Connect with us

Menteri Perdagangan, Produksi Diksi Kegagalan Pemerintah Melawan Mafia Minyak Goreng

Bak pentas drama dengan tajuk kelangkaan minyak goreng, epilog drama menampilkan penuh sesaknya minyak goreng kemasan  di minmarket , invisible hand telah menunjukkan taji siapa penguasa minyak goreng sebenarnya di republik ini.

Menteri Perdagangan dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR RI, Kamis (17/3) akhirnya setelah dua kali absen, datang memaparkan sebab musabab kelangkaan minyak goreng yang melanda hampir lebih tiga bulan ! Ini belum terhitung di periode November 2021 manakala Kemendag bersama pelaku usaha berkomitmen menyediakan minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 1 juta liter seharga Rp 14.000/liter untuk Natal dan Tahun Baru. Jika terhitung periode tersebut, maka rakyat merasakan lebih dari 5 bulan mengalami kelangkaan.

Enam jurus pemerintah mengatasi permasalahan belumlah cukup. Alokasi pembiayaan selisih harga dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 7,6 triliun berdasarkan regulasi Permendag 3/2022 juga belum mempan. Hingga akhirnya, 16 Maret 2022 Kemendag mencabut Permendag 6/2022 yang mengatur HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter, kemasan sederhana Rp13.500 per liter, dan kemasan premium Rp14.000 per liter. Sementara dalam aturan pengganti yang tertuang dalam Permendag Nomer 11 tahun 2022, HET minyak goreng curah jadi Rp14.000 per liter dan harga kemasan premium diserahkan kepada mekanisme pasar alias tanpa HET. Selain itu turut mencabut Permendag 8/2022 tentang kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).

Bak pentas drama dengan tajuk kelangkaan minyak goreng, pasca peraturan tersebut disampaikan epilog drama menampilkan lambat laun minyak goreng kemasan memenuhi minmarket, invisible hand telah menunjukkan taji siapa penguasa minyak goreng sebenarnya di republik ini.

Baik kita memberikan apresiasi, setidaknya Kemendag M.Lutfi memiliki kemampuan memberikan gambaran yang tepat dalam menyampaikan kondisi kelimpungan pemerintah, tidak bisa mengontrol para spekulan minyak goreng (mafia) serta mengakui dirinya memiliki keterbatasan dan wewenang dalam undang-undang untuk mengusut tuntas para mafia dan spekulan.

Wacana Politik Mafia Pangan

Sebagai relawan pemerintahan Joko Widodo yang tergerak atas dasar wacana optimisme dan tindakan politik Joko Widodo yang out of the box dalam menyelesaikan problem kebangsaan, pernyataan Kemendag M.Lutfi justru berkontradiksi dengan bangunan wacana, gagasan kebangsaan dan political will kerakyatan rezim ini yang akan berakhir di 2024.

Diksi yang disampaikan Kementerian Perdagangan M.Lutfi sangat berbahaya mengingat kekuasaan tidak saja dipandang dalam entitas kepemilikan. Namun kekuasaan dapat juga dipandang sebagai entitas yang secara terus menerus akan menciptakan entitas pengetahuan, begitu pun sebaliknya, penyelenggaraan pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan, meminjam istilah Foucault, kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang dengan suatu ekonomi wacana kebenaran.

Rezim kekuasaan selalu memproduksi wacana “Mafia Pangan” menjadi agen/aktor pelaku utama penyebab krisis pangan atau pertanian yang terjadi di rakyat mapun dikalangan petani. Sebut saja Mafia Gula, Mafia Cabai, Mafia Daging, dan Mafia Pupuk serta banyak mafia lainnya. Wacana ini sayangnya justru menjadi kebenaran dalam diskursus membangun kedaulatan pangan dan pemerintah melalui Kemendag M.Lutfi turut latah, memproduksi wacana tersebut dalam komunikasi politik di publik.

Alih-alih menampilkan kekuatan sumber daya kekuasaan, legitimasi dan kompetensi pemerintah dalam mengatasi problem kelangkaan minyak goreng, Kemendag justru melemparkan bola panas kelembaga lain, seakan kehilangan ingatan bahwa untuk menjalankan roda republik tidak dapat berdiri sendiri, setiap kelembagaan bersinergi dengan kelembagaan lain. Misalnya saja,  perangkat peraturan yang dibuatnya sendiri, berdasarkan Permendag No.3 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan Oleh BPDPKS ditandatangani 16 Januari 2022 disebutkan Pasal 14 dalam menjalankan fungsinya, Kementerian Perdagangan sebagai pembina dan pengawas membentuk tim pengawas yang terdiri dari perwakilan; Kemenko Perekonomian, Sekretariat Kabinet, Kemenkumham, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Pemerintah Daerah, Satuan Tugas Pangan dan BPDPKS.

Penguasa Kelapa Sawit

Sebaliknya, wujud nyata siapa sebenarnya Mafia Pangan sendiri tidak tampil di publik. Kita justru lebih mudah memeriksa siapa sebenarnya pemain besar dan seberapa besar komitmen pemerintah untuk membangun industri kelapa sawit yang kuat.

Berdasar data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Januari 2022 produsen minyak goreng mengerucut diduduki 4 produsen utama yang memiliki pangsa pasar berturut-turut sebesar 14 persen, 13,3 persen, 11 persen, dan 8,2 persen. Sementara itu perhitungan rasio kosentrasi dari 4 produsen tersebut atau CR (4) menunjukkan total pangsa mencapai 46,5 persen yang menunjukkan bahwa pasar bersifat monopolistik dan mengarah ke oligopoli.

Kementerian Pertanian merilis Buku Statistik Perkebunan 2019-2021 memberikan gambaran sebagian besar kelapa sawit Indonesia diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS) yaitu sebesar 54,94% atau seluas 7,94 juta hektar dan perkebunan rakyat (PR) sebesar 40,79% atau sekitar 5,89 juta hektar, sedangkan perusahaan besar negara (PBN) sekitar 4,27% atau  617,5 ribu hektar. Adapun total produksi minyak sawit tahun 2021 sebesar 49,71 juta ton/tahun dengan rincian PBS sebesar 30,728 juta ton/tahun atau sekitar 61,81%, dan PR sekitar 16,75 juta ton/tahun atau sekitar 33,70% dan PBN sebesar 2,22 juta ton/tahun atau sekitar 4,47%.

Dari PBS tersebut The Science Agriculture tahun 2020 melansir 10 perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia menurut pendapatan. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology atau yang biasa disingkat SMART berhasil menempati urutan puncak dengan pendapatan mencapai Rp 40,3 triliun. Mengelola lahan seluas 137,37 ribu hektar dengan pembagian 106,42 ribu hektar lahan produktif perusahaan dan 31,30 ribu hektar digunakan untuk lahan plasma dengan petani setempat. PT Astra Agro Lestari menempati peringkat ke dua dengan pendapatan Rp 18,8 triliun, kemudian PT Salim Invomas Pratama Tbk sebesar Rp 14,4 triliun dan keempat ditempati PT.Dharma Satya Nusantara Tbk sebesar Rp 6,6 triliun.

Bagaimana dengan PBN atau PT Perkebunan Nusantara (Persero)/PTPN Group. Tahun 2021 ketika PBS berjaya meraih keuntungan sebaliknya PTPN Group justru berkubang mengurusi utang yang nilainya mencapai Rp 74 triliun. Terlebih hutang tersebut tidak hanya berasal dari kredit bank-bank Himbara (Himpunan Bank-Bank Milik Negara) dan bank swasta dalam negeri, namun juga berasal dari bank asing. Hutang menggunung disebabkan bentuk korupsi terselubung yang berlangsung sejak lama.

Membenahi Industri Sawit Nasional

Tahun 2015 pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Terobosan pemerintah ini diharapkan dapat membangkitkan industri kelapa sawit Indonesia terlebih khususnya perkebunan rakyat. Pada tahun 2021 perolehan pungutan periode Januari hingga pertengahan Desember 2021 telah menembus Rp 69 triliun. Dana ini lebih besar dibanding tahun sebelumnya hingga Desember 2020 telah menghimpun Rp 21,24 triliun.

Salah satu program BPDPKS adalah melakukan peremajaan perkebunan kelapa sawit rakyat (PSR), dimaksudkan untuk peningkatan produktivitas tanaman perkebunan kelapa sawit serta menjaga luasan lahan perkebunan agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Meski Indonesia menjadi produsen terbesar kedua dunia namun, produktivitas CPO masih kurang dari 3-4 ton per hektar. Jika dibandingkan Malaysia yang hanya memiliki luasan lahan 5,3 juta hektar, produktivitas lahan sawit dapat mencapai 4-6 ton per hektar.

Realisasi pencapaian program PSR sayangnya jauh dari harapan, tahun 2017 dari target 20,78 ribu hektar hanya tercapai 13,21 ribu hektar. Tahun 2018 dari target 185 ribu hektar hanya tercapai 15,28 ribu hektar, tahun 2019 dari target 180 ribu hektar hanya tercapai 55,32 ribu hektar, dan tahun 2020 dari target 180 ribu hektar baru tercapai 55,94 ribi hektar dan tahun 2021 dari target 180 ribu periode April baru terealisasi 1,23 ribu hektar. Dana yang telah disalurkan sejak tahun 2016 hingga 22 Desember 2021 sebesar Rp 6,59 triliun.

Meski demikian, dana yang disalurkan BPDPKS dari pungutan ekspor sawit sejak 2015-2019. Dari total Rp33,6 triliun, sekitar 89-90 persennya dialokasikan untuk insentif biodiesel. Nilainya mencapai Rp30,2 triliun. Sementara, untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya sebesar Rp2,7 triliun; untuk pengembangan dan penelitian Rp284,4 miliar; sarana dan prasarana Rp1,73 miliar; promosi dan kemitraan Rp208,561 miliar; serta pengembangan sumber daya manusia sekitar Rp140,674 miliar.

Yayasan Madani Berkelanjutan merilis selama 2015-2020, Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit telah menyalurkan Rp 57,72 triliun untuk membayar selisih antara harga biodiesel dan solar, dengan volume biodiesel sebesar 23,8 juta kiloliter dengan perincian Wilmar Group dan Musim Mas diketahui mendapatkan siraman insentif biodiesel paling besar. Tahun 2015, Wilmar Group dapat jatah 51,13% dari total dana insentif yang dianggarkan BPDPKS, sementara Musim Mas Group 19,61%.

Kemudian di 2016, Wilmar Group mendapatkan insentif 41,38% dan Musim Mas Group 16,69%. Pada 2017 Wilmar Group kembali mendapatkan 36,85 % dan Musim Mas Group 15,58%.

Perlu menjadi perhatian adalah akhir November 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan alokasi biodiesel untuk dalam negeri sebesar 10.151.018 kiloliter pada 2022. Jumlah itu, naik dibanding sebesar 9.413.033 kiloliter. Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI menyebut, program biodiesel B30 akan memicu defisit 40 juta ton CPO yang diperkirakan mulai terjadi pada 2023.

Defisit CPO juga akan berdampak pada kebutuhan lahan. Pemerintah perlu melakukan ekspansi lahan hingga 39 persen dari total lahan produksi sawit di Indonesia 13,3 juta hektar, untuk memenuhi kebutuhan biodiesel B30.

Akhir kata, industri kelapa sawit kita dapat diibaratkan seperti balon gas, melembung besar namun ringkih dan kosong di dalam. Produktivitas, luasan lahan, serta tata kelola manajemen yang baik dan bersih dari korupsi perusahaan besar nasional belum mampu menyamai perusahaan besar swasta.

Membenahi kekurangan hal tersebut lebih baik daripada memproduksi wacana mafia pangan. Meski demikian pemerintah perlu lebih tegas memiliki political will kerakyatan, alokasi peruntukan dana sawit menunjukkan hal yang jauh dari harapan. Masih terdapat dua bulan lagi sebelum hari raya Ramadhan untuk memprioritaskan ketercukupan pangan dan dua tahun lagi bagi pemerintahan ini untuk fokus membenahi pangan kita.

 

Penulis

Rahayu Setiawan (Ketua Departemen Budidaya Pertanian dan Agrobisnis)

Baca Selengkapnya
Tulis Komentar

BERITA

Sudah Saatnya Sistem Zonasi dalam PPDB Dihapuskan

Oleh

Fakta News

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada TK, SD,SMP, SMA, SMK atau bentuk lain yang sederajat, menelorkan kriteria seleksi masuk sekolah dengan mempertimbangkan urutan prioritas berupa usia dan jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya (Sistem Zonasi).

PPDB bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Namun dalam perjalananya apakah tujuan ideal dari PPDB menggunakan system zonasi tersebut sudah tercapai atau jsutru jauh panggang dari api?

Pertanyaan mendasar tentang penerapan sistem zonasi yang medasarkan pada upaya pemerataan pendidikan adalah apakah lokasi sekolah yang dibangun pemerintah sudah merata pada semua wilayah (anggaplah skala kecamatan) di Indonesia.

Bahwa faktanya pendirian sekolah (di setiap jenjang pendidikan) tidaklah didasarkan pada sebaran dan populasi penduduk, sehingga banyak dijumpai tidak meratanya sebaran sekolah di hampir setiap daerah. Satu sisi beberapa sekolah terdapat dalam satu wilayah (kecamatan), tapi banyak juga dalam satu desa/kelurahan dan kecamatan yang belum tersedia sekolah. Hal ini justru menyebabkan puluhan hingga ratusan calon peserta didik tidak mendaptkan sekolah dikarenakan “kalah” dalam konteks jarak rumah dengan sekolah yang jauh, di luar jarak zonasi yang diperkenankan.

Banyaknya calon siswa yang secara domisili jauh dari sekolah menyebabkan pupusnya kesempatan untuk bisa mengakses pendidikan secara layak, sesuai yang diamanatkan undang-undang. Fakta itu tidak saja di daerah terpencil ataupun luar jawa, bahkan di kota besar sekelas Surabaya juga masih dijumpai. Belum lagi munculnya fenomena pindah KK untuk bisa menjadi dasar untuk memenuhi kriteria zonasi. Ada yang pindah KK ke saudaranya, mencari tempat domisili (apartemen, beli/sewa rumah, dsb.) hingga tawaran pindah KK yang dilakukan oknum, calo, perantara dengan mematok tarif tertentu untuk bisa mengegolkan masuk ke sekolah yang diinginkan.

Atas polemik itu, dimuculkan kebijakan baru berupa jalur baru PPDB selain jalur zonasi, yakni jalur afirmasi (keluarga miskin), jalur prestasi (akademik) dan jalur prestasi non-akademik (olah raga, seni, budaya dsb.) yang persentasenya terus diutak-atik dengan pertimbangan yang kurang jelas. Apakah kebijakan tersebut tepat dan sesuai sasaran? .
Alih-alih memberikan solusi, tapi justru menambah permasalahan baru dalam dunia pendidikan. Awalnya sempat membuat lega dan menjadi oase bagi sebagian masyarakat yang berharap putra-putrinya tetap bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, namun nyata justru menimbulkan permasalahan baru karena tidak semudah yang dibayangkan dalam mengakses “jalur alternatif” tersebut.

Beberapa kendala dan permasalahan ternyata sering muncul dan jadi rasan-rasan di kalangan Masyarakat terutama para ibu-ibu. Ada banyak sinyalemen dan desas-desus yang berkenbang mengenai sulitnya ditembus serta penyelewengan dari “jalur alternatif” tersebut. Jalur afirmasi khususnya bagi keluarga miskin (gakin, gamis, SKTM, KIS, KIP, dll) ternyata sulit diakses. Beberapa sekolah juga “enggan” untuk menerima dan memaksimalkan kuota untuk jalur gakin karena nantinya merka akan gratis dan tidak boleh dikenakan pungutan apapun. Ada juga kemunculan gakin baru/dadakan jelang PPDB.

Demikian halnya dengan jalur presetasi baik akademik maupun non akademik. Banyak yang merasa memenuhi kriteria, tapi dalam pengurusannya “dipersulit’ hingga batas pengajuan persyaratan yang diminta tidak bisa terpenuhi. Setali tiga uang, beberapa kabar yang beredar justru muncul anak-anak yang tiba-tiba “berprestasi” dan bisa masuk ke sekolah yang diinginkan. Maka muncullah banyak isu tak sedap tentang “permainan” hingga sejumlah nominal yang harus disiapkan untuk menebus jalur tersebut.

Ada pula fenomena munculnya jalur khusus, yakni “jalur rekom” yang bisa muncul mulai dari yang logis hingga yang tidak masuk akal. Yang logis semisal orang tua yang bekerja di wilayah dekat sekolah bisa meminta rekom agar anaknya bisa diterima di sekolah tersebut. Ada pula jalur rekomendasi mulai dari para pejabat di lingkup pemerintahan, maupun stakeholder pendidikan berbagai lini, yang berlangsung massif baik prodeo maupun “bertarif”. Tentunya hal tersebut berlangsung ekslusif, karen hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses dan koneksi erat saja yang bisa memanfaatkannya.

Semua sinyalemen dan desas-desus tersebut memang sulit dibuktikan hingga ke ranah hukum namun seperti sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Sistem Zonasi dalam PPDB yang ditujukan untuk pemerataan pendidikan justru dalam prakteknya memunculkan berbagai permasalahan yang menambah carut marut permasalahan di dunia pendidikan. Amanat untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen Pendidikan telah gagal diwujudkan. Sudah saatnya sistem zonasi dalam PPDB dengan pertimbangan utama jarak rumah siswa dengan sekolah, dihapuskan, dikembalikan pada sekolah dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyakartan, kompetensi, ketersediaan kuota, prestasi, dan keadilan.

Pemerintah hendaknya melaksanakan tugas utamanya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan lebih fokus pada penggodokan kurikulum pendidikan yang lebih canggih dan modern untuk dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sehingga potensi peserta didik dapat berkembang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

Radian Jadid
*Kepala Sekolah Rakyat Kejawan
*Wakil Sekretaris LKKNU PW Jatim
*Ketua Harian Paguyuban Angkatan 93 ITS

Baca Selengkapnya

BERITA

Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Oleh

Fakta News
Wacana Kenaikan Tarif KRL Ancam Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat. Foto: DPR RI

Jakarta – Wacana kenaikan tarif Commuter Line oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan menempatkan masyarakat Jabodetabek pada tantangan baru yang mengancam kesejahteraan ekonomi mereka. Hal tersebut pun lantas menuai sorotan dari Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat.

“Kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan memberikan dampak yang signifikan. Terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR). Kenaikan tarif bisa memperberat beban ekonomi mereka. Dan Ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar,” ujar Toriq dalam siaran pers yang diterima Parlementaria, Senin (29/4/2024).

Politisi Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa kenaikan tarif tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat, terutama masa pasca pandemi dan ketidakpastian ekonomi yang menyertainya. Dalam beberapa bulan terakhir, harga-harga bahan pokok terus melonjak secara dramatis.

“Kami tahu betul paska pandemi masyarakat terpaksa mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kenaikan tarif hanya akan menambah beban ekonomi mereka. Terutama mereka yang bergantung pada angkutan publik ini setiap hari,” tandasnya.

Terkait hal itu, Toriq menegaskan akan berupaya keras menyerukan kepada Kementerian Perhubungan selaku regulator agar mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Serta, kemudian meninjau kembali rencana kenaikan tarif ini dan mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Kami akan terus memantau perkembangan situasi ini. Dan memastikan bahwa keputusan terkait tarif transportasi publik nantinya harus ada partisipasi aktif dari publik dan memperhitungkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh” tutup Toriq.

Sebagaimana diketahui, PT KAI Commuter (KCI) telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Saat ini usulan tersebut masih dibahas Pemerintah. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan Pemerintah untuk menaikkan tarif KRL Jabodetabek.

Pasalnya, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kemenhub selaku regulator. “Itu kebijakan dari Pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan Pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub,” ujarnya saat konferensi pers Angkutan Lebaran 2024 di Jakarta, Selasa lalu (24/4).

Baca Selengkapnya

BERITA

Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang

Oleh

Fakta News
Sukamta: Kota Yogya Perlu Siapkan Peta Jalan Penanganan Sampah Jangka Panjang
Anggota DPR RI Sukamta. Foto: DPR RI

Jakarta – Anggota DPR RI dari Dapil Provinsi DIY Sukamta menilai Kota Yogyakarta perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk penanganan sampah jangka panjang yang menyangkut peningkatkan kasadaran masyarakat. Edukasi secara terus menerus harus dilakukan baik di sekolah, rumah tangga, dan masyarakat.

Tak hanya itu peraturan yang kuat untuk pengurangan sampah juga sangat dibutuhkan. Sukamta mencontohkan perlunya kebijakan kantong plastik berbayar atau larangan penggunaaan kantong belanja plastik sekali pakai. Adapun jangka pendeknya saat ini bisa dengan optimalisasi penampungan di TPST Piyungan.

“Kalau saya dengar, TPST ini kalau ada alat dan SDM yang memamadai masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk sementara waktu hingga 200-300 ton per hari. Pemkot bisa komunikasikan hal ini dengan Pemda DIY. Rencana optimalisasi 3 TPS 3R di Nitikan, Karangmiri dan Kranon bisa segera direalisasi, meski daya tampung 3 TPS ini masih terbatas,” kata Sukamta sebagaimana keterangan kepada media, di Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Di sisi lain, Politisi Fraksi PKS ini, menilai di level provinsi, di area perkotaan saat ini masih sering ditemukan sampah di jalan maupun tempat penampungan yang penuh. Menurutnya, Pemerintah perlu memberikan honor kepada para petugas pengambil sampah sebagai salah satu upaya mencegah buang sampah sembarangan.

“Menurut kami perlu ada stimulan atau honor untuk para petugas pengambil sampah rumah tangga, di level RT, RW dan kampung. Ini supaya masyarakat tidak buang sembarangan,” kata Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Sukamta meyakini dengan adanya dana stimulan atau honor tersebut maka para petugas pengambil sampah akan menjalankan tugasnya dengan baik khususnya pengambilan sampah dengan sistem terpilah. “Selama ini warga sudah diminta memilah, akan tetapi (saat) di  (tempat) pembuangan dicampur lagi. Ini perlu jadi perhatian, sehingga perlu ada petugas khusus memilah,” ujarnya.

Sukamta menegaskan dirinya banyak mendapatkan aspirasi dari masyarakat terkait penanganan sampah di Jogja. Hal ini kembali mencuat setelah rencana penutupan TPST secara permanen, sehingga banyak ditemukan sampah di pinggir jalan, salah satunya di perbatasan antara Kota Jogja dengan Bantul atau sebelah utara Gembira Loka.

Baca Selengkapnya