses salah satu pasangan calon, bersama Rijal Kobar yang sudah divonis ujaran kebencian. “Oh iya, saya di sana (tim sukses pemenangan salah satu calon). Jadi Ketua Pembinanya, bareng Rizal Kobar, Eggi Sudjana,” ujar Ampi.

Selain mengancam pihak kepolisian, Eggi juga tampak berang dan mengancam akan mengambil langkah hukum, pidana dan perdata, terhadap beberapa phak yang menuduhnya terlibat dalam kelompok penebar berita palsu dan kebencian berkedok suku, agama, dan ras tersebut. Salah satu pihak yang diancam diadukan oleh Eggi, adalah Sekretariat Nasional Jokowi (Seknas Jokowi) dalam hal ini Ketua Bidang Hukum Seknas Jokowi Dedy Mawardi.

“(Dedy Mawardi) dia nyerang kita, nyebut kita harus disikat segala macam, seolah-olah saya sudah bersalah. Kan asas praduga tak bersalah tidak boleh begitu, itu memancing kita perang,” kata Eggi di sebuah berita online nasional.

Menanggapi ancaman Eggi, Dedy Mawardi mengaku siap menghadapi langkah hukum yang akan ditempuh oleh Eggi baik pidana maupun perdata. “Sebagai warga negara yang taat hukum, Insya Allah saya tidak takut dengan Eggi. Dan perlu saya sampaikan bahwa saya tidak akan melarikan diri keluar negeri,” ujar Dedy.

Aktifis Relawan

Rupanya, Sri Rahayu Ningsih (SRN) salah satu tersangka yang diciduk polisi, adalah juga simpatisan yang pernah hadir di deklarasi relawan Anies – Sandi saat pilkada DKI Jakarta. Selain itu, juga hadir di posko Kang Tatang untuk bakal calon Gubernur Jabar dari salah satu partai dan berfoto riang bersama tim sukses Tatang lainnya.

IMG-20170826-WA0028

Deklarasi dukungan pilkada

Seorang pengamat Alifurrahman mengaku, kegiatan Saracen ini unik. Menurutnya, hal ini mengubah pandangannya terhadap Saracen. “Yang semula saya pikir kelompok buzzer yang hanya mencari uang demi makan, tapi sepertinya mereka adalah kolompok pasukan politik. tentu tidak mudah bagi orang biasa yang tidak punya jaringan politik, bisa masuk foto-foto di kantor DPC, ikut dalam deklarasi dukungan Cagub Cawagub dari partai tertentu,” tuturnya.

Bagaimanapun, lanjut Alifurrahman, sampai saat ini masih mencari tahu siapa saja klien Saracen dalam pembentukan isu, hoax dan penghinaan. “Tapi kalau melihat gambar-gambar yang saya capture dari akun SRN, sebenarnya menjadi mudah disimpulkan. Tetapi selama belum terbukti, tentu hanya bisa bertanya-tanya saja soal kait mengkait dengan berbagai tokoh yang berkepentingan,” tuturnya.

M Riz

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal

Oleh

Fakta News
Target APK Pendidikan Tinggi Tidak Mungkin Tercapai Jika Biaya Kuliah Mahal
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat kunjungan kerja reses di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap mahalnya biaya pendidikan tinggi di perguruan tinggi negeri. Menurutnya, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi itu dapat menghambat pencapaian target pemerintah dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi. Menurut data tahun 2023, APK untuk laki-laki hanya 29,12 persen dan untuk perempuan 33,87 persen, angka yang jauh dari target yang diharapkan.

Konsekuensinya, tambah Ledia, dengan biaya pendidikan yang sangat mahal  itu banyak calon mahasiswa yang terhambat untuk melanjutkan pendidikan. “Dengan mahalnya perguruan tinggi negeri ini, bagaimana mungkin kita bisa mencapai target APK yang lebih baik jika banyak anak-anak kita yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya?” ujar Ledia kepada Parlementaria, di Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (06/05/2024).

Diketahui, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang masih bersekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (tanpa memandang usia penduduk tersebut) dengan jumlah penduduk yang memenuhi syarat resmi penduduk usia sekolah di jenjang pendidikan Perguruan Tinggi (PT) (umur 19- 23 tahun).

Ledia pun mengkritik sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berlaku di banyak perguruan tinggi, yang menurutnya masih memberatkan bagi sebagian besar calon mahasiswa. “Ada perguruan tinggi dengan sistem UKT yang sangat tinggi, dan ada pula yang menengah namun tetap mahal, belum lagi adanya uang pangkal yang harus dibayar di awal,” ujar politisi Alumni Master Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia ini.

Ledia juga menyoroti perlunya sebuah sistem pendidikan tinggi yang lebih pro kepada masyarakat, terutama bagi warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan akademis namun ada keterbatasan ekonomi. “Kita perlu membuat sistem yang lebih baik, yang lebih mendukung anak-anak kita untuk bisa kuliah tanpa dibebani biaya yang tidak mampu mereka tanggung,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.

Lebih lanjut, Ledia menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus diakses oleh semua lapisan masyarakat. “Kita membuat kampus itu mandiri, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan warga negara Indonesia, terutama anak-anak muda kita yang sebenarnya punya kemampuan dalam akademisnya tapi tidak dalam ekonominya,” ujarnya.

Kebijakan saat ini, menurut Ledia, harus segera dibahas dan diperbaiki, dengan keterlibatan langsung dari kampus-kampus dan pemerintah untuk mencari solusi yang efektif. “Perlu ada diskusi serius antara pemerintah dengan perguruan tinggi untuk menata ulang sistem pendanaan pendidikan tinggi di negara kita,” tutur Ledia.

Dalam mencari solusi, Ledia juga menyarankan agar perguruan tinggi negeri bisa terhubung lebih baik dengan program beasiswa dan bantuan finansial lainnya yang bisa membantu meringankan beban mahasiswa. “Harus ada lebih banyak opsi beasiswa dan bantuan finansial yang dapat diakses oleh mahasiswa yang membutuhkan,” ucap Ledia.

Ledia berharap bahwa dengan perbaikan sistem yang lebih inklusif dan mendukung, Indonesia bisa mencapai tujuan menjadi negara dengan sumber daya manusia yang unggul pada 2045. “Ini semua tentang membangun fondasi yang kuat untuk pendidikan tinggi di Indonesia, memastikan semua anak berhak dan mampu mendapatkan pendidikan yang layak,” pungkasnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah

Oleh

Fakta News
Geramnya Komisi II terhadap Biaya PBB yang Membengkak Akibat Sertifikat Tanah
Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024). Foto : DPR RI

Maros – Anggota Komisi II DPR RI Rosiyati MH Thamrin mengecam kebijakan terkait sertifikat tanah yang merugikan masyarakat. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan keprihatinannya terhadap biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis setelah penerbitan sertifikat tanah.

“Sangat disayangkan melihat betapa besarnya biaya PBB yang harus ditanggung masyarakat setelah memiliki sertifikat tanah. Hal ini menjadi hambatan besar bagi petani dan pengguna lahan lainnya untuk mendaftarkan tanah mereka,” ujar Rosiyati MH Thamrin saat Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi II ke Maros, Sulawesi Selatan, Senin (06/05/2024).

Menurutnya, masyarakat enggan membuat sertifikat tanah karena adanya komponen biaya PBB yang meningkat secara signifikan setelah kepemilikan tanah tersebut bersertifikat. Hal ini berdampak negatif terutama bagi para petani dan pengguna lahan lainnya yang mayoritas hidup dengan penghasilan terbatas.

Rosiayati pun menyerukan pentingnya koordinasi antara pemerintah daerah dan Dinas Pajak untuk meninjau ulang kebijakan terkait tarif PBB. “Saya berharap agar Dinas Pajak dapat mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak dan menyesuaikan tarif PBB dengan lebih adil,” tambahnya.

Kemudian, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menegaskan bahwa pembenahan terhadap kebijakan tersebut penting dilakukan agar masyarakat merasa lebih terbantu dan terjamin hak-haknya atas tanah yang mereka miliki.

“Pemerintah harus fokus pada upaya mempermudah akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah dengan biaya yang terjangkau, sehingga tidak menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” tutupnya.

Baca Selengkapnya

BERITA

PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!

Oleh

Fakta News
PON XXI Sebentar Lagi, Pembangunan Venue Ternyata Belum Tuntas!
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Tim Komisi X DPR RI, di Kota Medan Sumatera Utara, Senin (06/05/2024). Foto: DPR RI

Medan – Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, kekhawatirannya terkait kesiapan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI yang dijadwalkan pada September 2024 di Aceh dan Sumatera Utara. Ledia menyatakan bahwa meskipun pemerintah daerah telah berkomitmen dengan mengalokasikan dana besar, masih terdapat kekurangan yang perlu ditangani oleh pemerintah pusat.

“Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp2,1 triliun, dan belum lagi dari Pemerintah Kabupaten/Kota dari APBD untuk pembangunan venue dan lain-lain. Namun, ada beberapa hal penting yang masih harus di-cover oleh pemerintah pusat,” ujar Ledia, Medan, Sumatera Utara, Senin (6/5/2024).

Menurutnya, masih ada kebutuhan dana tambahan untuk menyelesaikan infrastruktur yang belum rampung. “Persoalnnya ada hal yang harus dicover oleh pemerintah pusat, apakah itu bisa selesai atau enggak. Kita belum tahu sampai sekarang pemerintah daerah juga enggak bisa apa-apa, itu sangat tergantung dari pusat,” ujarnya.

Ledia juga menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI telah mengusulkan agar penundaan PON hingga awal tahun 2025 untuk memastikan semua persiapan bisa tuntas. “Beberapa dari kami sudah mengusulkan untuk ditunda sampai Januari atau Februari 2025 sehingga penyelenggaraannya bisa berjalan dengan baik dan tidak terburu-buru,” tegas Ledia.

Selain itu, Ledia menekankan bahwa ada kesamaan situasi dengan PON sebelumnya di Papua, yang juga harus diundur karena pandemi COVID-19. “Situasinya serupa dengan apa yang terjadi di Papua. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan,” tegasnya.

Ledia juga berharap dengan waktu yang masih ada, bisa di optimalkan dengan baik. “Harapan nanti penyelenggarannya bisa berjalan dengan baik, karena ini baru pertama kali diselenggarakan di dua  provinsi, belum lagi setelah itu ada peparnas untuk disabilitas. Nah jadi memang harusnya lebih matang, kalau memang belum siap jangan dipaksakan,” ungkap Ledia.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah berkomitmen untuk juga menggunakan venue yang sudah ada dengan memperbaikinya. Namun, Ledia menyatakan, “Sekarang ini yang ditunggu adalah dukungan anggaran dari pemerintah pusat, bisa atau tidak,” ungkapnya.

Ditambah lagi, menurut Ledia, “Telah dianggarkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak Rp300 miliar untuk biaya operasional seperti pembayaran wasit dan juri, namun untuk infrastruktur, kecepatan penyelesaian dari pemerintah pusat masih menjadi tanda tanya”.

Kekhawatiran terus mengemuka seiring dengan mendekatnya waktu pelaksanaan PON XXI, dengan banyak pihak berharap agar pemerintah pusat dapat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persiapan yang masih tertunda.

Baca Selengkapnya